Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Seabad Pramoedya: Saya (Masih) Hidup di Dalam 'Rumah Kaca'

2 Februari 2025   07:00 Diperbarui: 2 Februari 2025   04:28 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah kelahiran Pram merangkap Perpustakaan Pataba (PAT Anak Semua Bangsa) kini dikelola Soesilo Toer, adik Pram (Foto: jeo.kompas.com)

Melalui Rumah Kaca, Pramoedya mengkritik keras bagaimana pemerintahan baru yang muncul setelah kemerdekaan justru membawa beban yang lebih berat, yaitu korupsi, ketidakadilan, dan kekuasaan yang berputar di sekitar pemeliharaan status quo.

Hal ini menggugah kita untuk mempertanyakan apakah perjuangan revolusi benar-benar mencapai tujuannya, atau justru menjadi alat bagi elit untuk mempertahankan dominasi mereka atas rakyat.

Memahami Rumah Kaca dengan lensa teori sosial dan politik

Foucault dalam Discipline and Punish (1975) menjelaskan bagaimana kekuasaan modern beroperasi melalui mekanisme pengawasan yang halus namun efektif.

Meminjam kalimat Gramsci (1971) bahwa kekuasaan tidak hanya dilaksanakan dengan cara-cara represif (seperti militer atau hukum), tetapi juga melalui kontrol terhadap ideologi, cara berpikir, dan keyakinan sosial yang diterima oleh masyarakat.

Pramoedya, melalui Rumah Kaca, tidak hanya mengkritik kolonialisme, tetapi juga menggugat cara kekuasaan bekerja dalam bentuk apa pun.

Novel ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan yang represif tidak hanya menindas yang terjajah, tetapi juga merusak jiwa sang penindas.

Seperti kata pepatah tua, "Menang jadi arang, kalah jadi abu".

Selaras dengan itu, Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution (1972), kolonialisme adalah sistem yang merusak semua pihak---baik yang dijajah maupun yang menjajah.

Salah satu kekuatan utama dalam karya-karya Pramoedya adalah kemampuannya untuk menyusun narasi sejarah dengan cara yang mendalam dan humanistik. Dia melawan narasi penguasa yang menyesatkan. Mengontruksikan ulang sejarah melalui sastra kerakyatan. 

Seperti kata Hayden White (1987) bahwa sejarah bukan hanya sekadar kumpulan fakta, melainkan sebuah narasi yang dibentuk oleh pilihan bahasa, struktur, dan sudut pandang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun