Dalam kariernya, Hoffman terutama berfokus pada pengembangan empati dan hubungannya dengan perkembangan moral, yang ia definisikan sebagai "people's consideration for others", pertimbangan orang terhadap orang lain.
Hoffman berpendapat bahwa empati bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba di usia tertentu, melainkan berkembang secara bertahap seiring dengan pertumbuhan kognitif dan emosional anak.
Hoffman meyakini bahwa perilaku moral sering kali dilandasi oleh perasaan empatik terhadap orang lain, bukan hanya oleh pengertian rasional atau norma sosial yang diinternalisasi.
Sederhananya, perilaku prososial dan antisosial dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat empati seseorang. Semakin besar empati, semakin kuat prososial.
Hoffman memproklamirkan bahwa perkembangan empati sangat terkait dengan munculnya perilaku prososial. Ketika seseorang merasakan empati terhadap orang lain yang sedang mengalami kesulitan, mereka lebih cenderung untuk memberikan bantuan atau dukungan.
Hal ini menunjukkan bahwa empati bukan hanya sekadar pengalaman emosional, tetapi juga menjadi motivator utama untuk bertindak secara prososial
Hoffman mendefinisikan empati bukan sebagai emosi tunggal, melainkan sebagai serangkaian respons afektif yang kompleks yang berkembang seiring dengan pertambahan usia.
Ia membedakan dua dimensi utama dalam empati: dimensi kognitif dan dimensi afektif. Dimensi kognitif berkaitan dengan kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, sedangkan dimensi afektif berhubungan dengan pengalaman emosional yang muncul ketika merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Singkatnya, teori empati yang dikemukakan Hoffman tidak hanya menjelaskan proses, tetapi juga menguraikan berbagai faktor yang mempengaruhi serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Empati
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan empati menurut Hoffman meliputi: