Mohon tunggu...
Rahmat Haqiqi
Rahmat Haqiqi Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Penulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenapa Harus Berakhir Secepat Ini

6 Agustus 2024   22:51 Diperbarui: 6 Agustus 2024   23:03 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi ini pertemuan kita untuk yang terakhir kalinya". kata Angelii dengan mencoba untuk tetap tegar walaupun suaranya sudah terdengar parau.

Baqri tak menjawab

"Kamu nggak harus mengqurbankan diri untuk orang-orang itu". Kata Angeli berusaha membujuk Baqri. "Kita bisa saja lari ketengah hutan itu dan hidup bersama selamanya". Mata Angeli sudah tak mampu membendung air matanya.

"Tidak Angeli, ini bukan hanya sekedar menjadi qurban lalu mati begitu saja," Kata Baqri menjelaskan "Kamu tidak bisa memandang semua orang memiliki sifat yang sama, kakek itu berbeda. Aku merasakannya". Tekad Baqri benar-benar sudah kuat. Tak ada yang bisa menghalanginya, bahkan Angeli sekalipun. "Terimaksaih Angeli aku akan selalu mengingatmu".

Satu tahun yang lalu di sebuah padang rumput yang luas dengan pemandangan gunung Semeru yang menjulang tinggi di sebrang jurang itu, mereka bertemu. Baqri tinggal di sebuah kandang sederhana dengan dinding dari anyaman bambu atau gedek kata orang-orang disana dan tiang-tiang dari bambu yang sudah mulai dimakan rayap. Majikannya adalah kakek-kakek sebatangkara yang tak memeiliki keturunan. Istrinya sudah meninggal satu tahun yang lalu saat Baqri masih kecil.

Kakek dan Nenek dulunya adalah sepasang suami istri yang sudah hidup Bersama selama lebih setengah abad. Mereka adalah seorang pekerja keras walaupun hanya sebatas buruh di sawah milik seorang Juragan Sapi di desa itu. Kakek dan Nenek dipercaya untuk menggarap sawahnya sejak lama, menurut Juragan Sapi kakek dan nenek adalah orang yang sangat bisa dipercaya, selain telaten dalam pekerjaannya mereka juga dikenal sangat taat dengan agamanya.

Baca juga: Tepi Kehidupan

Suatu hari dengan hawa yang cukup dingin khas daerah pegunungan di satu subuh, kakek tetap memaksakan diri untuk pergi ke masjid tak jauh dari rumahnya walaupun tadi malam ia tak bisa tidur karena demam yang ia rasakan. Padahal saat itu Nenek sudah melarangnya, tapi kakek masih tetap kekeh dengan istiqomahnya.

"Sudah lah kek, kamu ini sudah tua. Lebih baik sekarang istirahat dulu, solat dirumah. Di luar sangat dingin, kasihan tubuhmu". Kata Nenek berusaha menegur si Kakek

"Kata siapa aku tua,.. Ya memang umurku ini sudah enam puluh-an tapi asal nenek tau tenaga Kakek masih seperti awal kita menikah". Jawab kakek sambil berpose layaknya atlit binaragawan yang menunjukkan otot dilengannya. Walupun bedanya, lengan kakek sudah tinggal tulang yang ditutup kulit saja. Wajahnya sedikit pucat tapi ia berusaha menutupi sambil tersenyum sumringah dengan menampakkan giginya yang tinggal dua dibagian depan ke hadapan Istrinya.

"Hah..., ya sudah. Sudah tua tapi banyak tingkah. Ini pakai jaketnya, kita berangkat ke masjid". Kata Nenek.

Pagi itu walaupun disertai perdebatan antara keduanya tentang berangkat dan tidak, akhirnya nenek memutuskan untuk tetap pergi ke masjid untuk solat subuh berjamaah menemani suaminya, Keistiqamahan dua sejoli yang sudah lama mereka jalankan. Pagi itu dengan bergandengan tangan keduanya menembus embun subuh yang dingin untuk sebuah kebaikan, keduanya saling menjaga dan menguatkan, mereka khawatir jika salah satu dari mereka akan mendahului. Apakah cukup amal mereka selama ini menjadi alasan untuk kembali bersama di surgaNYA.

Suatu ketika, saat Kakek dan Nenek baru istirahat setelah membersihkan rumput-rumput liar di sawah yang mereka garap, Nenek menyampaikan keinginannya kepada Kakek,

"Kek kita sudah se-tua ini, sedangkan kita masih saja sibuk bekerja padahal sudah waktunya kita untuk lebih banyak beribadah. Khawatir suatu waktu kita dipanggil oleh Tuhan sedangkan kita dalam keadaan belum siap". Kata Nenek

"Umur itu memang tidak ada yang tau. Maka sebisa mungkin apapun yang kita lakukan selama hidup bisa bernilai ibadah termasuk bekerja". Kakek menanggapi "Memangnya kenapa?, Apa rencana nenek?". Tanyanya

"Nenek ingin ber-qurban, jika boleh. Seperti kata kakek, setidaknya hasil kita bekerja selama ini juga bernilai ibadah". Ungkap nenek dengan ragu-ragu takut suaminya itu tidak memperbolehkannya.

"Ide bagus". Jawab Kakek dengan mantap "Memangnya mau qurban apa".

"Jadi gini, kita beli sapi kecil dulu lalu kita pelihara. Mungkin satu setengah sampai dua tahun baru kita qurbankan". Kata Nenek

"Kenapa nggak kambing saja. Kan lebih cepat tuh, tabungang kita juga sudah cukup untuk membelinya tahun ini. Lebih utama juga kan?". Kata Kakek

"Iya nenek tau itu. tapi masalahnya orang-orang sini kebanyakan sudah pada tua-tua. Darah tinggi mereka kalo makan kambing. Selain itu kalo sapi kan bisa jadi lebih banyak nanti yang kebagian" tegas nenek.

Akhirnya mereka pun sepakat untuk memebeli seekor sapi anakan dari si Juragan dengan harga yang sesuai dengan Tabungan mereka. Sesuai rencana mereka akan memeliharanya terlebih dahulu baru setelah satu setengah atau dua tahun lagi mereka akan berqurban. Sesuai ketentuan usia sapi untuk qurban yakni sekitar dua tahun memasuki tahun ketiga. Dan saat itulah Baqri mulai dipelihara oleh Keluarga kecil Kakek.

Satu tahun memelihara Baqri, kembali seseorang memberi kepercayaan kepada Kakek. Mereka adalah salah satu keluarga yang berbeda keyakinan dengan keluarga kakek di desa yang terkenal dengan toleransi antar umat beragama itu. Seketiar satu tahun lagi putri mereka akan lulus dari sekolah menengah dan akan lanjut ke jenjang perguruan tinggi. Jadi tahun ini mereka berencana menabung dengan memelihara seekor sapi untuk nanti dijual sebagai biaya masuk perguruan tinggi. Mereka sadar semakin kedepan biaya Pendidikan semakin mahal, entah di bagian mana dari system pendidikan yang salah. Yang jelas semahal-mahalnya Pendidikan, tetap saja hal tersebut adalah bagian kebutuhan pokok, kecuali jika kita siap untuk cemas di satu abad kemerdekaan bangsa ini.

Sapi itu bernama Angeli, terlahir di keluarga pemiliknya yang juga taat beragama seperti keluarga kakek. Akan tetapi, keduanya memiliki kepercayaan yang berbeda. Pemilik Angeli memiliki keyakinan bahwa tidak boleh menyakiti dan mengkonsumsi apapun yang bernyawa, Ia tumbuh dikeluarga penyayang binatang. Hidup dikeluarga itu tentu mempengaruhi cara pandanganya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak asasi Binatang seperti momentum yang terjadi setiap Hari raya qurban. Hatinya menjadi sangat sedih ketika melihat jutaan saudara-saudaranya yang harus mati pada perayaan itu. ia tak habis fikir ada sebuah ibadah yang sampai harus mengorbankan jutaannya nyawa, tidakkah manusia itu memikirkan bahwa mereka yang diqurbankan itu juga memiliki perasaan. Lantas mengapa makhluk hidup seperti Angeli dan saudara-saudaranya masih ditindas?.

"Nah Baqri sekarang kamu tidak kesepian lagi, aku membawakanmu kawan. Tidakkah kamu senang?, dia betina loh?" Kata Kakek sambil menambatkan tali ke sebuah pohon didekat Bakri saat sedang menikmati rumput segar di padang rumput. Di ujung tali yang lain ada seekor sapi betina berwarna kuning keemasan yang dibicarakan kakek.

Baqri menoleh ke arah sapi betina itu sambil tetap mengunyah rumput yang masih memenuhi mulutnya. Keduanya saling bertatapan. Baqri yang sejak kecil sudah tinggal di kandang rumah kakek merasa canggung berhadapan dengan betina yang baru saja ia lihat. Baqri terpesona kepada sapi betina berbulu kuning keemasan yang berkilauan itu, tapi ini berbeda dengan yang ia rasakan ketika melihat fajar keemasan yang muncul dari balik gunung Semeru. jantungnya berdebar lebih kencang dan darahnya mengalir lebih deras daripada biasanya. Baqri tak tahu perasaan apa yang sedang ia rasakan... Yah.. manusia bilang perasaan itu adalah jatuh cinta pada pandangan pertama.     

"Aku tinggal dulu kalian disini ya". Kata kakek sambil mengelus-ngelus kepala sapi betina yang baru datang itu, "Aku mau melanjutkan pekerjaanku disawah". Lanjut kakek sambil berjalan ke sawah tak jauh dari tempat Baqri di gembalakan.

"Akku Baqqri. Bboleh aku tahu namamu?". Tanya Baqri dengan tampang gugupnya.

"Aku Angeli". Jawab Betina itu dengan singkat. Baqri semakin gugup. Hari ini masih pagi tapi rasanya sudah bikin gerah saja, dahi Bari mulai berkeringat.

Itu adalah awal perkenalan Baqri dengan Angeli. Baqri sangat pemalu sedangkan Angeli adalah betina yang memiliki gengsi cukup tinggi. Walaupun untuk hari-hari yang akan datang mereka akan tinggal disatu atap yang sama, keduanya masih jarang berbicara. Baqri hanya mengajak Angeli berbicara seperlunya saja seperti mengenalkan siapa keluarga yang memelihara mereka, kapan mereka akan keluar untuk makan di padang, atau sekedar memberi tahu kapan saja kakek akan memandikan mereka. Entah mengapa semenjak kedatangan Angeli di kandang Baqri, ia malah menjadi canggung di kandang sendiri. tapi iulah Baqri yang pemalu saat berbicara dengan betina yang baru ia kenal.

Waktu-demi waktu mereka lalui Bersama, Baqri masih tetap hemat berbicara. Tapi Ia menjadi lebih peka terhadap apa yang Angeli butuhkan. Saat makan di padang rumput, Baqri lah yang memberi tahu Angeli tentang jenis rumput apa saja yang rasanya lebih nikmat saat pagi hari, atau jenis rumput apa saja yang sebaiknya tidak Angeli makan. Sesekali saat di kandang ia memilihkan mana rumput gajah yang baik untuk kecantikan warna bulu Angeli.

"Sebaiknya kamu tidak memakan rumput ini". Kata Baqri sambil menyingkirkan sebatang rumput gajah yang akan Angeli makan dengan mulutnya.

"Kenapa tidak boleh" Tanya Angeli

"Rumput ini sudah mulai layu dan dari aromanya sepertinya rumput ini tidak tumbuh dengan alami, sepertinya rumput ini sudah diberi pupuk kimia biar cepat tumbuh" Kata Baqri.

Pada waktu yang lain bahkan Baqri pernah berkelahi dengan Anjing hutan yang akan menyerang Angeli sebelum Kakek datang dan mengusir Anjing itu.

"Kamu nggak papa kan?" Tanya Baqri dengan penuh prihatin kepada Angeli yang ketakutan setelah akan diserang Anjing hutan itu. Beruntung karena kesigapan Baqri, Angeli baik-baik saja, bulu indannya tidak sempat rotok sehelaipun berkat keberaniannya.

"Iya aku nggak papa, tapi kamu terluka". Jawab Angeli sambil melihat kearah luka di Kaki belakang Baqri. Anjing yang menyerang mereka ternyata sempat melukuai Baqri.

"Ah.., ini bukan masalah, yang penting kamu selamat" jawab Baqri, "terkadang Anjing-anjing itu memang keluar dari hutan untuk memangsa kambing-kambing yang juga digemabalakan di padang rumput ini, tapi kamu nggak usah khawatir, aku tidak akan membiarkan mereka melukai kamu". Jawab Baqri meyakinkan.

Sejak saat itu Angeli mulai kagum kepada Baqri, memang selama ini Baqri jarang mengajaknya bicara, apa lagi berbicara tentang perasaan mereka. Tapi yang Angeli lihat, Baqri selalu mengungkapkannya dengan sikap kepada dirinya. Hari-hari selanjutnya Baqri masih sama dengan dirinya yang jarang bicara seperti awal mereka kenal. Tapi tidak dengan Angeli, ia mulai membuka hatinya dan berusaha menghilangkan gengsinya. Angeli menjadi lebih sering mengajak Baqri berbicara. Setiap kali digembalakan di padang rumput, ia jadi lebih suka makan secara berhadapan dengan Baqri. Tentu hal ini membuat wajah Baqri memerah karena malu.

Setiap malam Angeli juga senang tidur sambil meyandarkan kepalanya ke tubuh Baqri sampai-sampai membuat sapi Jantan itu tidak bisa tidur dibuatnya. Pagi harinya mata Baqri jadi sering memerah karena tidak bisa tidur semalaman. Angeli jadi lebih maja kepadanya, mungkin itu cara sapi betina menyampaikan perasaannya kepada seekor pejantan.

Pada suatu pagi rumah kakek menjadi sangat ramai dengan warga desa. Biasanya sebelum matahari meninggi kakek membawa kedua sapinya untuk digembalakan di Padang rumput, tapi tidak dengan pagi ini. Kabarnya tadi setelah melaksanakan sholat subuh dimasjid seperti biasanya istri kakek tak kunjung bangun dari sujud pada rakat pertamanya. Jama'ah lainnya menjadi panik setelah mereka usai melaksanakan sholat. Salah seorang jamaah memberi tahu hal ini kepada kakek di barisan jamaah laki-laki.

"Kek.. istri anda telah dipanggil olehNya tadi saat sedang sholat". Kata seorang jamaah itu. kakek hanya terdiam tak mampu mengeluarkan kata-kata. Istri yang setia menemaninya sudah tiada. Ia tau jika pada akhirnya setiap manusia juga akan dipanggil ketika sudah waktunya. Tapi satu hal yang membuatnya berat hati yaitu belum bisa memenuhi apa yang istrinya harapkan untuk melaksakan qurban tahun ini.

Setelah kepergian istrinya, kakek menjadi sering sakit-sakitan. Ia hidup sebatangkara tanpa kehadiran istri yang menemani sisa hidupnya. Setiap sore selepas kerja setelah selesai membersihkan diri dan melepas penat, kakek jadi leih sering termenung di teras rumahnya sambil mengingat kembali kebersamaan bersama mendiang istrinya. Sungguh kepergian itu telah meninggalkan duka yang begitu mendalam di salah satu sisi dalam hatinya. Walaupun ia juga tau bahwa kematian adalah sebuah kepastian yang tidak dapat dirubah, satu-satunya cara untuk Ikhlas adalah memohon agar Tuhan juga segera memanggilnya untuk menyusul istri yang telah mendahului.

Satu minggu sebelum hari raya kakek datang ke kandang sapinya Bersama seseorang yang tidak Baqri dan Angeli kenal. Orang itu melihat-lihat keadaan Baqri dan memerikasa Kesehatannya. Angeli jadi merasa khawatir dengan keadaan Baqri. Sesaat setelah orang itu meninggalkan mereka, dan memberi sebuah tanda dibagian tubuh Baqri, Angeli bertanya dengan perasaan khawatir kepada Baqri,

"Apa Kamu sakit" tanya Angeli

"Tidak Angeli aku baik-baik saja" Jawab Baqri

"Bagaimana dengan tanda itu?". Angeli kembali bertanya

"Satu minggu lagi aku akan pergi, Dua tahun lalu kakek dan nenek mulai memeliharaku untuk tujuan ini". Kata Baqri dengan menundukkan kepalanya. Antara rela dan berat hati yang ia rasakan. Di satu sisi qurban ini menjadi bentuk terimakasihnya kepada keluarga Kakek yang telah merawatnya sejak kecil, dan disisi lain ia teringat bahwa baru beberapa bulan lalu ia merasakan kebahagian Bersama Angeli, "kenapa harus berakhir secepat ini?". Kata keduanya dalam hati.

Selepas mereka saling berpamitan pada suatu pagi menjelang siang tanggal 10 dzulhijjah. Baqri berdiri Bersama dengan hewan qurban lainnya pada sebuah lapangan di sisi utara masjid yang tak jauh dari rumah kakek. Semua paniita qurban pada hari itu terlihat sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Satu persatu nomor hewan qurban dan nama pemiliknya dipanggil, kini tiba giliran Baqri.

"Sapi nomor 4 qurban dari bapak Suhaidi dan almarhumah Ibu Sukainah". Suara panitia terdengar dari speaker yang ada disana. Baqri lantas diarahkan ke tempat penyembelihan yang telah disiapkan. Tanpa memeberontak sedikitpun, Baqri sudah Ikhlas untuk hal ini. Dengan arahan panitia, Baqri menempatkan badannya ketanah sedangkan lehernya sudah siap diatas lubang galian yang disediakan untuk menapung darahnya. Sambil memejamkan matanya tak henti-hentinya Baqri berdzikir dengan cara yang tak diketahui siapapun kecuali dia dan Tuhannya. Sambil tersenyum untuk yang terakhir kalinya Baqri berkata dalam hati,

"Jika memang direstui oleh Tuhan atas diriku yang menjadi qurban ini. Aku harap Dia akan memepertemukanku dengan Angeli di kehidupan yang abadi kelak. Aku percaya jika Tuhan harus memisahkan dua makhluknya yang saling mencintai dengan cara yang tak pernah terduga, maka perpisahan itu adalah jeda untuk pertemuan yang lebih indah di kehidupan selanjutnya".

"Bismillahi Allahuakbar..Allahumma minka wa ilaika......". Sssrsttt.. Bersama dengan kalimat itu perlahan kesadaran Baqri mulai pudar diikuti setiap ingatannya Bersama Angeli, satu-satunya kemewahan terakhir yang bisa ia bawa mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun