Kenapa deh, setelah baca novel (Bukan) Pasaran Terakhir, ingat buku monumental kumpulan catatan harian aktivis mahasiswa Soe Hok Gie, "Catatan Seorang Demonstran", yang terbit tanun 1983 silam? Â Tentu bukan karena isu, tapi lebih karena basis cerita dunia aktivis.
BENARÂ seperti yang disampaikan penulisnya, tak perlu mengernyitkan dahi untuk memahami novel berjudul "(Bukan) Pasaran Terakhir", karya Yon Bayu Wahyono ini. Itu yang saya dengar darinya saat menerima langsung novel ini pada 14 November 2024 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.Â
Novel setebal 166 halaman ini, ringan secara isi, renyah secara bahasa, mudah dicerna namun kaya pengetahuan khususnya sosial, politik. Ya, novel ini berlatar belakang isu politik dengan balutan romantisme asmara. Tak banyak intrik. Tak banyak lika liku dalam bangunan cerita.Â
Boleh dibilang novel "politik" ini, simple. Alur melalui lembar demi lembar dalam 11 bagian, terkonstruksi baik, menuntun pembaca menuntaskannya sampai akhir.Â
Bolehlah, penulis mampu mengemas tema politik yang seringkali dianggap serius, menjadi sajian serenyah kentang goreng crispy.Â
Stand Point NovelÂ
Salah satu kekuatan yang harus disebut setelah membaca novel ini adalah tentang edukasi politik. Novel lekat dengan nuansa sosial politik, passion sang penulis.Â
Dalam hal ini tentang tema lingkungan, penambangan (Gunung Kapur). Saya yakin, novel lahir sebagai sebuah keresahan penulis terhadap fenomen kehidupan "politisasi" yang dinilainya merugikan masyarakat. Gagasan tema menarik dan potensial memberi wawasan (mencerdaskan) bagi publik.Â
Bijak membaca dan cermat melihat behind the scene peristiwa politik. Memberi pemahaman tentang aspek keadilan sosial, perlindungan hak-hak publik, sampai (minimal) tentang bagaimana melihat secara jernih terhadap aksi demonstrasi yang melingkupinya. Â
Hal tersebut di atas, menjadi penting, mengingat tema "tambang" selalu aktual, menjadi diskursus dan polemik yang terjadi berulang-ulang di negeri ini.Â
Dibarengi hiruk pikuk gesekan sosial masyarakat lapisan bawah dengan kekuatan di baliknya (oligarki) yang berkompromi dengan penguasa. Menjadi relevan mengingat saat ini sedang santer kasus Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.Â
Sementara kalau menurut penulis novel ini, sebenarnya penulisan sudah selesai dilakukan 2 tahun lalu. Atau setahun sebelum terjadi gejolak, ribut-ribut aksi demo pada PSN Pulau Rempang, Batam. (Untuk alasan tertentu, novel baru diterbitkan tahun ini).Â
Kemampuan prediktif itu, saya pikir tak lepas dari buah pengalaman matang dan ketajaman daya endus penulis. Tentu saja tema "prediktif" up to date seperti ini selalu akan menarik minat pembaca. Apakagi sajian melalui bahasa ringan, komunikatif dan membumi, membuat novel ini mudah dicerna beragam kalangan. Renyah dibaca, dan nyaman di-rasa.Â
Ekspektasi dan CatatanÂ
Pada awal melihat tampilan novel ini, sebelum membacanya, saya tidak merasakan sesuatu yang "wah". Baru setelah membaca sinopsisnya, saya mempunyai ekspektasi, bahwa novel ini akan menyajikan sajian "sesuatu yang berbeda" dibanding novel berbasis serupa.
Tentu tak lepas, karena saya melihat sosok penulis yang telah lama saya kenal. Termasuk mengenalnya melalui karya novel Prasa dan Kelir. Dua novel yang menurut saya memiliki greget.Â
Selain itu melihat pada basis cerita dunia aktivis. Dimana sangat relevan dengan (mantan) aktivis 98 saat ini, yang memilih jalur "perjuangan" berbeda, antara masuk kekuasaan, dan di luar kekuasaan, setelah langkah reformasi (bukan revolusi) disepakati pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Meski 26 tahun setelahnya, negeri ini ya gini-gini aja.Â
Melalui novel ini, saya menilai, fenomena ini seperti sebuah "Patah Arang Sang Demonstran" seperti pilihan judul yang saya sematkan pada artikel ini. Patah arang di tengah rakusnya oligarki dan penguasa mencengkeram  "Republik buzzer".Â
Simbolisme "patah arang", bisa disematkan pada si peran utama Kario. Bisa juga disematkan pada peran bayangan mantan aktivis, Riri dan suaminya; Priyo.Â
Sayangnya ekspektasi "sesuatu yang berbeda" itu gak saya rasakan, setelah kelar membaca novel ini. Jalinan alur yang baik, dengan deskripsi yang cantik nan puitis pada setiap bagian-bagiannya, tak diimbangi dengan greget klimak cerita yang akan lekat di benak.Â
Harapan ada kebaruan (novelty) yang membedakan dengan novel / karya fiksi lain, pada klimaknya, belum saya temukan. Termasuk pada ending-nya.Â
Dari aspek judul novel, menurut saya "kurang seksi". Cenderung kurang luwes. "Kebanting", gak seimbang dengan bahasan yang renyah "enak di-rasa"pada alur ceritanya. Saya lebih suka konsep pilihan judul seperti pada novel sebelumnya, "Prasa". Judul seperti itu, lebih membawa nuansa "huk" yang menarik pembaca untuk buru-buru membuka buku lalu membacanya. Saking penasaran.Â
Sepertinya judul "Ratry", akan lebih seksi. Lagian lebih mewakili keseluruhan isi novel. Kedengaran feminis, tapi justru itu membawa daya pikat dan magnet tersendiri.Â
Kata-kata kunci uraian pokok novel, banyak tercantum pada monolog sang peran utama, Kario Harsono (tulisan Kario bukan Karyo). Monolog yang tertulis dalam suratnya untuk Riri, kekasih masa lalu Kario. Sepertinya penulis sengaja memilih gaya demikian. Namun di lain sisi, itu memfokuskan pada satu perhatian dan "mengabaikan" tokoh-tokoh lain.Â
Atau kalau tidak mau disebut demikian, novel terkeasan seperti kekurangan pengembangan karakter tokoh lain. Kurang mengekplore karakter tokoh ini berimbas pada "kesunyian" konflik yang dibangun. Sunyi yang membuat klimak konflik kurang menggigit.Â
Mungkin bila pengembangan karakter tokoh-tokohnya dilakukan, akan ada bangunan puncak konflik "menggetarkan" melalui tambahan satu, dua bagian atau bab. Semua tahu, klimak/ anti klimak, itu yang akan membawa pembaca meresapi cerita menjadi semacam gairah ataukah akan "B" (biasa) saja.
Overall, novel ini tentu saja layak dibaca bagi semua kalangan. Tak terbatas pada penikmat isu-isu politik. Banyak pelajaran yang kita bisa petik pada novel ini, khususnya menyangkut aspek sosial, hubungan antar kemasyarakatan, bahkan pribadi.Â
Misalnya saja, bagaimana pandangan Ratry tentang bisnis "bagi hasil" yang mesti direnungkan lebih dalam. Mengingat sisi keadilan, kemanusiaan antar pelakunya (petani dan penggarap, pemilik ternak dan pemelihara). Sebenarnya dzolim ataukah tidak? Atau pelajaran paling sederhana tentang asmara, bahwa rasa (cinta) itu harus diungkapkan. Sepakat?Â
@rachmatpy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H