Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat SosialāŽ®PenulisāŽ®Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyelami Kedalaman Empati, dari Kasus Deddy Corbuzier hingga Teori Hoffman

20 Januari 2025   16:09 Diperbarui: 20 Januari 2025   19:34 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Siswa menyantap menu makan bergizi gratis (MBG). (Foto: KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG)

Saya tidak sedang mengungkit kasus Deddy Corbuzier yang mengunggah video 'marah-marah' terhadap anak kecil pemrotes rasa lauk ayam menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Saya juga tidak sedang memanfaatkannya sebagai materi konten.

Sejak awal saya menegaskan bahwa MBG sebagai program andalan Presiden Prabowo bersifat kolosal dan kolaboratif. Melibatkan banyak manusia, organisasi masyarakat, pengusaha, kementerian dan lembaga. Intinya, banyak unsur yang ada di dalamnya.

Karena MBG memiliki skala nasional yang luas dan jumlah penerima manfaat sebanyak puluhan juta orang, dalam konteks itu maka setiap evaluasi, masukan, bahkan kritikan harus ditanggapi secara bijak demi keberlanjutan program 'mulia' ini.

Kita juga harus sadar bahwa program MBG ini masih berproses dan belum berjalan secara optimal. Baik dari aspek pengolahan, pelayanan, pola kerja sama, distribusi, bahkan persoalan anggaran yang masih sangat terbatas.

Tentang Artikel Sebelumnya

Sejak saya mengunggah artikel bertajuk "Deddy Corbuzier, Saya, dan Kecerdasan Etis" (Klik baca di: https://www.kompasiana.com/rahardian76/678bcd0ac925c46f5030c3a2/deddy-corbuzier-saya-dan-kecerdasan-etis) tanggal 18 Januari 2025, pukul 16.51 WIB setidaknya ada tiga hal yang membuat hati saya bungah.

1. Respons positif kompasianer terhadap isi artikel

Respons kompasianer dapat diukur melalui statistik. Artikel tersebut sudah dibaca sebanyak 622 kali; diberi nilai oleh 20 orang; dan 10 orang berkomentar. Statistik itu bergerak terus sampai saya menulis hari ini, 20 Januari 2025.

Soal jumlah pembaca, kita tidak tahu apa motivasi kompasianer di balik itu. Tapi ini persoalan lain. Karena saya tidak akan pernah tahu isi hati semua kompasianer. Apapun itu, saya menunduk hormat dan melambungkan terima kasih setinggi-tingginya kepada kompasianer yang sudi membaca artikel saya.

Kita periksa sebagian isi komentar. Salah satunya datang dari Ā pemilik akun kompasiana.com/feyfey. Saya kutip sebagian di sini, "DC tak akan meminta maaf karena dia selalu merasa benar. Dia sedang terbang ke langit hingga lupa menapak ke bumi."

Dengan pengalaman beliau yang pernah shooting di TransTV, menyatakan bahwa menu MBG yang hanya Rp10.000 itu tidak bisa dibandingkan dengan makanan box untuk shooting.

Feyfey adalah komentar diurutan terakhir. Komentar pertama kali datang dari pemilik akun kompasiana.com/owenjuve dengan nama Yulius Roma Patandean. Beliau menulis, "MBG memang perlu dilihat dengan kacamata bijak di tengah plus minus pelaksanaannya."

"Terima kasih, tulisannya mewakili isi hati banyak orang," komentar Niala Cita pemilik akun kompasiana.com/nialacitaliayudi6112.

Karena keterbatasan ruang, maka saya tidak bisa menukil semua komentar kompasianer di sini. Intinya, rekan-rekan kompasianer membagikan komentarnya secara positif dan mengajak DC untuk mengoreksi tindakannya yang kurang baik tersebut.

2. Artikel Utama

Termasuk saya, semua kompasianer tentu akan bungah hatinya ketika tulisannya mendapat apresiasi sebagai Artikel Utama (AU). Kompasiana tentu mempunyai ukuran tersendiri untuk menetapkan predikat tersebut. Ini bukan bentuk keangkuhan. Tapi tanggung jawab atas semua isi artikel.

3. Munculnya artikel Teori Empati

Sesungguhnya yang paling membuat hati saya bungah adalah per 18-20 Januari 2025 sekira 150an artikel dengan topik perkembangan empati dan moral serempak diunggah oleh para kompasianer. Hanya dalam waktu 3 hari.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kedalaman teoritik terhadap isu kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan verbal, yang dituangkan ke dalam sebuah artikel dengan beragam pendekatan dan sudut pandang merupakan momentum kesadaran baru.

Publik turut aktif dalam menjaga pertumbuhan anak-anak penerima manfaat MBG, maupun anak-anak lain yang belum menerimanya. Bravo!

Tentang Teori Empati

Empati, sebagai kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain, merupakan elemen penting dalam interaksi sosial manusia.

Awalnya, empati hanya dipandang sebagai karakter bawaan atau genetik yang diturunkan melalui orang tua.

Singkatnya, empati adalah gift pemberian dari Tuhan yang tidak bisa diajarkan apalagi dikembangkan kepada orang lain (Cronbach, 1955; Hogan, 1969).

Namun demikian, seperti ilmu sosial lainnya, diyakini bahwa empati dapat diukur, meski di zaman itu para ahli belum menemukan instrumen yang akurat untuk mengukurnya.

Teori empati telah menjadi fokus kajian dalam psikologi, dengan berbagai ahli memberikan pandangan yang berbeda mengenai komponen dan fungsi empati.

Titchener (1909) memperkenalkan istilah empati sebagai terjemahan dari bahasa Jerman "Einfhlung", yang awalnya digunakan dalam konteks estetika. Ia menggambarkan empati sebagai proses di mana individu dapat memahami kondisi mental dan emosional orang lain.

Carl Rogers (1959) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk memahami kerangka internal orang lain dengan akurat, sehingga individu dapat merasakan pengalaman orang lain tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, para ahli menunjukkan bahwa empati tidak hanya tentang merasakan, tetapi juga tentang memahami konteks emosional orang lain. Empati bukan sekadar kemampuan bawaan sejak lahir, melainkan keterampilan yang harus diajarkan, diasah dan dibentuk.

Dari pemahaman itu kemudian kita mengenal Teori Empati Hoffman.

Hoffman dan Kontribusi yang Menyertainya

Martin L. Hoffman, seorang psikolog Amerika dan profesor emeritus psikologi perkembangan dan klinis di Universitas New York. Kitabnya terbit tahun 2000 berjudul "Empathy and Moral Development: Implications for Caring and Justice." Menjadi rujukan banyak ahli.

Dalam kariernya, Hoffman terutama berfokus pada pengembangan empati dan hubungannya dengan perkembangan moral, yang ia definisikan sebagai "people's consideration for others", pertimbangan orang terhadap orang lain.

Hoffman berpendapat bahwa empati bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba di usia tertentu, melainkan berkembang secara bertahap seiring dengan pertumbuhan kognitif dan emosional anak.

Hoffman meyakini bahwa perilaku moral sering kali dilandasi oleh perasaan empatik terhadap orang lain, bukan hanya oleh pengertian rasional atau norma sosial yang diinternalisasi.

Sederhananya, perilaku prososial dan antisosial dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat empati seseorang. Semakin besar empati, semakin kuat prososial.

Hoffman memproklamirkan bahwa perkembangan empati sangat terkait dengan munculnya perilaku prososial. Ketika seseorang merasakan empati terhadap orang lain yang sedang mengalami kesulitan, mereka lebih cenderung untuk memberikan bantuan atau dukungan.

Hal ini menunjukkan bahwa empati bukan hanya sekadar pengalaman emosional, tetapi juga menjadi motivator utama untuk bertindak secara prososial

Hoffman mendefinisikan empati bukan sebagai emosi tunggal, melainkan sebagai serangkaian respons afektif yang kompleks yang berkembang seiring dengan pertambahan usia.

Ia membedakan dua dimensi utama dalam empati: dimensi kognitif dan dimensi afektif. Dimensi kognitif berkaitan dengan kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, sedangkan dimensi afektif berhubungan dengan pengalaman emosional yang muncul ketika merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Singkatnya, teori empati yang dikemukakan Hoffman tidak hanya menjelaskan proses, tetapi juga menguraikan berbagai faktor yang mempengaruhi serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Empati

Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan empati menurut Hoffman meliputi:

1. Sosialisasi: Interaksi dengan orang tua dan teman sebaya sangat penting dalam membentuk kemampuan empati.

2. Perkembangan Kognitif: Kemampuan kognitif seperti teori pikiran memungkinkan anak untuk memahami bahwa orang lain memiliki pikiran dan perasaan yang berbeda.

3. Pengalaman Pribadi: Pengalaman dengan emosi dan penderitaan dapat meningkatkan kemampuan empati individu.

Implikasi Teori Hoffman dalam Kehidupan Sehari-hari

Teori empati Hoffman memiliki berbagai implikasi praktis:

1. Dalam Sistem Pendidikan: Guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan empati melalui interaksi antarsiswa dan diskusi tentang perasaan.

2. Dalam Pola Pengasuhan: Orang tua dapat membantu anak mengembangkan empati dengan merespons emosi mereka secara sensitif dan memberikan contoh perilaku prososial.

3. Dalam Hubungan Interpersonal: Memahami konsep empati dapat meningkatkan kualitas hubungan interpersonal di berbagai konteks, baik di keluarga, di tempat kerja, hingga hubungan bernegara dan bermasyarakat.

Kesimpulan

Sekali lagi saya tegaskan melalui artikel ini, bahwa hati saya sangat berbungah ketika kompasianer dan masyarakat luas secara bijak mengambil sebanyak-banyaknya pelajaran dari kasus video DC yang viral itu.

Untuk kemudian, jumlah artikel dengan topik perkembangan empati dan moral yang berslewireran di selasar kompasiana meningkat tajam hanya dalam waktu 3 hari. Dan terus bergerak.

Semoga semangat pembelaan kita terhadap pertumbuhan dan perkembangan empati tetap terjaga. Karena Teori Empati Martin Hoffman memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kita belajar untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain sepanjang hidup kita.

Dengan memahami tahapan perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi empati, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi pertumbuhan emosional individu, serta mendorong perilaku prososial dalam masyarakat.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun