Tapi Mak Nar masih diam dan kembali melemah genggaman tangannya.
"Emak janji sama Lily...janji akan melihat Lily menikah." kembali kudekatkan mulutku ke telingan beliau.
"Lily sudah mendapatkan laki-laki seperti yang Emak harapkan..." bisikku lirih.
"Sembuh ya Mak...sembuh...kuat ya Mak..." pintaku kepada tubuh di depanku yang semakin melemah.
Aku merasa jarak rumah sakit rujukan  begitu jauh. Meskipun kenyataannya jarak tempuh dari rumah sebenarnya hanya 30 menit. Ingin rasanya aku menggantikan supirnya dan melajukan ambulan ini secepatnya agar bisa segera tiba di rumah sakit dan Mak Nar segera bisa mendapat perawatan.Â
"Nduk...Lily ayo sudah malam, jam 9...waktunya tidur, besuk masuk pagi." terdengar suara lembut mama mengingatkan aku untuk tidur ketika aku masih asik menonton TV.Â
Aku menoleh dan berjalan gontai menuju kamarku. Mama mengikutiku dari belakang dan bertanya apakah tugas-tugas sekolahku sudah beres, sudah disiapkan semuanya dan menyuruhku untuk berwudhu sebelum tidur. Begitulah setiap malam aku harus menjawab pertanyaan yang sama dari mama. Setelah mendapat jawaban kemudian mama mengucapkan selamat malam dan mencium keningku dan mendoakanku agar menjadi orang yang sukses.Â
Sebelum tidur terkadang aku minta ijin kepada mama untuk ditemani Mak Nar . Ada kedamaian yang aku rasakan ketika Mak Nar tidur di sampingku. Entah karena sejak umur 5 tahun Mak Nar lah yang memenuhi segala kebutuhanku dan menjagaku selama mama masih sekolah. Beliaulah yang mengajakku bermain, mengantarku kemana saja aku pergi, menemaniku serta mendongenkan cerita-cerita fabel yang pernah beliau dengan dari neneknya dulu.Â
Meskipun berulang-ulang diceriterakan tapi hal itu tidak pernah membosankan bagiku. Beliau juga menyelimutiku dengan jarik kesayangannya, peninggalan dari neneknya. Meski terkesan sedikit kumal tapi terasa hangat bagiku, sehangat kasih sayang Mak Nar kepadaku. Dan aku merasa bahwa Mak Nar adalah ibu kedua bagiku.
Sampai sekarang ketika aku sudah sarjana dan bekerja di sebuah kantor BUMN. Aku masih suka didongengi si Kancil, dan tidur dengan selimut jariknya Mak Nar.Â
"Nduk...cantik, kapan mau nikah? ". Pertanyaan itu hampir selalu ditanyakan Mak Nar ketika aku pulang ke rumah.