Siang itu terjadi perdebatan antara Mbah Sarip dengan cucunya Udin. Perkaranya Udin ingin menjual sepeda bututnya demi modal trading sedangkan dia tidak punya kendaraan lain untuk pergi ke sekolah. Mbah Sarip tidak tahu apa itu trading sehingga dia menolak keputusan si Udin ini.
"nanti kamu berangkat sekolah naik apa, le?", kata Mbah Sarip kepada cucunya.
"gampang mbah, aku bisa jalan dari subuh", jawab Udin.
"Trading-trading kui opo(itu apa)? Semacam judi?", tanya Mbah Sarip perkara Trading.
"bukan Mbah, itu semacam investasi nanti uangnya balik lagi dua-tiga kali lipat", kata Udin menjelaskan.
"wes karep mu (terserah kamu), kalau lelah itu karena salahmu sendiri yo", kata Mbah Sarip memutus perdebatan.
Alasan Mbah Sarip mengakhiri perdebatan tersebut bukanlah karena merasa kalah debat dengan cucunya, tapi dia ingin pergi ke Pak Arif si rentenir guna menggadaikan sawahnya. Buat apa?, buat apalagi kalau bukan sedekah ke Kiai Said pekan ini.Â
Hari itu tekadnya sudah bulat untuk menggadaikan sawahnya walau kepada seorang rentenir sekalipun karena sudah membayangkan imajinasi tentang pengembalian sedekah yang tujun kali lipat itu.
Kakek dan cucu itu akhirnya pergi menyelesaikan tujuannya masing-masing. Udin ingin menjual sepeda bututnya demi modal trading sedangkan Mbah Sarip menggadaikan tanahnya untuk sedekah kepada Kiai Said.Â
Keduanya terbuai akan kemapanan dan terdorong karena kesulitan.
****