Mohon tunggu...
R. AMRAN
R. AMRAN Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Saya seorang jurnalis yang memiliki kesenangan menulis cerita dan perjalanan hidup seseorang sebagai inspirasi, selain itu saya selalu terobsesi untuk menggali suara-suara mereka yang kerap terpinggirkan agar dapat terdengar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Malam Bersama Kinan, Bagian 5: Jejak Rindu dalam Bayang Luka

6 November 2024   14:22 Diperbarui: 6 November 2024   14:23 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sampul Kinan/er.amran

Jejak Rindu dalam Bayang Luka

Malam itu terasa begitu sunyi ketika aku memutuskan untuk kembali menemui Kinan. Sudah beberapa hari aku tenggelam dalam rutinitas yang mencekik dan membelenggu, tetapi sesibuk apapun aku, pikiranku tak bisa lepas darinya. Kinan sosok yang misterius dan penuh cerita, yang selalu mengundang rasa ingin tahu.

Meski ada begitu banyak hal yang tak kuketahui tentang hidupnya, tentang masa lalunya, aku merasakan kedekatan yang aneh dan tak terjelaskan.

Sebelum melangkahkan kaki menuju tempatnya bekerja, aku membuka WhatsApp dan mengirimkan pesan singkat. Aku ingin memastikan bahwa malam ini dia sedang tidak sibuk melayani tamu, berharap bisa menikmati waktu dengannya tanpa gangguan. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan, banyak cerita yang ingin kudengar.

Balasannya datang beberapa menit kemudian dia bilang tempatnya sedang sepi dan ingin segera bertemu denganku juga. Ada nada antusiasme yang kurasakan dari pesannya, dan tanpa sadar, aku tersenyum sambil memasukkan ponsel ke saku.

Lorong-lorong sunyi dan cahaya temaram mengiringi langkahku saat aku mendekati tempatnya. Di tengah sepinya malam, suasana itu justru membawa perasaan hangat seolah setiap langkahku adalah langkah mendekat ke sesuatu yang kuinginkan tapi juga sekaligus kutakutkan. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di depan pintu tempatnya bekerja.

Ketika aku tiba, Kinan memintaku duduk di sofa yang telah disiapkannya dengan beberapa botol bir dan anggur di atas meja. Aku duduk, menanti kehadirannya. Sambil menunggu, aku menatap botol-botol itu entah kenapa, ada perasaan yang tak biasa muncul di hatiku. Rindu, kehangatan, dan sejumput rasa khawatir.

Setelah beberapa menit berlalu dan Kinan belum juga muncul, aku mulai bertanya-tanya, mengapa dia lama sekali?

Aku memutuskan untuk mencarinya. Langkahku membawaku ke lorong belakang, di mana aku melihat sosoknya berdiri bersama seorang pria. Pria itu terlihat mencolok dengan tubuh bertato dan telinga yang ditindik besar, penampilannya sedikit membuatku waspada. Mereka tampak terlibat dalam percakapan yang serius, sesekali suara mereka terdengar samar, dan Kinan terlihat sedikit menunduk, seolah dalam tekanan.

Aku berhenti sejenak, membiarkan diriku memperhatikan dari kejauhan. Siapa pria ini? Mengapa ia terlihat begitu akrab dengan Kinan? Jantungku berdetak lebih cepat saat pikiran buruk mulai menguasai kepalaku.

Aku mundur perlahan dan kembali duduk di sofa, mencoba menenangkan perasaan yang mulai tak karuan. Entah kenapa, ada rasa cemburu yang menyeruak begitu saja. Kuteguk bir di depanku, berharap kesegaran minuman itu bisa sedikit meredakan gejolak hatiku.

Namun, semakin aku mencoba tenang, perasaan aneh itu justru semakin dalam menggerogoti pikiranku.

Ketika akhirnya Kinan muncul di hadapanku, dia tampak tersenyum kecil, meskipun ada kelelahan di matanya. Tanpa menunggu lama, dia duduk di sampingku dan meminta maaf karena telah membuatku menunggu.

Rasa penasaran dan sedikit kecurigaan mendorongku untuk bertanya, meskipun aku takut jawaban yang mungkin kudengar.

"Kinan... apa ada masalah?" tanyaku, mencoba menyembunyikan rasa cemas di balik nada suara yang kuupayakan tetap tenang.

Dia tersenyum, berusaha meyakinkanku. "Tidak ada apa-apa, Bang. Hanya masalah kecil saja," jawabnya sambil tersenyum lemah.

Tapi itu tidak cukup. Sesuatu dalam hatiku menuntut penjelasan lebih. "Siapa pria bertato yang tadi kamu temui di belakang? Apakah dia... pacarmu, atau siapa?"

Kinan terdiam, tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku. Perlahan, dia menundukkan pandangannya, lalu menarik napas dalam sebelum menjawab.

"Dia bukan pacarku, Bang. Dia temanku Kami memang sempat dekat beberapa bulan yang lalu, tapi aku tidak ada perasaan apa-apa lagi dengannya. Cuma, dia sering datang ke sini... dan entah kenapa, dia selalu minta aku yang melayaninya. Aku sudah sering bilang aku tidak tertarik, tapi dia tidak pernah benar-benar mendengarkan."

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Jadi, dia datang ke sini hanya untuk menemui kamu?"

Kinan mengangguk, matanya menunjukkan kejujuran yang membuatku merasa sedikit lega, meski belum sepenuhnya. "Ia, Bang. Dia memang datang untuk menemuiku. Tapi tadi... dia memintaku untuk memilih, antara dia atau tamu lain yang kuberikan perhatian. Dan aku sudah membuat pilihan, Bang."

Kinan menatapku dengan mata yang tak pernah kulihat sebelumnya mata yang penuh ketulusan, seolah ingin memastikan bahwa aku mengerti arti kata-katanya. "Aku memilihmu, Bang. Aku nyaman sama kamu. Aku selalu merasa tenang setiap kali kamu ada di sini."

Kalimat itu menghantam hatiku dengan cara yang tak terduga. Ada kehangatan yang meluap dari setiap kata yang ia ucapkan, dan di saat yang sama, ketakutan mulai menyelimutiku.

Bagaimana jika pria itu tidak bisa menerima penolakan ini? Bagaimana jika kedekatanku dengan Kinan justru membuatnya dalam bahaya? Rasa cemas dan khawatir tiba-tiba berbaur dengan perasaan tak terdefinisi yang kini meluap di dada.

Aku tahu aku mulai terjerat dalam perasaan terhadapnya, tapi aku juga tahu bahwa ini bukan hubungan yang sederhana.

Saat itu, tanpa berkata-kata, Kinan merapatkan tubuhnya padaku, dan dalam sekejap, dia mendaratkan kecupan di pipiku. Dia memelukku erat, seolah mengatakan bahwa dia tak ingin aku pergi. Aku membiarkannya, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku.

Dalam pelukan itu, aku merasakan denyut jantungnya, denyut yang seirama dengan milikku entah karena rindu, cemas, atau mungkin perasaan yang tak perlu lagi disangkal.

Namun di balik kehangatan malam itu, pikiranku tetap diliputi seribu tanya. Apakah ini benar yang diinginkannya? Apakah aku benar-benar sosok yang mampu membuatnya merasa aman?

Sementara itu, Kinan mulai bicara, bercerita tentang hidupnya, tentang masa-masa sulit yang pernah ia lalui, tentang pria-pria yang datang dan pergi dalam hidupnya.

Dia bercerita tentang luka-luka masa lalunya, tentang keputusan-keputusan sulit yang harus ia ambil demi bertahan hidup. Setiap kata-katanya terasa berat, seolah tiap kalimat mengandung kenangan pahit yang berusaha ia sembunyikan.

"Kamu adalah satu-satunya yang berbeda, Bang. Bersamamu, aku merasa... ada harapan. Aku merasa dihargai," ucapnya sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku merasakan sejumput kesedihan yang ia coba sembunyikan. Tanpa sadar, aku menggenggam tangannya, memberikan kehangatan yang semampuku bisa berikan.

Kami duduk dalam diam, sementara hatiku bergejolak dengan berbagai emosi yang susah kumengerti. Aku tahu ini lebih dari sekedar rasa simpati. Ini adalah rasa yang mulai tumbuh tanpa kusadari.

Dalam malam yang sepi itu, kami hanya duduk bersama, membiarkan perasaan saling berbicara dalam keheningan. Tapi di dalam hatiku, aku tahu bahwa perjalananku dengan Kinan akan penuh dengan tantangan.

Dan entah mengapa, di balik keraguan dan kekhawatiran yang berdesakan di dalam pikiranku, aku tetap memilih untuk bertahan di sisinya, menghadapi apapun yang mungkin terjadi.

Sementara itu, Kinan hanya memandangku, tersenyum kecil, seolah mengatakan bahwa dia siap menerima apapun yang mungkin datang. Dan dalam keheningan malam yang penuh makna itu, aku berjanji dalam hati aku akan selalu ada untuknya, apapun yang terjadi.

Bersambung...

Bagian 6:  "Cinta di Balik Cahaya Kelam"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun