Aku mundur perlahan dan kembali duduk di sofa, mencoba menenangkan perasaan yang mulai tak karuan. Entah kenapa, ada rasa cemburu yang menyeruak begitu saja. Kuteguk bir di depanku, berharap kesegaran minuman itu bisa sedikit meredakan gejolak hatiku.
Namun, semakin aku mencoba tenang, perasaan aneh itu justru semakin dalam menggerogoti pikiranku.
Ketika akhirnya Kinan muncul di hadapanku, dia tampak tersenyum kecil, meskipun ada kelelahan di matanya. Tanpa menunggu lama, dia duduk di sampingku dan meminta maaf karena telah membuatku menunggu.
Rasa penasaran dan sedikit kecurigaan mendorongku untuk bertanya, meskipun aku takut jawaban yang mungkin kudengar.
"Kinan... apa ada masalah?" tanyaku, mencoba menyembunyikan rasa cemas di balik nada suara yang kuupayakan tetap tenang.
Dia tersenyum, berusaha meyakinkanku. "Tidak ada apa-apa, Bang. Hanya masalah kecil saja," jawabnya sambil tersenyum lemah.
Tapi itu tidak cukup. Sesuatu dalam hatiku menuntut penjelasan lebih. "Siapa pria bertato yang tadi kamu temui di belakang? Apakah dia... pacarmu, atau siapa?"
Kinan terdiam, tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku. Perlahan, dia menundukkan pandangannya, lalu menarik napas dalam sebelum menjawab.
"Dia bukan pacarku, Bang. Dia temanku Kami memang sempat dekat beberapa bulan yang lalu, tapi aku tidak ada perasaan apa-apa lagi dengannya. Cuma, dia sering datang ke sini... dan entah kenapa, dia selalu minta aku yang melayaninya. Aku sudah sering bilang aku tidak tertarik, tapi dia tidak pernah benar-benar mendengarkan."
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Jadi, dia datang ke sini hanya untuk menemui kamu?"
Kinan mengangguk, matanya menunjukkan kejujuran yang membuatku merasa sedikit lega, meski belum sepenuhnya. "Ia, Bang. Dia memang datang untuk menemuiku. Tapi tadi... dia memintaku untuk memilih, antara dia atau tamu lain yang kuberikan perhatian. Dan aku sudah membuat pilihan, Bang."