Jika kita berjalan melewati pasar tradisional atau pasar desa, hampir bisa dipastikan kita akan menemui toko emas yang bersaing dengan kios-kios sayur, pakaian, atau makanan.
Meskipun pasar ini dikenal dengan kesan sederhana, toko emas selalu memiliki tempat khusus, seperti sebuah pusat daya tarik yang mengundang perhatian.
Namun, apa yang mendasari fenomena ini? Mengapa toko emas selalu hadir di hampir setiap pasar tradisional, bahkan di desa-desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar? Apakah ini berkaitan dengan mitologi tertentu?
Jawabannya, ternyata, tidak sesederhana hanya soal angka permintaan-penawaran atau keuntungan bisnis semata. Fenomena toko emas di pasar tradisional mengandung berbagai lapisan sosial, budaya, dan ekonomi yang saling berhubungan.
Semakin penasaran? Untuk memahaminya, mari kita telusuri lebih dalam.
Awal Mula
Memang agak sulit menelusuri awal mula keberadaan toko emas di dalam pasar tradisional. Kurangnya sumber-sumber tertulis menjadi kerumitan tersendiri. Namun, untuk menambah wawasan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sejarah perdagangan emas di kawasan Coyudan, Solo, dimulai sekitar tahun 1930-an. Pada masa itu, kawasan ini menjadi pusat perdagangan emas yang ramai dengan berbagai toko perhiasan (Saputri, 2012).
Toko Emas Gadjah, salah satu yang terkenal, didirikan pada tahun 1934 oleh seorang pedagang emas keturunan Tionghoa bernama Lan Kiem Tjiang.
Sejak tahun 1960-an, banyak pedagang kaki lima mulai muncul di Coyudan.Ā