Naluri jurnalis saya pun langsung tumbuh. “Usia berapa sekarang, Pak?” kataku gantian bertanya.
“Masih muda, baru 65 tahun. Lebih mudah khan dari usia 66?!” katanya beretorika sambil tersenyum.
“Hahahaha, iya yah. Sudah berapa tahun jadi artis, pak?” kataku lagi.
“Baru kok, tahun 77. Buat sebagian orang, jadi artis itu hobi. Buat saya ini mata pencaharian, ini satu-satunya hal yang saya bisa. Dan saya bangga bica mencari nafkah buat keluarga dengan istilahnya jual tampang. Sebagian film yang saya bintangi adalah film laga,” kata pak Piet.
Tentu saja ada informasi yang pak Piet tutupi. Berdasarkan penelusuran di Google, ternyata pak Piet yang lulusan APDN tahun 1974 sempat mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Kalimantan periode 2003 – 2008, dan tercatat masih tergabung di DPD Partai Demokrat Kalimantan Barat.
Tapi sudahlah, itu bukan urusanku. “Bagaimana dunia perfilman sekarang, pak?” tanyaku lagi.
“Relatif lebih baik sekarang, film-film Indonesia makin banyak yang diputar di bioskop. Meski demikian, tidak dapat lantas dikatakan profesi ini lebih menjanjikan. Dunia artis sama saja dengan dunia profesi lainnya, contoh ada dua dokter yang berpraktek di sebuah jalan yang sama. Satu dokter ada yang ramai kunjungannya, satu dokter yang lain sepi,” kata pak Piet berfilosofi.
Saya masih ingin melanjutkan pembicaraan, tapi ternyata angkot tersebut sudah sampai ke titik tujuan. Saya pun pamit duluan ke pak Piet.
"Saya duluan, pak Piet," kataku.
Jika tidak ada yang kebetulan dalam setiap pertemuan, jika setiap pertemuan ada pesan pembelajaran, saya jadi tiba-tiba masih berpikir apa yah pesan pembelajaran dari pertemuan kali ini. Termasuk ketika pak Piet mengaku, jika pas selesai syuting sinetron “Tukang Ojek Pengkolan”, dia mengaku masih suka pulang naik omprengan dan kereta api menuju rumahnya di Bekasi.
“Mata saya sudah tidak kuat kena pantulan cahaya dari arah berlawanan, kalau bawa mobil sendiri,” pungkasnya di akhir pertemuan.