Pramoedya, dengan kepiawaiannya dalam menyusun plot dan karakter, menghadirkan sejarah dalam bentuk yang lebih hidup dan manusiawi, bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi sebagai proses berkelanjutan yang menghidupkan memori dan pengalaman.
Saya (masih) hidup di dalam Rumah Kaca modern
Di luar konteks Indonesia pascakemerdekaan, Rumah Kaca juga dapat dilihat sebagai cerminan dari kondisi sosial dan politik yang lebih luas.
Di dunia yang semakin terhubung ini, kita menyaksikan fenomena di mana kekuasaan dan ideologi kembali mengendalikan pemikiran individu melalui media, teknologi, dan struktur sosial yang kompleks.
Seperti orde baru yang menyelewengkan fungsi-fungsi strategis tempur komando-komando teritorial dari tingkat kodam, korem, kodim, hingga koramil, hanya untuk sekadar mengawasi tingkah-polah rakyatnya sendiri. Begitu juga dengan UU ITE. Sebelas-duabelas.
Tentang orde baru, Stuart Hall (1997) menggambarkannya secara bernas, bahwa kekuasaan dapat mengontrol representasi budaya hingga narasi sejarah.
Melalui rumah yang terbuat kaca, semua dapat dilihat, diawasi, dan dikendalikan. Freedom of speech ternyata juga masih harus menghadapi ancaman penjara.
Saya, Anda, kita semua sesungguhnya sedang terperangkap dalam ilusi kebebasan yang diciptakan oleh kekuasaan, kita juga terjebak dalam citra dunia yang dibentuk oleh narasi besar yang dikendalikan oleh kepentingan segelintir elit, oligark.
Dalam hal ini, Rumah Kaca menjadi relevan untuk dibaca kembali oleh generasi yang menghadapi tantangan globalisasi, kemajuan teknologi, dan sistem politik yang seringkali lebih memperlihatkan wajah canggih daripada memperlihatkan kebenaran.
Pramoedya mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati tidak akan datang dari luar, tetapi harus dimulai dari kesadaran individu yang berani menembus kaca tersebut, untuk melihat dunia dan diri mereka dengan jujur.