Ada satu cerita yang membuatku risau. Bukan tentang risau sastra horornya tapi sebaliknya, nasib budayanya.
Saya sangat sepakat dengan pendapat Yon Bayu bahwa sastra horor adalah karya fiksi berbasis budaya. Bisa dikatakan bahwa budaya adalah mata air bagi penciptaan karya sastra horor.
Nah suatu ketika saya bertemu dengan seorang pembuat senjata pusaka adat (saya tak sebut namanya).
Bagi saya, dia seorang empu. Empu pembuat pusaka. Bayangan saya seperti halnya Empu Gandring yang membuat kerisnya Ken Arok, butuh pakem-pakem yang harus dilakukan si Empu saat membuat pusaka.
Pakem itu mestinya tak boleh tidak dilakukan. Karena menyangkut tradisi ortodoks budaya itu sendiri.
Nah yang membuat risau, masa sekarang ini pembuat pusaka sepertinya sudah jarang yang melakukan pakem "laku". Alasannya, spiritual, keyakinan yang memang sudah berubah.
Pertanyaannya apakah ini bukan semacam "back fire", membakar eksistensi genuine budaya itu sendiri?
Sementara sastra yang bersifat fiksi bisa menuliskannya adlam bentuk fiksi. Â Atau mengembangkan fakta ke karya fiksi yang tentu saja berpotensi mengubah pakem, apalagi jika ada sisipan fantasi di dalamnya.
Jika pertimbangannya keniscayaan perubahan budaya akan terjadi, berarti diskusi selesai sampai di sini. How?
Salam Sastra & Buaya
@rachmatpy Â