Mohon tunggu...
Rahmad Nasir
Rahmad Nasir Mohon Tunggu... Dosen - Rahmad Nasir lahir di Kabupaten Alor. Dosen STKIP Muhammadiyah Kalabahi

Rahmad Nasir lahir di Kabupaten Alor. Dosen STKIP Muhammadiyah Kalabahi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Verifikasi Sejarah tentang Peran Ilyas Gogo dalam Penyebaran Islam di Tuabang-Blagar

21 Maret 2021   07:00 Diperbarui: 21 Maret 2021   07:05 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut keterangan salah satu penutur di Tuabang - Blagar, Mashap Lekang (Salah satu keturunan dari pemegang/penjaga Al-Quran Tua Kulit kayu) bahwa walaupun kita tidak mengetahui secara pasti tentang kapan, dari mana dan oleh siapa yang membawa Al-Quran tersebut, namun secara logis (Rasional) dapat kita fahami bahwa Al-Quran merupakan alat dan bukti nyata  (Benda Pusaka) yang paling relefan dengan sebuah kegiatan keagamaan (Dakwah Islam) dalam misi penyebaran Islam.  Dengan demikian maka Al-Quran tua kulit kayu saat ini dapat dilihat sebagai salah satu pusaka peninggalan Ilyas Gogo dalam misi penyebaran agama Islam di Tuabang - Balagar.

Dari data keterangan yang telah beredar diberbagai sumber bahwa kedatanagn Gogo bersaudara di Alor - Pantar dan kepulauan Solor  kemudian menyebar ke beberapa daerah hingga IIyas Gogo ke Tuabang pada Tahun (1523 M). Sementara itu menurut keterangan salah satu nara sumber di Tuabang - Blagar Bpk Kou Sogo (96 Tahun, Imam Tua Tuabang - Blagar) bahwa diperkirakan  pada Tahun  1523 - 1600 M, Tuabang ketika itu  belum dihuni oleh sipapun.  Penghuni saat itu masih berada di daerah pedalaman (Lamalata, Kmau Lewo, Tubong Omi dan sekitarnya) oleh keluarga suku Lamalata dan suku-suku terkait lainnya. Sementara  sebagian penghuni saat itu berada di Bakalang, oleh (Keluarga suku Batarah). Keterangan yang sama juga disampaikan oleh salah satu penutur Bpk Watang Mou (68 Tahun, Tokoh Adat) bahwa Tuabang baru dihuni sekitar pertengahan Tahun 1600-san ketika Bapak Ela Leki bersama keluarganya (Keluarga Suku Batarah) yang sudah mengenal  Agama Islam, (walaupun belum sempurna)  berhijrah dari Bakalang ke Tuabang. Beberapa waktu kemudian setelah diketahui bahwa sudah ada penghuni/kehidupan  (Sudah ada api dan asap) di kampung  (Tuabang), maka turunlah keluarga suku Lamalata dari pedalaman dan datang pula suku-suku lainnya (Kiliwei, Dekopira dan sebagainya). Mereka hidup berdampingan dan membangun silaturahmi dengan cara hubungan kawin - mawin hinnga mebentuk sebuah perkampungan walaupun jumlah mereka masih sangat  terbatas dalam pengetahuan (Agama).

Dengan demikian maka para petua kampung memperkirakan bahwa kemungkinan karena di Tuabang belum dihuni oleh siapapun  pada saat itu (Tahun 1523-1600 M), maka tibanya  Ilyas Gogo di Tuabang dalam misi penyebaran Islam hanya dalam  beberapa saat. Entah berapa lama ia berada di sana dan kemudian melanjutkan perjalanannya lagi.  Tidak diketahui secara jelas seperti apa perjalanannya. Bisa ditafsirkan bahwa kemungkinan ia menyempatkan diri untuk datang berlindung diri dan  beristirahat  di salah satu Gowa yang berada di bukit Hamanduli,  (Tempat dimana Al-Quran tua kulit kayu ditemukan). "Sebutan bukit Hamanduli merupakan sebutan atau  penamaan bukit bagi orang Dekopira (Kampung Lama) dengan menggunakan dialeg khas bahasa senai'ngnya yang ditujukan pada bukit  dimana Al-Qur'an tua itu ditemukan".

Tidak diketahui secara pasti, setelah beristirahat di Gowa apakah Ilyas Gogo melanjutkan perjalanannya lagi atau tidak...? (Sebuah pertanyaan misteri yang belum diketahui jawabannya hingga saat ini) . Jika ia melanjutkan perjalannya, maka tentunya ia harus membawa Al-Qur'an tersebut. Tetapi kenyatannya Al-Qur'an tersebut  tetap berada di Gowa yang pada akhirnya ditemukan oleh Kari Dasing (Orang Dekopira). Apakah  mungkin Ilyas Gogo menghembuskan nafas terakhirnya disana (Gowa)? Hal ini membutuhkan proses penelitian yang lebih dalam.

Sejarah penemuan Al-Qur'an Tua Kulit Kayu dalam cerita rakyat

 

Diperkirakan pada pertengahan abad ke XVI, konon ada seorang non muslim yang bernama Kari Dasing yang tinggal di dekopira (Kampung Lama), sebuah perkampungan kecil yang berada didaerah pedalaman (Di wilayah pegunungan Tuabang - Blagar). Kari Dasing adalah seorang petani yang menggantungkan hidupnya dari berkebun. Suatu saat ketika musim kebun tiba, ia membuka lahan dan berkebun di sekitar daerah bukit yang tidak jauh dari kampungnya  (Dekopira). Sebagai seorang petani tentunya tidak menginginkan jika jagungnya dimakan oleh binatang apapun.   Suatu malam, ketika jagung mulai membaik Kari Dasing melakukan ronda malam (Patroli Mengelilingi Kebunnya) walaupun hanya dengan  bermodalkan cahaya bulan dan bintang. Ditengah patroli mengelilingi kebunnya, sepintas ia merasa bahwa sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.  Dari cahaya bulan dan bintang  ia memastikan bahwa yang sedang berada didalam kebunnya adalah seekor binatang. Tanpa kompromi ia langsung menancapkan anak panahnya kearah sasaran sambil mendekatinya, namun tidak ada sesuatu yang ia temukan disana. Malam semakin larut Kari Dasing pun  kembali ke pondoknya untuk istirahat.

Di dalam tidurnya ia bermimpi datanglah seorang Skheh berjubah putih bertemu dengannya  sambil berkata kepadanya bahwa besok pagi jika engkau bangun dari tidurmu datanglah ketempat dimana engkau memanah binatang semalam. Ketika anda sudah tiba disana  (Kata Skheh kepada Kari Dasing) ikutilah jejak binatang itu hingga jejak itu hilang, dan disanalah engkau akan mendapatkan sesuatu. Malam berganti pagi Kari Dasing pun sadar dan bangun dari tidurnya. Ia yakin bahwa isyarat dalam mimpinya adalah menjadi sesuatu yang baik bagi dirinya. Tanpa tunggu lama Kari Dasing lansung datang ketempat dimana ia memanah binatang semalam dan terus mengikuti jejak binatang tersebut hingga berhenti didepan sebuah gowa.  Ia yakin bahwa disitulah jejak binatang itu berakhir.  Dengan penuh keyakinan, sambil mengikuti isyarat yang disampaikan oleh Skheh dalam mimpinya dengan menyebut kata "Tarbitil" Mungkin maksutnya Tartil, dalam bahasa arab artinya : "Membaca Al-Qur'an  secara perlahan dengan tajwid dan makhroj yang jelas dan benar" maka pintu  Gowa pun terbuka dan masuklah Kari Dasing ke dalam gowa.  Disana (dalam gowa) terdapat kehidupan yang begitu indah dan mewah yang dihiasi dengan berbagai macam harta pusaka selayaknya berada dalam istana. Ia disambut dan diterima dengan baik oleh para pelayan.

Ditengah suasana keramain itu Kari Dasing diarahkan oleh para pelayan untuk menemui sang raja yang sedang sakit. Ia diminta untuk mengobati sang raja. Dengan berbekal dedaunan dan akar/kayu  yang dibawa dalam gulungan sarungnya (Sesuai dengan isyarat Skheh dalam mimpinya), Kari Dasing pun mengobati sang raja dengan menggunakan daun dan akar tersebut. Dalam beberapa saat, sang raja pun bangun dari tidurnya seakan ia mulai pulih dari sakitnya.  Sebagai ucapan terimah kasih atas jasa Kari Dasing kepadanya, maka sang raja menawarkan Kari Dasing untuk memilih harta pusaka di istana yang diinginkannya. Dari sekian harta yang ditawarkan kepadanya, ia hanya memilih dua buah Al-Qur'an (Dengan ukuran yang berbeda, besar dan kecil) yang ketika itu digunakan oleh sebuah majelis pengajian yang sedang membaca Al-Qur'an dan adapula yang melakukan  Zikir dan Do'a.

Pada saat itulah Kari Dasing diberikan dua buah Al-Qur'an dan dengan penuh keyakianannya  bahwa semua yang telah dilakukan merupakan sesuatu yang baik dan menjadi isyarat bagi dirinya untuk masuk isalam. Selama beberapa saat di gowa ia diajarkan  mengaji hingga bisa membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar

Singkat cerita, kari Dasing pun kembali kekampung menemui keluarganya dan menceritakan peristiwa yang dialaminya. Kerena ia telah memilih untuk masuk agama Islam, maka turunlah Kari Dasing ke pantai  tempatnya  di Bakalang dan selama beberapa saat disana,  ia datang ke Tuabang dengan membawa  Al-Qur'an tersebut. Disanalah ia bergabung dan hidup bersama dengan orang Tuabang, tempatnya di Uma Keba/Howa Keb. Kehadiran Kari Dasing dengan Al-Qur'an yang dibawahnya menjadi pusat perhatian orang Tuabang dan sekitarnya bahkan dijadikan sebagai "Ikon'" (Simbol) kepercaraan (Agama) pada saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun