Berkumpul bersama kawan lama sudah menjadi rutinitasku jika akhir pekan tiba. Di kecamatan H banyak teman-teman semasa SMA ku yang seringku ajak nongkrong bareng guna melepas penat mengerjakan tugas kuliah. Kami memilih warung kopi dekat perlintasan rel kereta api.
Disamping kiri dan kanan perlintasan kereta api, aku melihat banyak perumahan semi permanen dari orang-orang yang kurang beruntung guna mendirikan tempat berteduh.Â
Saat kopiku yang kupesan datang, aku melihat kakek si penjual kursi panjang kapan hari di depan salah satu rumah disana. Mungkin itu rumahnya pikirku, mungkin dia baru pulang kerja dan bualannya kala itu menjadi alasan aku untuk tersenyum simpul.
Saat aku ingin meneguk kopiku ini lalu dari dalam rumah si penjual tua itu muncul sesosok perempuan bermata biru dan berambut pirang dengan daster khas indonesia namun kulitnya menangkap jelas bahwa dia bukan dari kalangan kami.Â
Dia membawa handuk dan kopi ke penjual tua itu dan berbincang manja. Saat mereka masuk ke dalam rumah mereka, aku belum juga meminum satu teguk pun kopiku hingga dingin.
*****
Cerita hanya fiksi belaka, kesamaan tempat, nama orang, dan cerita hanya kebetulan semata.
(Rahmad Alam, 26 Desember 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H