Sepertinya judul "Ratry", akan lebih seksi. Lagian lebih mewakili keseluruhan isi novel. Kedengaran feminis, tapi justru itu membawa daya pikat dan magnet tersendiri.Â
Kata-kata kunci uraian pokok novel, banyak tercantum pada monolog sang peran utama, Kario Harsono (tulisan Kario bukan Karyo). Monolog yang tertulis dalam suratnya untuk Riri, kekasih masa lalu Kario. Sepertinya penulis sengaja memilih gaya demikian. Namun di lain sisi, itu memfokuskan pada satu perhatian dan "mengabaikan" tokoh-tokoh lain.Â
Atau kalau tidak mau disebut demikian, novel terkeasan seperti kekurangan pengembangan karakter tokoh lain. Kurang mengekplore karakter tokoh ini berimbas pada "kesunyian" konflik yang dibangun. Sunyi yang membuat klimak konflik kurang menggigit.Â
Mungkin bila pengembangan karakter tokoh-tokohnya dilakukan, akan ada bangunan puncak konflik "menggetarkan" melalui tambahan satu, dua bagian atau bab. Semua tahu, klimak/ anti klimak, itu yang akan membawa pembaca meresapi cerita menjadi semacam gairah ataukah akan "B" (biasa) saja.
Overall, novel ini tentu saja layak dibaca bagi semua kalangan. Tak terbatas pada penikmat isu-isu politik. Banyak pelajaran yang kita bisa petik pada novel ini, khususnya menyangkut aspek sosial, hubungan antar kemasyarakatan, bahkan pribadi.Â
Misalnya saja, bagaimana pandangan Ratry tentang bisnis "bagi hasil" yang mesti direnungkan lebih dalam. Mengingat sisi keadilan, kemanusiaan antar pelakunya (petani dan penggarap, pemilik ternak dan pemelihara). Sebenarnya dzolim ataukah tidak? Atau pelajaran paling sederhana tentang asmara, bahwa rasa (cinta) itu harus diungkapkan. Sepakat?Â
@rachmatpy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H