[caption caption="Sumber foto: Twitter @PPagau "][/caption]Kemarin, Selasa 9 Februari 2016, saya bertemu dan satu angkot dengan aktor senior Piet Pagau. Tahu dimana? Di angkot S11 dari Pasar Minggu menuju Lebak Bulus.
Saya duluan berada di atas angkot. Hari itu saya agak malas sebenarnya berangkat, tapi sudah saatnya menuntaskan sesuatu hal yang tertunda sekian waktu. Menutup satu lembaran.
Dari arah jalan raya Pasar Minggu, aktor senior itu berjalan dengan kaos putih model playboy. Badannya tegap, tetap dengan kumis yang lebat. Gayanya persis ikon selebriti masa lalu ada kacamata menggantung di bagian tengah kerah kaosnya. Di kedua lengannya yang kekar terdapat tato.
Tidak ada yang menyadari kehadirannya nampaknya. Saya pun sempat ragu, “Masak artis naik angkot, jangan-jangan ada hidden camera a la reality show?”
Ternyata ia sungguh-sungguh naik angkot. Di pertigaan Mangga Besar – Pasar Minggu, tepatnya di traffic light di kontur jalan yang menanjak, seorang bapak yang menaiki Yamaha Scorpio rupanya mengenalinya.
“Gak bawa mobil, pak bos?” tanya bapak di atas motor itu, sambil menunggu lampu merah yang masih menyala.
“Enggak, kan sudah disopirin,” kata Piet Pagau berkelakar sambil menunjuk sopir angkot di depan.
“Kalau ada helm dua biar saya boncengin deh, pak boss,” kata bapak di atas motor itu lagi.
“Makasih,” kata Piet Pagau.
“Masih syuting, pak boss?” kata bapak itu lagi.
“Masih, “Tukang Ojek di Pengkolan” tayang tiap hari jam empat sore sampai jam lima di RCTI. Nonton yah,” kata Piet Pagau mengakhiri pembicaraan, seiring lampu hijau yang menyala.
Saya pun akhirnya memberanikan diri menegur, “Bapak artis, bukan?”
Ia hanya mengangguk. Saya kembali bertanya, “Bapak Piet Pagau, khan?”
“Iya,” jawabnya singkat.
Seketika ada rasa keengganan bertanya lebih lanjut, namun tiba-tiba dia berubah cukup ramah.
“Saya asli Dayak, Kalimantan Barat. Bung Maluku?” katanya padaku.
Dengan kulit sawo matang dan hidung mancung besar, perawakanku memang kerap disangka dari Maluku. “Bukan, pak. Saya dari Bugis,” kataku.
“Bugisnya mana?” kata pak Piet.
“Wajo,” kataku.
“Wajo itu Sengkang atau Soppeng?” tanyanya lagi.
“Sengkang, pak,” jawabku.
“Saya pernah syuting di Sengkang dan Soppeng yang banyak kalongnya pada tahun ’92,” kata pak Piet lagi.
Naluri jurnalis saya pun langsung tumbuh. “Usia berapa sekarang, Pak?” kataku gantian bertanya.
“Masih muda, baru 65 tahun. Lebih mudah khan dari usia 66?!” katanya beretorika sambil tersenyum.
“Hahahaha, iya yah. Sudah berapa tahun jadi artis, pak?” kataku lagi.
“Baru kok, tahun 77. Buat sebagian orang, jadi artis itu hobi. Buat saya ini mata pencaharian, ini satu-satunya hal yang saya bisa. Dan saya bangga bica mencari nafkah buat keluarga dengan istilahnya jual tampang. Sebagian film yang saya bintangi adalah film laga,” kata pak Piet.
Tentu saja ada informasi yang pak Piet tutupi. Berdasarkan penelusuran di Google, ternyata pak Piet yang lulusan APDN tahun 1974 sempat mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Kalimantan periode 2003 – 2008, dan tercatat masih tergabung di DPD Partai Demokrat Kalimantan Barat.
Tapi sudahlah, itu bukan urusanku. “Bagaimana dunia perfilman sekarang, pak?” tanyaku lagi.
“Relatif lebih baik sekarang, film-film Indonesia makin banyak yang diputar di bioskop. Meski demikian, tidak dapat lantas dikatakan profesi ini lebih menjanjikan. Dunia artis sama saja dengan dunia profesi lainnya, contoh ada dua dokter yang berpraktek di sebuah jalan yang sama. Satu dokter ada yang ramai kunjungannya, satu dokter yang lain sepi,” kata pak Piet berfilosofi.
Saya masih ingin melanjutkan pembicaraan, tapi ternyata angkot tersebut sudah sampai ke titik tujuan. Saya pun pamit duluan ke pak Piet.
"Saya duluan, pak Piet," kataku.
Jika tidak ada yang kebetulan dalam setiap pertemuan, jika setiap pertemuan ada pesan pembelajaran, saya jadi tiba-tiba masih berpikir apa yah pesan pembelajaran dari pertemuan kali ini. Termasuk ketika pak Piet mengaku, jika pas selesai syuting sinetron “Tukang Ojek Pengkolan”, dia mengaku masih suka pulang naik omprengan dan kereta api menuju rumahnya di Bekasi.
“Mata saya sudah tidak kuat kena pantulan cahaya dari arah berlawanan, kalau bawa mobil sendiri,” pungkasnya di akhir pertemuan.
“Siap, pak Piet. Terima kasih atas waktu dan kesediaannya untuk mengobrol,” kataku, seraya menyerahkan satu lembar uang lima ribuan rupiah ke sopir angkot.
Pengalaman ini sementara saya simpan sebagai hal yang mengesankan. Jika beberapa kali, saya lihat bule-bule yang dulu dianggap eksklusif dulu juga naik angkot, saat ini saya melihat hal lain, “Artis pun sah naik angkot, dan dunia memang semakin horisontal,” gumamku.
Sukses, sehat dan bahagia selalu, pak Piet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H