Segerombolan anak punk melewati rumah Udin untuk ke kebun belakang rumahnya yang tidak terurus itu. Udin hanya mengamati mereka dari jendela dan mendengar suara mereka tertawa terbahak-bahak.Â
Mereka memang tidak berbuat jahat ke penduduk sekitar termasuk kepada si Udin dan kakeknya namun saat mereka "hilang kesadaran" maka disitulah para warga dibuat resah.
Mbah Sarip, kakek si Udin yang melihat mereka lantas langsung keluar dan meneriaki mereka dengan wajah galak "kalau mau makan kecubung jangan disini, ambil lalu makan di tempat lain!".
"Njih, mbah", jawab salah satu dari mereka.
Memang sedari dulu kebun belakang rumah Udin itu ditumbuhi oleh tanaman kecubung yang sering diincar para anak punk ini guna bersenang-senang.Â
Tumbuhan yang memiliki bunga seperti trompet ini memang sudah dikenal luas akan efek halusinasinya saat buah dan daunnya dikonsumsi. Para anak punk ini suka mencarinya dikarenakan efek fly dari tumbuhan ini dan juga mungkin lebih ekonomis daripada miras ataupun dadah.
Mbah Sarip sangat melarang si Udin untuk mengonsumsi kecubung walaupun ada di belakang rumah mereka. Pengalaman masa muda Mbah Sarip yang pernah tiga hari merasa dikejar ular raksasa dan tidak bisa tidur setelah makan kecubung membuat dia memberikan larangan keras ke cucu tersayangnya ini.
Udin merupakan satu-satunya cucu yang dia punya dari putrinya dan seorang pria dari desa sebelah. Ayah Udin bukanlah seorang yang bertanggung jawab atas keluarganya, setelah Udin lahir dia pergi meninggalkan ibu Udin bersama dengan selingkuhannya.
Ibu Udin yang sakit hati akhirnya mengalami baby blues dan meninggalkan Udin yang masih merah kepada Mbah Sarip, ayahnya.Â
Alasannya kepada Mbah Sarip saat itu dia ingin menjadi TKW di luar negeri untuk meringankan beban hidup si Udin kecil namun lima belas tahun lamanya ibu Udin tidak pernah berkabar lagi.
Mbah Sarip memang sangat terpukul dengan kelakuan dua orang tua Udim namun apa daya dia harus tetap kuat mengurus Udin sendirian. Istrinya sudah meninggal karena TBC dua tahun setelah Udin lahir.Â
Untunglah Mbah Sarip punya penghasilan dari sawahnya yang tidak terlalu luas lebarnya. Dengan penuh kasih sayang dia rawat Udin dari jerih keringat bertani.
Udin juga tahu akan keadaan kakeknya ini yang tidak muda lagi. Di saat hari libur Udin sempatkan dirinya membantu Mbah Sarip di sawah dan sepulang sekolah dia berjualan asongan di terminal bus.Â
Udin tahu bahwa dia tidak bisa bergantung terus ke kakeknya jika ingin punya uang jajan, memang sejak kecil Udin sudah terbiasa mandiri.
****
Siang itu Udin sedang menyambi berjualan asongan di terminal biasa dia melakukannya. Setelah lelah berlari kesana-kemari menawarkan tisu atau rokok ke calon pembeli, ia akhirnya duduk di pinggir terminal bersama dengan teman-teman senasib dengannya.Â
Anak-anak yang tidak bisa menikmati enaknya berleha-leha dan istirahat sepulang sekolah karena harus membantu ekonomi keluarga.
Tono, teman si Udin yang lebih tua disana mengeluarkan ponsel pintar guna memecah penat. Dialah satu-satunya orang yang punya gadget diantara mereka walau layar smartphone yang dia miliki dihiasi oleh retak besar yang hampir menutupi sepertiga layarnya.
Tono lalu menggeser dan menyentuh smartphone kebanggaannya itu dan lalu memutar video yang segera menarik perhatian anak-anak yang lain, termasuk si Udin.
Disana diputar sebuah video yang memperlihatkan seorang laki-laki berpakaian sangat modis sedang keliling rumah yang sangat mewah. Pemandangan yang luar biasa indahnya itu membuat para anak ini terpaku melihatnya.Â
Si laki-laki ini memperlihatkan semua furnitur indah yang dia miliki mulai dari lampu gantung kaca yang ada di ruang utama, kolam renang yang sangat luas, deretan koleksi mobil mewah dan banyak lainnya.
"Sugih tenan yo mas!(kaya sekali ya mas), namanya siapa?", tanya Udin ke pada Tono.
"Alex Kibil, ndelok ae ndek youtube (lihat aja di youtube)", jawab Tono kepada Udin.
Setelah itu Tono memutar video lainnya yang memperlihatkan si Alex Kibil sedang mempersiapkan diri untuk mengisi seluruh kolam renangnya dengan uang, serius benar-benar uang lembar merah muda.Â
Video kali ini membuat mata anak-anak ini terpaku lebih lama ke layar smartphone si Tono yang retak. Itu benar-benar uang lembar merah muda yang susahnya minta ampun mereka cari.
 Jangankan dibuat berenang, didapatkan hari itu juga setelah ngasong pasti sudah langsung dipecah menjadi beberapa pecahan mata uang guna kebutuhan hidup mereka.
Udin setelah pulang dari berjualan asongan terus berputar-putar pikirannya tentang si Alex Kibil ini. Mengapa dia sekaya itu dan apakah di masa depan nanti Udin dapat menjadi seperti dirinya?.
 Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar dibarengi imajinasi tentang hidupnya nanti sudah mapan seperti si Alex Kibil itu.Â
Dia ingin menaikkan haji kakeknya yang sudah tua dan juga ingin punya kendaraan mewah seperti Alex Kibil. Tidak seperti saat ini yang dia harus mengayuh sepeda bututnya yang bannya sudah ditambal sana-sini.
****
Mbah Sarip sedang berjalan ke rumahnya setelah selesai nandur di sawahnya. Hujan yang tidak sering dan pengairan yang sulit membuatnya lelah mencangkuli sawahnya. Ia juga takut musim ini gagal panen karena hama wereng yang katanya sulit dibasmi.Â
Sambil memandangi sawah yang mulai dibajak itu dia mulai berpikir bagaimana misalnya sawahnya gagal panen, bagaimana dia akan membayar SPP si Udin nanti?.
Mbah Sarip memikirkan cara alternatif bagaimana dia dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan dia dan cucunya nanti. Apakah akan menggadaikan tanah?, atau rumah?, atau juga cari kerja sambilan lain seperti menjaga ternak orang?.
Sambil memikirkan cara alternatif tersebut muncul ingatannya tentang rumor "penggandaan" uang dekat dengan hutan alas yang terkenal angker di desanya namun ditepisnya solusi terakhir ini karena takut akan dosa Yang Maha Kuasa.
Di perjalanan dia bertemu Pak Ujang yang menaiki motor barunya. Melihat Mbah Sarip yang hanya berjalan kaki membuat Pak Ujang ingin memberikan tumpangan, kebetulan jalan rumah mereka juga searah.Â
Mbah Sarip menerima tawaran tersebut karena juga hari sudah mau malam. Selama perjalanan mereka berbincang-bincang obrolan sesama petani tentang ladangnya.
"Mulai paceklik ini ya, mbah.", kata Pak Ujang membahas masa paceklik.
"iya, aku takut sawahku gagal panen. Apalagi SPP si Udin juga harus dilunasi dan belum lagi kebutuhan pokok yang mulai mahal juga", jawab Mbah Sarip mencurahkan isi hatinya kepada Pak Ujang.
"Mbah mau saya kasih tahu cara buat rezeki melimpah nggak mbah?", tanya Pak Ujang kepada Mbah Sarip.
"Pesugihan di hutan angker itu?. Ogah, aku takut dosa", jawab Mbah Sarip seakan menebak arah pembicaraan Pak Ujang.
"Bukan pesugihan itu mbah, tapi ikut Padepokan Dzikir Kiai Said di desa sebelah itu", kata Pak Ujang memberi tahu.
"Dzikir tok yo di langgar Ustad Yusuf juga bisa to?", tanya Mbah Sarip yang merasa heran.
"Bedo mbah, ada syariat tambahan yang harus dilakukan contohnya sedekah barang berharga yang dianggap penting nanti dibantu doa bersama Haji Said biar sedekahnya diganti tujuh kali lipat. Kalau mbah mau lihat contoh yo ini motor baruku sama traktor baru yang hasil sedekah cincin kawin istriku.", jawab Pak Ujang menjelaskan.
Persoalan tentang Padepokan Dzikir Kiai Said tadi menarik perhatian Mbah Sarip karena caranya yang dengan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan rezeki.Â
Satu hal yang mengganjal di hati Mbah Sarip adalah apa barang penting yang hendak dia sedekahkan pada Kiai Said? Sawahnyakah sebagai mata pencarian atau rumahnya sebagai atap untuk bernaung? Sejauh ini, itu dua properti paling penting yang dia miliki ,sisanya hanya perabotan lapuk dan tua.
****
Paceklik yang ditakuti itu akhirnya datang juga. Sawah Mbah Sarip jadi gagal panen karena pengairan yang kurang baik ditambah hama wereng yang menyerang.Â
Petani-petani banyak yang merugi termasuk Mbah Sarip yang hanya tersisa persediaan beras untuk dirinya dan cucunya saja. Mbah Sarip dan Udin yang sudah hidup irit harus sangat irit lagi demi menghadapi paceklik ini.
Kemiskinan yang menerpa membuat Udin harus kerja ekstra menjual asongan di terminal. Tak jarang dia pulang larut malam dan tertidur di kelas sangking lelahnya.Â
Dalam masa kesusahan inilah keingintahuan seseorang untuk mencari kekayaan semakin besar. Teringatlah ia akan Alex Kibil yang kaya raya berenang di kolam penuh uang berlembar-lembar warna merah muda.
"sepertinya aku juga harus tahu bagaimana caranya kaya seperti Alex Kibil", ujar si Udin dalam hatinya.
Berbohonglah dia kepada kakeknya dengan menggunakan uang hasil berjualan asongan untuk ke warnet menonton kanal Youtube Alex Kibil yang tajir melintir itu.
Sekali-dua kali tidak apalah pikirnya, toh dia juga ingin menambah wawasan dari kanal Youtube tersebut. Alex Kibil memang tokoh yang inspiratif memang karena setiap videonya dibarengi dengan kata-kata motivasi.
Videonya yang berisi flexing kekayaan membuat Udin merasa sedikit melupakan kemiskinan yang dialaminya. Terlebih lagi ketika dia menonton video Alex Kibil yang menceritakan bagaimana perjalanan hidupnya dahulu yang susah dan berjualan kue dipinggir jalan. Cerita dari Alex Kibil ini memantik semangat Udin karena kesamaan nasib dengannya.
"kerja keras, kerja keras, dan kerja keras itu alasan gue bisa sekaya sekarang", kata Alex Kibil di salah satu videonya.
Hal tersebut membuat Udin bekerja lagi lebih semangat dan termotivasi untuk sekaya Alex Kibil. Bahkan dia pernah bolos sekolah demi berjualan asongan di terminal. Hal tersebut tidak diketahui Mbah Sarip karena ketika berangkat Udin memakai seragam sekolah dan melepasnya ketika sampai di terminal.
Setelah dia lelah dan kehilangan motivasi akhirnya Udin kembali menonton banyak video Alex Kibil di warnet. Uang hasil asongannya yang tidak seberapa itu dibelanjakan untuk menyewa satu-dua jam komputer dan internet.Â
Kali ini Alex Kibil mengatakan bahwa penghasilannya agar cepat kaya ini berasal dari yang namanya trading. Kata tersebut tidak dipahami oleh Udin namun membuat dia ingin mencoba hal tersebut.
****
Mbah Sarip yang sudah gagal panen itu akhirnya mengikuti anjuran Pak Ujang. Setiap senin malam ia bersama Pak Ujang ke desa sebelah untuk berdzikir bersama dengan Kiai Said. Dengan pakaian rapih seperti hendak jumatan, Mbah Sarip mengikuti semua acara yang diadakan di Padepokan Kiai Said itu.
Pada dasarnya sama seperti pengajian yang lainnya namun di sesi terakhir ada ceramah tentang sedekah dan pengembalian sampai tujuh kali lipat kepada si pensedekah setelah beberapa waktu yang telah ditentukan.Â
Yang membuat Mbah Sarip takjub adalah ketika Haji Said sendiri yang memberikan pengembalian tujuh kali lipat ini disaksikan oleh para jamaah lainnya. Kiai Said menenteng koper kecil yang diberi asistennya dan mulai memberitahu para jamaahnya tentang uang yang ada didalam tas itu.
"Bapak Umar yang kemarin sedekah sebesar sepuluh juta akhirnya saat ini melalui saya, Gusti Allah telah memberikan ganjaran sebesar tujuh puluh juta! Takbir!", kata Kiai Said mengangkat koper kecil kepada jamaahnya.
Para jamaah pun bertakbir.
"monggo Pak Umar, dihitung sendiri ini uangnya pas atau tidak tujuh puluh juta?", kata Kiai Said kepada Pak Umar yang telah maju ke podium.
"pas kiai, semuanya tujuh puluh juta", kata Pak Umar yang telah menghitung uangnya.
"takbir!", kata Kiai Said kepada jamaah.
Para jamaah pun bertakbir.
****
Siang itu terjadi perdebatan antara Mbah Sarip dengan cucunya Udin. Perkaranya Udin ingin menjual sepeda bututnya demi modal trading sedangkan dia tidak punya kendaraan lain untuk pergi ke sekolah. Mbah Sarip tidak tahu apa itu trading sehingga dia menolak keputusan si Udin ini.
"nanti kamu berangkat sekolah naik apa, le?", kata Mbah Sarip kepada cucunya.
"gampang mbah, aku bisa jalan dari subuh", jawab Udin.
"Trading-trading kui opo(itu apa)? Semacam judi?", tanya Mbah Sarip perkara Trading.
"bukan Mbah, itu semacam investasi nanti uangnya balik lagi dua-tiga kali lipat", kata Udin menjelaskan.
"wes karep mu (terserah kamu), kalau lelah itu karena salahmu sendiri yo", kata Mbah Sarip memutus perdebatan.
Alasan Mbah Sarip mengakhiri perdebatan tersebut bukanlah karena merasa kalah debat dengan cucunya, tapi dia ingin pergi ke Pak Arif si rentenir guna menggadaikan sawahnya. Buat apa?, buat apalagi kalau bukan sedekah ke Kiai Said pekan ini.Â
Hari itu tekadnya sudah bulat untuk menggadaikan sawahnya walau kepada seorang rentenir sekalipun karena sudah membayangkan imajinasi tentang pengembalian sedekah yang tujun kali lipat itu.
Kakek dan cucu itu akhirnya pergi menyelesaikan tujuannya masing-masing. Udin ingin menjual sepeda bututnya demi modal trading sedangkan Mbah Sarip menggadaikan tanahnya untuk sedekah kepada Kiai Said.Â
Keduanya terbuai akan kemapanan dan terdorong karena kesulitan.
****
Terkadang imajinasi akan kekayaan dan terbebas dari kemiskinan tidak membawa diri kepada kenyataan. Begitulah yang terjadi kepada dua orang kakek dan cucunya ini.Â
Keduanya hanya meratapi kesedihan dengan tatapan kosong mereka kearah halaman belakang mereka yang tidak terurus itu. Dua usaha yang mereka buat ternyata memukul ulu hati mereka dan lantas membuat mereka jadi lesu.
Trading yang dilakukan oleh Udin tidak mendapatkan apa-apa. Uang seratus ribu hasil jual sepeda bututnya tidak kembali sama sekali. Saham gorengan yang dia beli langsung anjlok seketika, disamping karena dia hanya tahu trading dari Alex Kibil tanpa belajar terlebih dahulu.Â
Baru diketahui bahwa platform trading-nya tidak terdaftar Otoritas Jasa Keuangan, otomatis dia hanya berjudi online biasa. Udin menyalahkan si Alex Kibil yang sekarang telah ditangkap karena menjadi "Affiliator" platfom trading yang dipakainya itu.
Sedangkan Mbah Sarip juga bernasib sama. Uang yang dia sedekahkan kepada Kiai Said tidak kunjung kembali karena Kiai Said telah ditangkap karena tuduhan akan penipuan uang jamaahnya.
 Uang seratus juta hasil gadai sawahnya hilang entah kemana dibawa si Kiai itu. Padahal dengan uang itu saja sudah lebih dari cukup untuk untuk melunasi SPP Udin dan biaya hidup mereka.
Keduanya walaupun punya usaha yang berbeda namun punya motif kegagalan yang sama. Percaya kepada orang yang telah memberikan imajinasi buta akan kekayaan dan kemapanan.
 Udin percaya kepada Alex Kibil akan trading dengan percaya diri masuk ke dunia itu tanpa belajar. Mbah Sarip percaya kepada Kiai Said atas ganjaran Allah SWT yang akan dibayarkan instan di dunia, padahal ganjaran itu bisa dibayar di akhirat.
Mereka berdua tak sengaja memakan kecubung, namun bukan kecubung yang tumbuh dibelakang rumah mereka tetapi yang ada pada Alex Kibil dan Kiai Said.Â
Kecubung yang memberikan mereka halusinasi akan kekayaan dan hidup lepas dari kemiskinan. Tahulah kita bahwa tidak semua tanaman kecubung tumbuh sendiri di pekarangan atau kebun yang tidak terurus.Â
Beberapa kecubung ada yang tumbuh subur setelah diberi pupuk yang berasal dari jerat kemiskinan dan kebodohan.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H