Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Bersikap Kritis Terhadap Karya Sastra Horor Agar Tak Terjadi Pembodohan

7 Agustus 2024   12:20 Diperbarui: 7 Agustus 2024   12:51 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi meja panjang sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.

Dampak potensi pembodohan pada karya sastra horor dicemaskan terjadi. Seiring berkembangnya sastra horor yang low class, murahan, tak bermutu karena mengeksploitasi ketakutan dan sensualitas perempuan. Padahal karya sastra horor memiliki basis yang kaya nilai-nilai moral, yakni budaya.

SEPAKATKAH Anda dengan pendapat di bawah ini?

"Sastra horor adalah karya fiksi yang basisnya budaya" -- Yon Bayu Wahyono.

Jangan terburu-buru menjawab hehehe. Mari kita tengok dan telaah apa dasar pemikiran pandangan di atas.   

Gambarannya seperti yang saya pahami dalam tulisan ini.

Saya sengaja mengutip pernyataan atau pandangan Yon Bayu Wahyonoi (Yon Bayu) di atas. Dia seorang Kompasianer (Komunitas Literasi Kompasiana) sekaligus pemimpin redaksi Pojok Taman Ismail Marzuki (TIM) yang belum lama menerbitkan dua novel berjudul Kelir dan Prasa.  

Pandangan di atas merupakan gagasan munculnya gelaran acara diskusi "Meja Panjang Sastra Horor" pada Jum'at, 26 Juli 2024 lalu di TIM, Jakarta Pusat.

Buat tahu saja, tema sastra horor menjadi perbincangan hangat belakangan ini.  Seperti diungkap Yon Bayu, bahwa setidaknya ada 4 lembaga yang sudah menggelar acara bertema serupa.

Benar saja, pandangan Yon Bayu menyangkut sastra horor itu memantik pendapat pro dan kontra dari peserta acara yang dipadati sekitar 50 an peserta dalam ruangan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin lantai 4 TIM itu. Peserta diskusi datang dari kalangan pegiat karya fiksi, insan perfilman, pecinta budaya, penulis/ blogger, mahasiswa dan masyarakat umum.

Pro kontra membuat acara diskusi menjadi lebih hidup dan menarik dalam upaya menggali gagasan "sastra horror" lebih kaya perspektif dan mendalam.

Tak kalah menarik adalah penampilan para pembaca puisi di sela acara. Ada teatrikal pembacaan puisi oleh penyair Boyke Sulaiman, (Boy) dengan lonceng kecilnya yang membuat nuansa horor "hinggap"  memenuhi ruangan acara.  

Juga penampilan Elisa Koraag, fiksianer Kompasiana yang membawakan puisi Chairil Anwar berjudul "Cerita Buat Dien Tamaela".

Ditambah penampilan Pak Puguh, penyair asal Wonogiri yang aktif di Dewan Kesenian Banten, membawakan puisi karya WS Rendra berjudul "Mastodon dan Burung Kondor," menutup akhir acara.  

Kilas pandang pembacaan puisi dan berlangsungnya acara, bisa Anda tonton dalam video yang saya buat di bawah ini. Video juga saya posting di kompasiana berjudul "Kompasianer Mengurai Kerisauan & Berbagi Perspektif, dalan diskusi Sastra Horor". 


Diskusi yang juga tercetus karena keprihatinan terhadap realitas sastra horor yang dianggap "low class", murahan, tak bermutu. Seiring dengan pencipta karya yang masih fokus pada sisi eksploitasi pada ketakutan dan sensualitas Perempuan.

Menjai PR (Pekerjaan Rumah) bersama, bagaimana mengangkat genre sastra horor ke tingkat yang setara dengan karya sastra genre lainnya.

Berikut ini kira-kira beragam perspektif yang terlontar dalam diskusi yang dimoderatori oleh Nanang, seorang penyair kelahiran 6 Agustus, yang menjabat sebagai Pimpinan perusahaan Pojok TIM.   

Perspektif Horor, Sebuah Kerisauan 

Dalam diskusi yang berlansung mulai jam 14.00 wib itu, saya menangkap ada kerisauan yang dirasakan Yon Bayu terhadap eksistensi karya sastra genre horor. Sebagai pemateri utama, Yon Bayu banyak memberikan perspektifnya terkait karya sastra horor.

Kerisauan yang dirasakannya saya simpulkan, setidaknya ada dua hal.

Bahwa sastra horor dianggap karya tak bermutu dan sastra horor itu dianggap sebagai pembodohan.

Orang seringkali menganggap, sastra horor itu karya tak bermutu, karya rendahan. Alasannya karya sastra horor itu baik berupa  cerita ataupun visual film, menampilkan horor murhan. Hadir dalam karya-karya horor hiburan murahan,, yang berisi ekploitasi ketakutan, klenik dan sensusalitas perempuan semata.

Orang menganggap, sastra horor adalah wahana pembodohan. Banyak menampilkan cerita-cerita yang menakutkan. Selama itu menakutkan maka dianggap horor.

Menurut Yon Bayu, sastra horor bisa dianggap sebagai pembodohan, sepanjang horor itu dipahami sebagai eksploitasi ketakutan, eksploitasi sensualitas perempuan, eksploitasi hal-hal yang tak rasional dan mengada-ada.

Maka horor yang dipahami demikian, akan menjadi karya horor yang berpotensi pembodohan.  

Pemaknaan Horor dan Batasan Diskusi 

Kata "horor" kalau merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), horor diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan perasaan "ngeri" atau takut teramat sangat.

Menurut Yon Bayu,  ketika horor diartikan KBBI seperti itu, beda dengan arti yang ada di masyarakat. Masyarakat mengenal horor berkaitan dengan hal-hal gaib, misteri dan mistis.

Diskusi meja panjang sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.
Diskusi meja panjang sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.

Defenisi horor memang beragam. Perspektif dari Pak Bambang, pegiat sastra yang hadir memberikan pandangan bahwa ada tiga kategori horor. Horror of personality yang sifatnya psikologis. Horor yang  dialami seseorang, misalnya horor terhadap usia, merasa sepi dan sebagainya.

Horror of Armagedon yang isinya semua hantu. Hantu yang hidup dalam masyarakat. Dituangkan dalam bentuk karya sastra seperti wisata horor. Contohnya wisata horor, Mbah Marijan, penunggu Gunung Merapi, Jogjakarta.

Ada lagi Horror  of Armageon,  yang berasal dari kekerasan, peperangan.

Hampir senada dengan Pak Bambang, seorang praktisi film, Budi Maryono, sharing tentang kategori film horor.

Ada film Armagedon berkaitan dengan sesuatu hal yang menakutkan bukan hantu. Misalnya film ikan hiu, ikan paus, kiamat, anaconda yang semuanya mengerikan.

Ada juga film tentang sesuatu yang berusaha untuk menakut-nakuti bukan hantu. Contohnya    film Joker.

Ada lagi demonic. Ini film horor berkaitan dengan hantu, wewe gomberl, pocong dan lain-lain. Kategori ini paling banyak di Indonesia.

Beragamnya pemaknaan tentang horor itu, Yon Bayu membatasi pemaknaan pada diskusi dalam satu pengertian horor.

Dia memandang horor sebagai kepercayaan, aktivitas yang melibatkan unsur makhluk gaib yang bersifat mistis atau misteri secara umum yang menimbulkan rasa ngeri dan takut.

Horor dibatasi sebagai sesuatu yang gaib. Gaib melahirkan misteri, misteri melahirkan horor.

Cerita Calon Arang, Contoh Sastra Horor Paling Lengkap

Yon Bayu memberikan pengertian sastra horor yang ia pahami sebagai karya fiksi berbasis budaya. Dalam hal ini budaya Jawa, karena dirinya orang Jawa (Cilacap).

Baginya sastra horor adalah karya yang berbasis budaya yang penuh nilai-nilai. Hampir semua tradisi budaya masyarakat Jawa yang bersinggungan dengan hal-hal  gaib, dalam kadar tertentu melahirkan misteri dan horor. Oleh karenanya horor di Jawa adalah budaya.

"Sejak saya lahir hingga mati, itu horor semua," ujarnya.

Yon Bayu, pemateri utama diskusi sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.
Yon Bayu, pemateri utama diskusi sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.

Tentu kita tahu, masih banyak kita temui, "ritual" tradisi yang masih terpelihara dalam kehidupan masyarakat Jawa seperti membuat bubur merah putih saat weton, tradisi sedekah laut, larungan, bersih desa, ziarah makam.

Ritual yang selalu berkelindan dengan hal-hal bersifat horor. Tradisi-tradisi itu dilakukan turun temurun menjadi budaya yang sulit diubah.  

Bahkan tradisi sudah dilembagakan sejak zaman Kerajaan Mataram masa pemerintahan Sultan Agung. Masa dimana, banyak tercipta ritual-ritual yang menjadi budaya turun temurun.

Dalam pemahaman ini, horor bukan lagi sebatas ekploitasi tubuh perempuan, maupun ketakutan semata.  

Berpijak atas dasar pemahaman itulah, Yon Bayu memberi pengertian tentang karya sastra horor.

Menurutnya sastra horor adalah karya tulis maupun lisan, yang menceritakan budaya atau cerminan budaya, dari masyarakat yang menganut kepercayaan, pemahaman dan aktivitas yang melibatkan unsur gaib. Bersifat mistis atau misteri.

Poinnya adalah bersifat mistis, gaib. Jadi horor yang berdarah-darah, peyiksaan, tidak termasuk kategori horor yang dimaksudkan.  

Memahaminya, mungkin agak mudah dengan yang dicontohkan Yon Bayu. Contoh cerita rakyat yang menurutnya paling kuat dan lengkap konteknya dengan sastra horor karena basisnya budaya. Melibatkan gaib.

Cerita itu, cerita rakyat yang terkenal, Calon Arang masa Airlangga memerintah di Kerajaan Medang.  

Dalam cerita itu termuat tentang dunia gaib, teluh, pertentangan ilmu htam, wabah, hingga "menampar " sistem budaya patriarki. Dimana dominasi pria seakan dilecehkan Calon Arang (janda) yang mampu menghidupi putrinya tanpa bantuan pria.

Sayangnya karya horor seperti ini termarginalkan oleh karya horor yang berbasis fantasi. Sialnya horor mengadopsi kualitas gambaran yang sudah ada.

Kuntilanak penampakannya dasteran warna putih, punggung bolong. Begitu juga genderuwo yang menyeramkan seperti itu, tak berubah. Semua orang mempercayai itu.  

Menghapus Stigma Negatif Sastra Horor

Stigma negatif yang tersemat pada karya horor, akibat eksploitasi ketakutan dan sensualitas, salah satunya muncul dari para penulisnya.

Ni Made Sri Andani, pemateri pendamping dalam diskusi, menyoroti hal ini.

Bahwa horor harus dibebaskan dulu dari stigma-stigma negatif seperti cerita membosankan, cerita yang  begitu-begitu saja. Bahkan  horor dianggap mengganggu orang yang taat beribadah. Tidak berani cerita horor, karena bisa dianggap kurang taat beribadah.  

Paradoksnya orang memiliki ketertarikan, membicarakan horor.  

"Jika memang citra sastra horor dianggap pembodohan, harus dinetralisir dulu citra negatif itu,"ujarnya.

Ni Made Sri Andani, pemateri pendamping diskusi sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.
Ni Made Sri Andani, pemateri pendamping diskusi sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.

Andani mengilustrasikan, seperti parfum untuk mewangikan tubuh, ada dua jenis. Satu parfum satu deodoran. Badan bau kalau dikasih parfum aja gak sembuh karena badan sudah bercampur dengan bakteri. Kasih deodoran dulu agar netral baru dikasih parfum.

Perempuan kelahiran Bangli, Bali yang bukunya difilmkan berjudul "Burung Perkutut dan Sopir Taksi" itu, menekankan manfaat positif karya sastra horor.  

Sastra horor, bermanfaat positif seperti dari sisi sosial, edukatif, psikologis dan lain-lain.

Contohnya "Ksah burung perkutut dan sopir taksi", karyanya. Cerita yang di film berjudul "Petaka burung perkutut" itu, bercerita kemalangan seorang kontraktor sukses yang beralih jadi sopir taksi. Kemalangan ditambah keluarganya yang meninggal satu persatu berturutan.

Kisah memberi pesan agar tidak menelan mentah-mentah segala informasi yang diperoleh terkait horor peristiwa. Cerita burung perkutut juga memberi sisi edukatif bagi Andani bahwa perkutut (kukila) adalah salah satu  simbol kemapanan orang Jawa.  

Demikian juga pengalamannya  saat membeli jagung depan kuburan yang berbuntut seperti  perasaan dikuntit seseorang. Cerita yang memberi manfaat psikolgis,  membangun keberanian dan ketahanan mental. Masih banyak cerita horor dengan manfaatnya yang dialami Andani.

Oleh karenanya Andani mengajak para penulis karya sastra horor, menulis sesuatu yang baik. Sastra yang baik, film yang baik.

Caranya dengan memasukkan hal-hal positif dalam setiap karyanya. Harapannya dapat menghapus stigma negatif yang melekat pada karya horor.

Dasarnya adalah, pemikiran bahwa problem yang  menciptakan image negatif sastra horor adalah penulisnya.

Penulis naskah, sutradara, produser bahkan jurnalis. Mereka-mereka yang andil dalam membuat citra cerita, film horor itu akan baik atau buruk.  

Citra inilah yang akan ditangkap oleh masyawakat penikmatnya.

Saya jadi ingat seorang penulis di Kompasiana bernama akun  Tia Sulaksono saat mengomentari tulisanku tentang pengumuman event sastra horor ini. Tulisannya ini, [LitKom] Mendiskusikan Sastra Horor, Kenapa Enggak?

Dia  menyampaikan komentar begini (saya kutip asli, tanpa edit):

"Saya penulis cerita horor, suka sekali dengan tulisan ini. Tulisan saya selalu menyelipkan budaya daerah selain memperkenalkan budaya, juga berharap menambahkan bobot di tulisan saya. Karena bagi saya horor bukan sebatas hantu seperti poconk, kunti, dan teman-temannya."

Pembaca/ Pemirsa Harus Kritis

Pandangan menarik lainnya, datang dari Sunu Wasono, sebagai pemateri pembanding.

Pria asal Wonogiri, penulis kelahiran 11 Juli, pensiunan dari dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu, memahami bahwa sejak lama masyarakat kita lekat dengan hal gaib, horor.

Pria yang menelurkan sujumlah karya sastra seperti  

"Membaca Sapardi Djoko Damono, dinamika bahasa dan sastra Indonesia, Jagat lelembut, dan lain-lain itu, mengamini pendapat Yon Bayu bahwa akar cerita horor adalah kebudayaan kita.

Dasarnya seperti film era 1980an dibintangi Susana banyak mengangkat tema horor. Juga  dalam cerita sastra modern Indonesia melalui cerpen karya Riyono Pratikto yang menampilkan kisah horor dari dunia gaib. Dalam sebutan HB Jassin cerita horor  sebagai cerita seram. 

Demikian juga cerita horor, bisa ditemukan  dalam karya Abdullah Harahap era 1970-1980 yang  menampilkan kisah-kisah horor.

Yang fenomenal adalah majalah  berbahasa Jawa jadoel masa saya sekolah dasar yang eksis sampai saat ini, Panjebar Semangat. Melaluui rubrik "Alaming lelembut" serta Majalah Joko Lodhang rubrik "Jagading lelembut" yang terbit  tiap semiggu sekali.

Dalam kedua majalah itu, banyak dijumpai makhluk halus, wewe gomberl, cungklung, demit, genderuwo yang dibalut cerita cinta asmara, pesugihan dan lain-lain.

Realitas itu sebagai tanda bahwa masyarakat pada dasarnya menyukai cerita lelembut.

Menurut Sunu, memang pada dasarnya kisah-kisah horor didasari oleh cerita-cerita  supraatural.  Orientasi dunia gaib niscaya berkaitan dengan sistem kepercayaan yang sudah lama berakar  pada masyarakat kita. 

Sunu Wasono, pemateri pembanding diskusi sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.
Sunu Wasono, pemateri pembanding diskusi sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.

Tak mudah hilang begitu saja. Kemajuan pengetahuan dan teknologi malah justru bisa mendukung hal-hal gaib menjadi makin menarik. Bersenyawa dengan keyakinan hal-hal gaib.

Lalu bagaiaman kaitan dengan karya sastra horor?

Religi kepercayaan Kapitayan, sebagai unsur kebudayaan sedikit banyak menjadi acuan  bagi sastra untuk berkarya.   

"Keberadaan cerita  horor yang idenya berasal dari dunia gaib adalah sah sah saja," ujar Sunu.

Namun Sunu memanang bahwa karya cerita horor dengan kualitas seperti apapun,  belum tentu, bisa diterima semua kalangan. Setiap cerita sastra termasuk horor memiliki pembacanya sendiri.  Penerimaan pembaca terhadap karya sastra dipengaruhi selera, jenis kelamin, usia, pengalaman, ideologi dan lain-lain.

Jadi tidak perlu mengharuskan  semua kalangan dapat menerima cerita horor. Biarlah masyarakat yang memilih  jenis karya sastra yang disukainya.

Kaitannya dengan pembodohan, menurut Sunu pada jenis karya sastra propaganda pembodohan itu bisa saja terjadi karena pembacanya tidak kritis.

Sebaliknya pada masyarakat yang bisa membedakan mana fakta mana fiksi,  tentu tidak akan menerima begitu saja apa yang dibaca/ ditonton. Di sini pentingnya  masyarakat bersikap kritis.

Sunu menekankan pada penonton/  pembaca karya sastra horor bersikap kritis.    

Sebuah Kerisauan 

Mengikuti diskusi sastra horor ini, banyak memberi insight khususnya terkait dunia sastra horor dan budaya (Jawa).

Saya menyukai budaya, khususnya budaya Jawa. Mengingat saya lahir dan besar dalam keluarga adat Jawa. Meski bukan penganut Kejawen/ Kapitayan orang tuaku cukup lekat menerapkan kehidupan budaya Jawa.

Ibu selelu menggunakan jarik dalam berbusana. Sampai saat ini. Tak pernah menggunakan rok dan baju masa kini.

Ibu juga masih melakukan "ritual" bubur "abang putih" untuk anak-anaknya.

Saat saya kecil bapak sering mengajakku "jamasan" keris miliknya. Katanya keris "sipat pangandel" yang nantinya akan diturunkan kepada anaknya. Anak yang ditunjuknya. Mungkin saya karena saya anak laki satu-satunya hehe.

Dulu saya juga sering diajak "ambil pesaka" ke dukun kampung. Saat itu ya, saya memahaminya sebagai hal mistis. Antara takut dan penasaran.

Bapak juga suka memelihara burung perkutut sebagai simbol kemapanan pria Jawa. Bukan hanya seekor, dua ekor, hampir seratus ekor. Hingga semua harus dilepaskan saat marak flu burung.

Diskusi meja panjang sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.
Diskusi meja panjang sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen pribadi.

Kini, saya menyukai isu-isu budaya. Tulisan tema budaya sering aku tulis. Tak terbatas budaya Jawa. Budaya Nusantara.

Ada satu cerita yang membuatku risau. Bukan tentang risau sastra horornya tapi sebaliknya, nasib budayanya.

Saya sangat sepakat dengan pendapat Yon Bayu bahwa sastra horor adalah karya fiksi berbasis budaya. Bisa dikatakan bahwa budaya adalah mata air bagi penciptaan karya sastra horor.

Nah suatu ketika saya bertemu dengan seorang pembuat senjata pusaka adat (saya tak sebut namanya).

Bagi saya, dia seorang empu. Empu pembuat pusaka. Bayangan saya seperti halnya Empu Gandring yang membuat kerisnya Ken Arok, butuh pakem-pakem yang harus dilakukan si Empu saat membuat pusaka.

Pakem itu mestinya tak boleh tidak dilakukan. Karena menyangkut tradisi ortodoks budaya itu sendiri.

Nah yang membuat risau, masa sekarang ini pembuat pusaka sepertinya sudah jarang yang melakukan pakem "laku". Alasannya, spiritual, keyakinan yang memang sudah berubah.

Pertanyaannya apakah ini bukan semacam "back fire", membakar eksistensi genuine budaya itu sendiri?

Sementara sastra yang bersifat fiksi bisa menuliskannya adlam bentuk fiksi.  Atau mengembangkan fakta ke karya fiksi yang tentu saja berpotensi mengubah pakem, apalagi jika ada sisipan fantasi di dalamnya.

Jika pertimbangannya keniscayaan perubahan budaya akan terjadi, berarti diskusi selesai sampai di sini. How?

Salam Sastra & Buaya

@rachmatpy  

Foto bareng pasca acara sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen LITKOM.
Foto bareng pasca acara sastra horor, jumat 26 Juli 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dokumen LITKOM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun