Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Novel (Bukan) Pasaran Terakhir, Patah Arang Sang Demonstran?

25 November 2024   03:05 Diperbarui: 25 November 2024   13:41 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama penulis Novel (Bukan) Pasaran Terakhir, Yon Bayu Wahyono (kiri). Foto Fenny Bungsu. 

Dari aspek judul novel, menurut saya "kurang seksi". Cenderung kurang luwes. "Kebanting", gak seimbang dengan bahasan yang renyah "enak di-rasa"pada alur ceritanya. Saya lebih suka konsep pilihan judul seperti pada novel sebelumnya, "Prasa". Judul seperti itu, lebih membawa nuansa "huk" yang menarik pembaca untuk buru-buru membuka buku lalu membacanya. Saking penasaran. 

Sepertinya judul "Ratry", akan lebih seksi. Lagian lebih mewakili keseluruhan isi novel. Kedengaran feminis, tapi justru itu membawa daya pikat dan magnet tersendiri. 

Kata-kata kunci uraian pokok novel, banyak tercantum pada monolog sang peran utama, Kario Harsono (tulisan Kario bukan Karyo). Monolog yang tertulis dalam suratnya untuk Riri, kekasih masa lalu Kario. Sepertinya penulis sengaja memilih gaya demikian. Namun di lain sisi, itu memfokuskan pada satu perhatian dan "mengabaikan" tokoh-tokoh lain. 

Atau kalau tidak mau disebut demikian, novel terkeasan seperti kekurangan pengembangan karakter tokoh lain. Kurang mengekplore karakter tokoh ini berimbas pada "kesunyian" konflik yang dibangun. Sunyi yang membuat klimak konflik kurang menggigit. 

Mungkin bila pengembangan karakter tokoh-tokohnya dilakukan, akan ada bangunan puncak konflik "menggetarkan" melalui tambahan satu, dua bagian atau bab. Semua tahu, klimak/ anti klimak, itu yang akan membawa pembaca meresapi cerita menjadi semacam gairah ataukah akan "B" (biasa) saja.

Overall, novel ini tentu saja layak dibaca bagi semua kalangan. Tak terbatas pada penikmat isu-isu politik. Banyak pelajaran yang kita bisa petik pada novel ini, khususnya menyangkut aspek sosial, hubungan antar kemasyarakatan, bahkan pribadi. 

Misalnya saja, bagaimana pandangan Ratry tentang bisnis "bagi hasil" yang mesti direnungkan lebih dalam. Mengingat sisi keadilan, kemanusiaan antar pelakunya (petani dan penggarap, pemilik ternak dan pemelihara). Sebenarnya dzolim ataukah tidak? Atau pelajaran paling sederhana tentang asmara, bahwa rasa (cinta) itu harus diungkapkan. Sepakat? 

@rachmatpy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun