Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Anatomi Negara: Faktor-faktor Determinan Keberhasilan dan Kegagalan

29 Desember 2024   13:05 Diperbarui: 29 Desember 2024   13:05 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografik Ketimpangan Ekonomi Indonesia Peringkat ke-4 di Dunia (Sumber: Katadata.co.id)

Artikel ini dimulai dengan pertanyaan, "Anatomi macam apa yang dimiliki negara makmur dan miskin?"; Kemudian, "Faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?".

Seperti manusia, negara adalah organisme hidup yang memiliki bagian-bagian vital yang terorganisasi, saling berhubungan, dan saling berinteraksi.

Syarat sebuah negara: Memiliki wilayah teritorial yang berdaulat, ada sekumpulan manusia yang disebut penduduk, pemerintahan, dan kedaulatan untuk mengatur diri sendiri. Era modern menambah syarat ini dengan: Pengakuan dari negara lain.

Disintegrasi wilayah, eksodus penduduk, kegagalan pemerintah, kehilangan kedaulatan, perang, dan sebagainya adalah Sebagian kecil kegagalan suatu negara.

Kegagalan fungsi suatu organ akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup negara, bahkan kematian. Bermacam penyakit, baik yang sementara maupun menahun bisa datang secara tiba-tiba.

Anatomi negara merupakan kajian yang mendalam tentang struktur, fungsi, dan dinamika dari entitas kenegaraan. Dalam konteks ini, negara tidak hanya dipahami sebagai institusi politik, tetapi juga sebagai entitas sosial, ekonomi, dan budaya yang kompleks.

Dengan pandangan tersebut, maka Negara bukan sekadar institusi kekuasaan belaka (Logeman, 1948; Harold J. Laski, 1947).

Jika manusia memiliki insting menghindari bahaya, begitu juga dengan negara. Dalam konteks ini, Murray N. Rothbard mencatat bahwa negara sering kali lebih fokus pada perlindungannya sendiri daripada pada kesejahteraan rakyatnya.

Faktor-faktor Determinan

Buku "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty" karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson menawarkan analisis mendalam mengenai faktor-faktor yang menentukan kesuksesan atau kegagalan suatu negara dalam mencapai kemakmuran.

Dalam buku ini, penulis menekankan peran institusi---baik politik maupun ekonomi---sebagai kunci utama dalam menentukan nasib suatu negara.

Buku ini dimulai dengan pertanyaan mendasar: Mengapa beberapa negara kaya dan makmur, sementara yang lain tetap miskin dan terbelakang? Acemoglu dan Robinson mengkritik pandangan yang lebih mengutamakan faktor geografi atau budaya,

Acemoglu dan Robinson berargumen bahwa institusi yang inklusif atau ekstraktif adalah penyebab utama ketimpangan tersebut.

Institusi Inklusif vs. Ekstraktif

Penulis membedakan antara institusi inklusif, yang memungkinkan partisipasi luas dalam kegiatan ekonomi dan politik, dan institusi ekstraktif, yang dirancang untuk menguntungkan segelintir elit.

Institusi inklusif menciptakan insentif bagi inovasi dan distribusi kekayaan yang lebih merata, sedangkan institusi ekstraktif cenderung menghambat pertumbuhan ekonomi.

Indonesia di era orde baru dengan kecenderungan kapitalis-militeristik dalam sistem pemerintahannya memaksa institusi-institusi negara hanya mengabdi untuk kepentingan segelintir golongan elit.

Lengsernya Soeharto membawa perubahan mendasar terhadap inklusifitas institusi negara. Sistem desentralisasi menjadi harapan pemerataan kesejahteraan.

Acemoglu dan Robinson membandingkan Korea Selatan dan Korea Utara, menunjukkan bagaimana perbedaan institusi dapat menghasilkan perbedaan dramatis dalam kesejahteraan masyarakat.

Mereka juga menyoroti kasus Kota Nogales, di mana perbedaan institusi di kedua sisi perbatasan AS-Meksiko menghasilkan disparitas ekonomi yang signifikan.

Perubahan Institusional

Buku ini juga membahas bagaimana perubahan institusi yang mendalam dapat terjadi. Penulis berpendapat bahwa perubahan besar sering kali memerlukan revolusi atau tekanan dari luar untuk memecahkan lingkaran setan kekuasaan elit yang menahan perubahan.

Mereka menekankan bahwa reformasi politik harus disertai dengan distribusi kekuasaan yang lebih adil agar institusi ekonomi dapat berfungsi secara inklusif.

Di akhir buku, Acemoglu dan Robinson menegaskan pentingnya menciptakan institusi yang inklusif sebagai syarat untuk memerangi kemiskinan dan ketimpangan. Mereka menyatakan bahwa tanpa reformasi struktural yang nyata dalam kekuasaan politik, negara tidak akan mampu mencapai kemakmuran jangka Panjang.

Relevansi di Indonesia

Analisis dalam "Why Nations Fail" sangat relevan untuk konteks Indonesia. Meskipun Indonesia pasca-reformasi sudah memiliki institusi ekonomi dan politik yang inklusif secara formal, namun tantangan besar tetap ada dalam implementasinya.

Tantangan utama bagi kemakmuran Indonesia, dapat dijelaskan:

Kekuatan Elit: Banyak kebijakan di Indonesia masih dipengaruhi oleh kelompok elit yang memiliki kepentingan tertentu, sehingga menghambat distribusi kekayaan yang adil.

Korupsi: Tingkat korupsi yang tinggi dapat merusak institusi inklusif dan menciptakan ketidakstabilan politik, mirip dengan contoh-contoh negatif yang dibahas dalam buku ini.

Pembangunan Ekonomi: Meskipun Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar, ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap peluang ekonomi tetap menjadi masalah utama.

Inflasi Global dan Daya Beli Masyarakat: Indonesia saat ini menghadapi inflasi global yang tinggi, dengan proyeksi inflasi domestik mencapai 3,19% pada tahun 2024. Hal ini berdampak pada daya beli masyarakat yang stagnan, meskipun pandemi COVID-19 telah berlalu.

Defisit Anggaran dan Utang: Defisit anggaran pemerintah diperkirakan meningkat, dengan utang negara mencapai rasio 38,79% terhadap PDB. Beban bunga utang juga menjadi perhatian utama, mengingat pembayaran jatuh tempo yang tinggi

Laporan terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia menggambarkan situasi yang semakin memprihatinkan, dengan istilah "Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin" yang mencerminkan kesenjangan yang lebar antara kelompok kaya dan miskin.

Dalam kajiannya, CELIOS membuktikan aspek-aspek bermasalah:

Kesenjangan Kekayaan: Laporan menunjukkan bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang biasa. Ini menunjukkan konsentrasi kekayaan yang ekstrem di tangan segelintir individu.

Diproyeksikan dalam enam tahun ke depan, Indonesia akan memiliki kuadriliuner pertama dalam sejarah, sementara kemiskinan diperkirakan baru bisa dihapuskan dalam waktu 133 tahun jika tidak ada perubahan signifikan.

Peran Industri Ekstraktif: Industri ekstraktif, seperti pertambangan dan minyak bumi, menjadi salah satu penyumbang utama ketimpangan. Sekitar setengah dari 50 orang terkaya memiliki keterkaitan langsung dengan sektor ini.

Meskipun sektor ini berkontribusi besar terhadap pendapatan negara melalui pajak dan royalti, keuntungan yang dihasilkan cenderung mengalir hanya kepada elit tertentu, meninggalkan masyarakat luas tanpa manfaat yang sebanding.

Kondisi Sosial dan Ekonomi: Ketimpangan ini diperburuk oleh struktur ekonomi yang tidak adil, di mana paket kompensasi untuk eksekutif jauh melebihi gaji pekerja biasa. Hal ini menciptakan akumulasi kekayaan yang besar bagi segelintir orang, sementara banyak pekerja tetap hidup dalam kondisi yang sulit.

Pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan 2 bulan 9 hari. Masih ada waktu untuk segera menyelidiki anatomi negara dan mengatasi faktor-faktor determinan. Dengan memahami dinamika antara institusi inklusif dan ekstraktif serta tantangan-tantangan spesifik di Indonesia, pembuat kebijakan dapat merumuskan strategi yang lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan merata.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun