“Yang dilaporkan, yang di ‘atas permukaan laut’. Mengingat satu korban anak, menguras energi, harus visum, biaya dan lain-lain. Yang tak dilaporkan besar,” kata Erni dalam acara nangkring KPPPA-Kompasiana, di Royal Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/12/16).
Bentuk kekerasan terhadap anak yang banyak ditemui adalah kekerasan seksual. Data KPAI pada 2015, prosentasenya sebesar 53% untuk kasus kekerasan seksual. Tentu saja ini tentu tak diketahui berapa banyak kasus yang tak terlapor atau pun berhenti alias ‘terselesaikan’.
Isu kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar juga keluarga mencakup kekerasan secara psikis, fisik, maupun seksual. Area kasus pun wilayahnya luas wilayah. Apalagi di perkotaan. Di sudut-sudut kota. Di bawah jembatan, di rumah-rumah pinggiran. Siapa yang bisa mendeteksi kekerasan yang terjadi?
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) banyak terjadi di tengah masyarakat. Kekerasan fisik, psikis, seksual terjadi di ranah public, juga di dunia maya/ dumay. Bahwa akibatnya kekerasan terjadi melihat ruang dan waktu. Siapapun bisa menjadi korban, siapapun bisa menjadi pelaku.
Catatan Tahunan (Catahu) 2016 Komnas Perempuan yang diluncurkan 7 Maret 2016, menyebutkan temuan beragam kasus peristiwa kekerasan terhadap perempuan di tahun 2015. (www.komnasperempuan.go.id) Komnas Perempuan memberikan catatan penting dan menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan memperlihatkan pola yang meluas. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah domestic atau rumah tangga maupun dalam relasi perkawinan, namun juga terjadi meluas di masyarakat umum maupun yang berdampak dari kebijakan Negara.
Sementara fenomena kekerasan terhadap anak, contoh menarik disampaikan oleh Dr. Sri Astuti, Dosen UHAMKA, pendamping perempuan dan anak Rusun Marunda. Sri Astuti memaparkan data menyangkut rusun yang memang diperuntukkan bagi warga yang mengalami penertiban Pemprov DKI Jakarta beberapa waktu silam.
Nah, menurut Sri Astuti, dia menemukan bahwa kekerasan terhadap anak cenderung kekerasan seksual. Pelakunya heterogen, mulai dari anak-anak, remaja sampai dewasa dan bahkan kakek-kakek.
“Ada kakek jual martabak mencabuli anak kecil. Kasih duit Rp.2000, untung anak itu ngomong pada ibunya,” kisah Sri Astuti dalam acara nangkring KPPPA-Kompasiana, di Royal Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/12/16).