Dampak potensi pembodohan pada karya sastra horor dicemaskan terjadi. Seiring berkembangnya sastra horor yang low class, murahan, tak bermutu karena mengeksploitasi ketakutan dan sensualitas perempuan. Padahal karya sastra horor memiliki basis yang kaya nilai-nilai moral, yakni budaya.
SEPAKATKAHÂ Anda dengan pendapat di bawah ini?
"Sastra horor adalah karya fiksi yang basisnya budaya" -- Yon Bayu Wahyono.
Jangan terburu-buru menjawab hehehe. Mari kita tengok dan telaah apa dasar pemikiran pandangan di atas. Â Â
Gambarannya seperti yang saya pahami dalam tulisan ini.
Saya sengaja mengutip pernyataan atau pandangan Yon Bayu Wahyonoi (Yon Bayu) di atas. Dia seorang Kompasianer (Komunitas Literasi Kompasiana) sekaligus pemimpin redaksi Pojok Taman Ismail Marzuki (TIM) yang belum lama menerbitkan dua novel berjudul Kelir dan Prasa. Â
Pandangan di atas merupakan gagasan munculnya gelaran acara diskusi "Meja Panjang Sastra Horor" pada Jum'at, 26 Juli 2024 lalu di TIM, Jakarta Pusat.
Buat tahu saja, tema sastra horor menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Â Seperti diungkap Yon Bayu, bahwa setidaknya ada 4 lembaga yang sudah menggelar acara bertema serupa.
Benar saja, pandangan Yon Bayu menyangkut sastra horor itu memantik pendapat pro dan kontra dari peserta acara yang dipadati sekitar 50 an peserta dalam ruangan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin lantai 4 TIM itu. Peserta diskusi datang dari kalangan pegiat karya fiksi, insan perfilman, pecinta budaya, penulis/ blogger, mahasiswa dan masyarakat umum.
Pro kontra membuat acara diskusi menjadi lebih hidup dan menarik dalam upaya menggali gagasan "sastra horror" lebih kaya perspektif dan mendalam.