Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Bersikap Kritis Terhadap Karya Sastra Horor Agar Tak Terjadi Pembodohan

7 Agustus 2024   12:20 Diperbarui: 7 Agustus 2024   12:51 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu cerita yang membuatku risau. Bukan tentang risau sastra horornya tapi sebaliknya, nasib budayanya.

Saya sangat sepakat dengan pendapat Yon Bayu bahwa sastra horor adalah karya fiksi berbasis budaya. Bisa dikatakan bahwa budaya adalah mata air bagi penciptaan karya sastra horor.

Nah suatu ketika saya bertemu dengan seorang pembuat senjata pusaka adat (saya tak sebut namanya).

Bagi saya, dia seorang empu. Empu pembuat pusaka. Bayangan saya seperti halnya Empu Gandring yang membuat kerisnya Ken Arok, butuh pakem-pakem yang harus dilakukan si Empu saat membuat pusaka.

Pakem itu mestinya tak boleh tidak dilakukan. Karena menyangkut tradisi ortodoks budaya itu sendiri.

Nah yang membuat risau, masa sekarang ini pembuat pusaka sepertinya sudah jarang yang melakukan pakem "laku". Alasannya, spiritual, keyakinan yang memang sudah berubah.

Pertanyaannya apakah ini bukan semacam "back fire", membakar eksistensi genuine budaya itu sendiri?

Sementara sastra yang bersifat fiksi bisa menuliskannya adlam bentuk fiksi.  Atau mengembangkan fakta ke karya fiksi yang tentu saja berpotensi mengubah pakem, apalagi jika ada sisipan fantasi di dalamnya.

Jika pertimbangannya keniscayaan perubahan budaya akan terjadi, berarti diskusi selesai sampai di sini. How?

Salam Sastra & Buaya

@rachmatpy  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun