Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Novel (Bukan) Pasaran Terakhir, Patah Arang Sang Demonstran?

25 November 2024   03:05 Diperbarui: 25 November 2024   13:41 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama penulis Novel (Bukan) Pasaran Terakhir, Yon Bayu Wahyono (kiri). Foto Fenny Bungsu. 

Dibarengi hiruk pikuk gesekan sosial masyarakat lapisan bawah dengan kekuatan di baliknya (oligarki) yang berkompromi dengan penguasa. Menjadi relevan mengingat saat ini sedang santer kasus Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. 

Sementara kalau menurut penulis novel ini, sebenarnya penulisan sudah selesai dilakukan 2 tahun lalu. Atau setahun sebelum terjadi gejolak, ribut-ribut aksi demo pada PSN Pulau Rempang, Batam. (Untuk alasan tertentu, novel baru diterbitkan tahun ini). 

Kemampuan prediktif itu, saya pikir tak lepas dari buah pengalaman matang dan ketajaman daya endus penulis. Tentu saja tema "prediktif" up to date seperti ini selalu akan menarik minat pembaca. Apakagi sajian melalui bahasa ringan, komunikatif dan membumi, membuat novel ini mudah dicerna beragam kalangan. Renyah dibaca, dan nyaman di-rasa. 

Ekspektasi dan Catatan 

Pada awal melihat tampilan novel ini, sebelum membacanya, saya tidak merasakan sesuatu yang "wah". Baru setelah membaca sinopsisnya, saya mempunyai ekspektasi, bahwa novel ini akan menyajikan sajian "sesuatu yang berbeda" dibanding novel berbasis serupa.

Tentu tak lepas, karena saya melihat sosok penulis yang telah lama saya kenal. Termasuk mengenalnya melalui karya novel Prasa dan Kelir. Dua novel yang menurut saya memiliki greget. 

Selain itu melihat pada basis cerita dunia aktivis. Dimana sangat relevan dengan (mantan) aktivis 98 saat ini, yang memilih jalur "perjuangan" berbeda, antara masuk kekuasaan, dan di luar kekuasaan, setelah langkah reformasi (bukan revolusi) disepakati pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Meski 26 tahun setelahnya, negeri ini ya gini-gini aja. 

Melalui novel ini, saya menilai, fenomena ini seperti sebuah "Patah Arang Sang Demonstran" seperti pilihan judul yang saya sematkan pada artikel ini. Bak patah arang di hadapan rakusnya oligarki yang berkolusi, memperalat penguasa. 

Simbolisme "patah arang", bisa disematkan pada si peran utama Kario. Bisa juga disematkan pada peran bayangan mantan aktivis, Riri dan suaminya; Priyo. 

Sayangnya ekspektasi "sesuatu yang berbeda" itu gak saya rasakan, setelah kelar membaca novel ini. Jalinan alur yang baik, dengan deskripsi yang cantik nan puitis pada setiap bagian-bagiannya, tak diimbangi dengan greget klimak cerita yang akan lekat di benak. 

Harapan ada kebaruan (novelty) yang membedakan dengan novel / karya fiksi lain, pada klimaknya, belum saya temukan. Termasuk pada ending-nya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun