Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aksi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Terus Terjadi, Apa yang Harus Dilakukan?

6 Januari 2017   21:11 Diperbarui: 6 Januari 2017   22:08 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 1. (Sumber Banten Pos)

Sejak lama perempuan dan anak menjadi obyek kekerasan di dalam masyarakat. Dalam hitungan, jumlahnya semakin meningkat. Melansir data Komisi Nasional Perempuan, ada  321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang 2015 lalu, bukanlah angka yang bukan kecil.

Sementara kasus kekerasan terhadap anak pada 2015, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak. Mirisnya, kasus didominasi kekerasan seksual sebesar 53% Sisanya kasus penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah menyerukan program Three Ends. Sebuah gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang dan mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan.  Pemerintah berupaya hadir dalam aksi melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan. Lalu bagaimana seharusnya masyarakat berperan serta melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan di lingkungannya?  

***

Kegeraman masyarakat terhadap persitiwa tindak kekerasan yang menyinggung perempuan dan anak sebagai korban, sangat tinggi. Lihat saja saat kasus terbunuhnya korban perampokan Pulomas, Jakarta Timur akhir tahun lalu. Respon keprihatinan masyarakat khususnya melalui dunia maya sangat banyak. Salah satunya korban meninggal tergolong belum dewasa, Dianita Gemma Dzalfayla (9).

Begitu pula saat ‘geger’ kasus Yuyun  di Bengkulu. Remaja perempuan siswi SMP itu ditemukan tewas mengenaskan. Ia menjadi korban kekerasan seksual 14 pemuda tanggung. Belakangan salah seorang pelaku dijatuhi hukuman mati. Sebelumnya aksi solidaritas untuk Yuyun pun sempat marak seperti yang digelar oleh Solidaritas untuk Yuyun di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (8/5/2016) silam.

Masih banyak lagi peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dengan mudah bisa diketahui melalui pemberitaan di media local maupun nasional. Potret perempuan dan anak yang sering dianggap sebagai makhluk lemah, menjadi korban kerap terjadi.   

Aksi solidaritas untuk Yuyun di Bundaran HI Jakarta tahun lalu. (Foto Ganendra)
Aksi solidaritas untuk Yuyun di Bundaran HI Jakarta tahun lalu. (Foto Ganendra)
Fenomena Gunung Es

Seperti yang tertulis di awal tulisan ini, bahwa catatan Komisi Nasional Perempuan menyebutkan  sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2015, berarti sekitar 881 kasus setiap hari dan angka ini meningkat 9% dari tahun sebelumnya.

Sementara itu data dari KPAI ada 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya.

Peningkatan kasus kekerasan terhadap anak khususnya dari tahun ke tahun meningkat. KPAI seperti table di bawah ini, menunjukkan kasus kekerasan sejak 2012 sampai 2014 yang terus mengalami peningkatan jumlahnya.

Materi Bu Erni KPPPA. (foto Ganendra)
Materi Bu Erni KPPPA. (foto Ganendra)
Materi Bu Erni. (Foto Ganendra)
Materi Bu Erni. (Foto Ganendra)
Agustina Erni, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)  menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah fenomena gunung es. Artinya kasus yang dilaporkan atau terlaporkan jumlahnya sangat jauh dibanding dengan kasus yang tidak terlaporkan.

“Yang dilaporkan, yang di ‘atas permukaan laut’. Mengingat satu korban anak, menguras energi, harus  visum, biaya dan lain-lain. Yang tak dilaporkan besar,” kata Erni dalam acara nangkring KPPPA-Kompasiana, di Royal Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis  (3/12/16).

Bentuk kekerasan terhadap anak yang banyak ditemui adalah kekerasan seksual. Data KPAI pada 2015, prosentasenya sebesar 53% untuk kasus kekerasan seksual. Tentu saja ini tentu tak diketahui berapa banyak kasus yang tak terlapor atau pun berhenti alias ‘terselesaikan’.

Agustina Erni, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) (foto Ganendra)
Agustina Erni, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) (foto Ganendra)
Potret Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak  

Isu kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar juga keluarga mencakup kekerasan secara psikis, fisik, maupun seksual. Area kasus pun wilayahnya luas wilayah. Apalagi di perkotaan. Di sudut-sudut kota. Di bawah jembatan, di rumah-rumah pinggiran. Siapa yang bisa mendeteksi kekerasan yang terjadi?

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) banyak terjadi di tengah masyarakat. Kekerasan fisik, psikis, seksual terjadi di ranah public, juga di dunia maya/ dumay. Bahwa akibatnya kekerasan terjadi melihat ruang dan waktu. Siapapun bisa menjadi korban, siapapun bisa menjadi pelaku.  

Catatan Tahunan (Catahu) 2016 Komnas Perempuan yang diluncurkan 7 Maret 2016, menyebutkan temuan beragam kasus peristiwa kekerasan terhadap perempuan di tahun 2015. (www.komnasperempuan.go.id) Komnas Perempuan memberikan catatan penting dan menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan memperlihatkan pola yang meluas. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah domestic atau rumah tangga maupun dalam relasi perkawinan, namun juga terjadi meluas di masyarakat umum maupun yang berdampak dari kebijakan Negara.

Sementara fenomena kekerasan terhadap anak, contoh menarik disampaikan oleh Dr. Sri Astuti, Dosen UHAMKA, pendamping perempuan dan anak Rusun Marunda. Sri Astuti memaparkan data menyangkut rusun yang memang diperuntukkan bagi warga yang mengalami penertiban Pemprov DKI Jakarta beberapa waktu silam.

Ilustrasi 2 Rusun Marunda (Tribun)
Ilustrasi 2 Rusun Marunda (Tribun)
Rusun dilengkapi lapangan, perpustakaan, masjid dan mushola terdiri dari cluster A,B,C.  Data dari Sri Astuti, memang data belum final, namun merupakan data  terakhir.  1 Cluster/Blok/RW ada 10 RT. 1 RT ada 100 pintu. 1 pintu ada 4 orang (ibu, bapak, anak).

Nah, menurut Sri Astuti, dia menemukan bahwa kekerasan terhadap anak cenderung kekerasan seksual. Pelakunya heterogen, mulai dari anak-anak, remaja sampai dewasa dan bahkan kakek-kakek.

“Ada kakek jual martabak mencabuli anak kecil. Kasih duit Rp.2000, untung anak itu ngomong pada ibunya,” kisah Sri Astuti  dalam  acara nangkring KPPPA-Kompasiana, di Royal Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis  (3/12/16).

Menyedihkan lagi, pelaku-pelakunya orang sekitar. Hal lainnya adalah anak-anak baik perempuan maupun laki-laki sudah pada ‘ngelem’.  

Lalu penangannnya?

Di Marunda saat ini kasus yang terjadi/ ditemukan penanganan yang dilakukan, keluarga melapor ke RT, RW, Polsek. Ada yang selesai, ada juga yang tidak. Pasalnya kurang pendampingan. Ada lagi factor malu, sedih, harus mengurus visum yang perlu biaya dan lain-lain. Jadi banyak yang tak diteruskan. Soalnya kalau diteruskan bisa tak bisa mencari pengahasilan. 

Narsum acara nangkring KPPPA-Kompasiana, di Royal Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/12/16). (Foto Ganendra)
Narsum acara nangkring KPPPA-Kompasiana, di Royal Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/12/16). (Foto Ganendra)
Menciptakan Aksi Meredam Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Kompleksitas masalah dan background yang beragam menyangkut kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut perlu aksi untuk si korban. Bukan hanya pemulihan fisik namun juga membangun mental.

1. Bangkitkan Aware Tanggungjawab Bersama

Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tanggungjawab bersama. Semua unsur seperti organisasi keagamaan, ormas, lembaga profesi, masyarakat bahkan blogger, harus bergandengan tangan. Pemerintah tak bisa bekerja sendiri.

Seperti dinyatakan Erni dari KPPPA, bahwa peran masyarakat sangat strategis, karena mereka termasuk dalam lingkungan peristiwa. Permasalahan ada di tingkat kabupaten. Lembaga KPPPA yang ada di kabupaten yang menangani ada 4-5 personil. Bisa dibayangkan bagaimana kalau lokasi di kampung, atau di hutan. Dengan kondisi geografis, social budaya, dan luas wilayah, maka paling strategis adalah melibatkan peran serta warga masyarakat.

“Mendorong kepedulian masyarakat. Jaman sekarang, satu keluarga tak akan mampu menjaga anaknya secara sendiri. Kita harus bergandengan tangan bekerja bersama-sama,” kata Erni.

2.  Pemberdayaan Masyarakat dan Sinergi

Perlu sinergi dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. sinergi meliputi keluarga, masyarakat dan pemerintah. Keluarga diberdayakan. Anak diberdayakan. Kasus anak nikah dini, karena anak tak diberdayakan. Masyarakat harus berdaya. Pemerintah membantu agar ketiga unsur itu berdaya semua. Peran tokoh masyarakat, ormas, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lain-lain menjadi penting.    

Pemerintah butuh punya banyak mitra, dan mensinergikan semua. Prinsip sinergi meliputi tujuan bersama, rencana kerja bersama. Sebagai contoh, jika 1 LSM masuk menangani satu sisi, terus bergantian dengan LSM lain dan menangani sisi lainnya, demikian terus selama p[eriode tertentu maka potensial sekali kasus bisa dituntaskan. Tentu saja dengan prinsip menghargai bahwa setiap orang adalah penting dengan keahlian sendiri-sendiri. Tak saling menyalahkan.  

3. Litigasi Social

Dalam suatu lingkungan, seburuk-buruknya yang ada di dalamnya pasti masih ada yang positif. Nah membantu berkembang warga yang positif/baik ini maka akan dapat mempengaruhi sekitarnya. Misalnya di Rusun Marunda seperti dicontohkan Erni, bahwa di  Marunda masih ada  10 % warga yang bagus/positive. Nah Pemerintah membantu 10% yang positif ini, diberi bantuan agar bisa berkemabang dan bisa mempengaruhi 90% yang negative. Selanjutnya mereka bisa menjadi Agen Perubahan.

 4. Pencegahan dengan Sinergi Program Pelindungan Anak

Langkah pencegahan pastinya lebih murah daripada menangani korban. Sri Astusti menyebutkan nbahwa langkah pencegahan dengan Sinergi Program Pelindungan Anak ini meliputi preventif,  promotif, kuratif,  rehabilitative yang terdampingi dan berkelanjutan.

5. Perlunya Pendampingan  

Ketika ada korban, jangan dilepas sendiri. Harus didampingi. Apalagi mekanisme pelaporan cukup menguras waktu, terkait syarat-syaratnya seperti visum pada kasus kekerasan seksual. Apalagi masih dibebani biaya visum. Kabarnya biaya bisa Rp. 5 juta kalau kasusnya berat. Tentu untuk masyarakat bawah menjadi kian berat. Seperti pepatah, “Sudah jatuh tertimpa tangga.”

Di sini perlunya pemerintah menciptakan mekanisme yang lebih mudah dalam pelaporan kasus termasuk soal biaya. Visum lebih baik bisa gratis. Tentu ini tergantung anggaran pemerintah.

6. Mengubah Stereotip Masyarakat Lebih Empati

Seringkali korban justru dipojokkan oleh masyarakat, yang semestinya harus  berempati pada korban. Jadinya korban mengalami ‘kekerasan kedua’. Tentu secara psikologis akan berdampak makin buruk pada korban. Inilah pentingnya bagaimana mengubah stereotip masyarakat yang lebih banyak memojokkan korban menjadi berempati pada korban. Sehingga korban dapat terbantu untuk pulih dari ‘luka-luka’nya. Pentingnya lagi masyarakat dapat saling mengawasi dan melindungi untuk  mengurangi ruang gerak para ‘predator’, pelaku kekerasan terhadap anak.

7. Lingkungan Ramah Anak.  

 Usia anak selain lingkungan keluarga adalah lingkungan sekolah. Peran orang tua dan guru menjadi vital. Sekolah adalah tempat strategis setelah keluarga.  Komunikasi antara orang tua  dan anak lebih terbuka.

Sekolah juga ‘ramah’ anak menyangkut sarana dan prasarana, proses pembelajaran dan lain-lain.  Misalnya tempat cuci tangan harus mudah dijangkau anak. Penggunaan kata-kata berkomunikasi yang baik. Hindari kata-kata yang bisa menyakitkan anak dan malah bisa membentuknya menjadi pribadi kurang baik, seperti kata-kata “goblok, tolol, idiot dan lain-lain.

Soo…. meredam aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak, memang adalah tanggungjawab bersama warga masyarakat. Dan kita sebagai anggota masyarakat semestinya bisa menjadi ‘agen perubahan’ yang positif untuk membawa pengaruh pada lingkungan yang semakin positif juga. Semoga.

@rahabganendra

Facebook 

Twitter

Sumber foto Ilustrasi 1 dan Ilustrasi 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun