Mohon tunggu...
Rahmad Nasir
Rahmad Nasir Mohon Tunggu... Dosen - Rahmad Nasir lahir di Kabupaten Alor. Dosen STKIP Muhammadiyah Kalabahi

Rahmad Nasir lahir di Kabupaten Alor. Dosen STKIP Muhammadiyah Kalabahi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Verifikasi Sejarah tentang Peran Ilyas Gogo dalam Penyebaran Islam di Tuabang-Blagar

21 Maret 2021   07:00 Diperbarui: 21 Maret 2021   07:05 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berdasarkan adat/tradisi orang Tuabang, struktur keturunan Suku Uma Keba/Howa Keb merupakan satu rumpun keluarga dengan Suku Ba alang/Bakalang - Kalimatang. Sehingga ketika keturunan Uma Keba/Howa Keb hilang (Tidak ada Keturunan), maka pusaka ini (Al-Qur'an Tua Kulit Kayu) hanya bisa dipindah tempatkan di dua Rumah suku terkait lainnya yakni (Rumah Suku Ba alang dan Suku Kalmatang). Saat ini keberadaan pusaka tersebut berada di Rumah Suku Kalmatang atas perintah Kapitang (Kapitan) Bakalang, Taher Noke Salama.  Awalnya pusaka tua ini dijaga oleh Bapak Lekang (Salah satu orang tua Suku Kalimatang -- Ba alang) pada saat itu dan  setelah wafat, pusaka ini dijaga oleh salah satu anaknya, Bapak Koli Mahi/Koli Lekang (Alm) dan hingga saat ini pusaka tersebut masih terawat dan tersimpan rapi di rumahnya yang dijaga oleh Mardan Lekang (Anak sulung dari Bpk Koli Lekang, Alm).

Deskripsi tentang Perkembangan Islam di Tuabang - Blagar pasca  penemuan Al-Qur'an Tua Kulit Kayu

Pada masa ini terdapat dua fase dalam perkembangan Agama Islam di Tuabang - Blagar  yakni :

Fase keberadaan Al-Qur'an Tua Kuli Kayu (Oleh Kari Dasing)

Pada fase ini kepercayaan tentang agama sudah mulai tumbuh walaupun masih jatuh - bangun dan berbaur animistis/dinamistis. Banyak hal dan kegiatan yang dilakukan oleh mereka untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Walaupun dengan cara-cara ritual adat/tradisi yang secara turun-temurun telah dilakukan yang tentunya sudah keluar dari konteks syariat Islam yang sebenarnya. Tetapi seperti itulah pengetahuan atau pemahaman mereka tentang sebuah kepercayaan (Agama).

Seiring dengan berjalannya waktu, pengaruh atas hadirnya Al-Qur'an tersebut secara signifikan sudah mualai nampak. Hal ini terlihat dari cara-cara mereka dalam tradisi adat/budaya mereka dengan menempatkan Al-Qur'an sebagai symbol kepercayaan (Agama). Setiap hajatan apapun, baik dalam urusan agama maupun dalam urusan social budaya, mereka senantiasa menempatkan  Al-Qur'an sebagai syarat untuk memulai dan melakukan sesuatu. Misalnya ketika awal memasuki bulan Ramadhan, penduduk setempat secara bersama-sama mengantar AL-Qur'an ke tempat Ibadah  yang dilakukan secara serimonial yang bernuansa tradisi dan budaya. Begitupun dalam kegiatan social kemasyarakatan lainnya seperti : musim tanam kebun maupun  disaat musim panen, hal yang sama tetap mereka lakukan sebagai sebuah symbol  kepercayaan bahwa akan ada berkah dan rizki dari Laha Tala (Allah Ta'ala) dalam hidup mereka. Dengan demikian maka dalam melakukan hajatan-hajatan tertentu sulit kita membedakan anatara hajatan agama dan social kemasyarakatan serta  adat istiadat.  Adat dan agama seakan berjalan seirama ditengah-tengah kehidupan dan bahkan dijadikan sebagai filosofi hidup mereka.

Penempatan struktur sosial buadaya dalam berbagai kegiatan termasuk urusan agama sudah mulai terbentuk dengan menempatkan tiap - tiap suku dengan urusannya masing - masing. Hal ini nampak terlihat hingga saat. Dalam urusan agama, suku Batara menempatkan posisi sebagai imam, suku Bakalang (Ba alang) dan Lamalata sebagai khatib dan ada pula suku-suku lain sebagai moding/bilal dan begitu pula   dalam urusan adat/budaya. Dan pada saat itulah Kari Dasing ditunjuk dan dipercayakan oleh para petua sebagai Imam di Bakalang. Seiring dengan berjalannya waktu, Kari Dasing pun tutup usia dan dimakamkan di Bakalang (Dibawah Mesbah Bakang).

Hidup rukun dan damai dengan berlandaskan adat/tradisi  dan agama sudah menjadi bagian dari keyakianan dan bahkan dijadikan sebagai filosofi hidup mereka.  Dari sinilah isyarat-isyarat yang berkaitan dengan adat/tradisi dan agama mulai tumbuh dan terpelihara seiring dengan berjalannya waktu hingga saat ini.

Fase Kedatangan H. Hasan (Seorang Ulama dari Butung/Buton)

Diperkirakan sekitar akhir tahun 1880 datanglah seorang Ulama dari Butung (Buton/Binongko) bernama H. Hasan. Ia melakukan perjalanan dari butung/buton ke wilayah timur nusa tenggara timur dengan menggunakan perahu layarnya (Butung Je/Perahu Buton) dan berlabuh di pulau pantar tepatnya di Bakalang, sekarang (Desa Batu, Kecamatan Pantar Timur).

Sebelumnya penduduk setempat tidak mengetahui apa misi yang hendak dibawah atau dijalankan oleh H. Hasan. Tetapi pada akhirnya juga diketahui oleh penduduk setempat bahwa H. Hasan adalah seoarang ulama dan penganut Ilmu tarekat yang sangat terkemuka. Setibanya disana, Ia menanyakan keberadaan para pemuka Agama (Jou) di Bakalang dan sekitarnya. Selama  beberapa saat berita ini berkembang sampai di Tuabang hingga ke telinga salah satu pemuka Agama (Jou) bernama Sogo. Setelah mendengarkan berita itu datanglah Sogo ke Bakalang untuk menemui H. Hasan. Perbincangan tentang masalah agama mulai dilakukan oleh memerka berdua. Selang beberapa saat, mereka bersepakat untuk pergi ke Tuabang dan pada akhirnya tinggallah H. Hasan bersama keluarga besar Tuabang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun