Transisi energi hingga kini semakin gencar dilakukan di berbagai negara.Â
Hal ini dipengaruhi oleh situasi dalam beberapa dekade terakhir yang mengharuskan adanya tuntutan bagi negara di seluruh dunia agar tetap bisa survive sebagai respon dari permasalahan pemanasan global yang semakin meningkat sehingga perlahan menyebabkan perubahan iklim di berbagai negara dengan tujuan untuk memikirkan waktu dalam jangka panjang serta mengurangi ketergantungan terhadap emisi karbon yang selama ini diperoleh dari sumber bahan fosil seperti batu bara, minyak, gas, listrik, dan timah untuk mempertahankan aspek ekonomi dan lingkungan.Â
Transisi energi dapat kita ibaratkan sebagai upaya untuk "memperpanjang umur bumi dan menunda kiamat" terjadi dengan membenahi penggunaan sumber energi fosil. Begitulah kiranya untuk mengawali tulisan ini.
Transisi energi merupakan proses yang kompleks yang tidak hanya melibatkan aspek teknis, tapi juga aspek regulasi (pemerintah Indonesia), keuangan, dan politik. Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang kaya bisa menjadi suatu anugerah yang dapat disyukuri tapi terkadang justru bisa juga menjadi sebuah kutukan. Transisi energi sebenarnya bukan hanya persoalan technical energy saja melainkan juga persoalan politik.Â
Transisi energi di masa kini tidak bisa terlepas dari campur tangan pemerintah yang ikut mengambil peran dari beberapa aspek dalam pelaksanaan transisi energi, contohnya dalam hal regulasi dan keterlibatan kepentingan bisnis energi fosil.Â
Istilah ini juga dapat disebut sebagai "political lock in", seperti halnya yang terjadi di Indonesia sebagaimana yang disampaikan oleh Mas Nanang Indra dalam seminar "Recarbonization through Decarbonization (How Extraction Deepens Fossil Fuel Dependence)."Â
Dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."Â
Namun, melihat kembali pada realita yang ada, bunyi dari UUD 1945 pasal 33 ayat (3) melahirkan gap bagi kita yang memahaminya. Sebenarnya, dikuasai negara yang seperti apa? untuk siapa? Apakah rakyat yang terdampak proyek transisi energi kehidupannya dapat terjamin makmur dan sejahtera?.Â
Realitanya, proyek transisi energi masih harus mengorbankan dampak yang akan ditimbulkan seperti terjadinya marginalisasi, degradasi lingkungan, perampasan, dan penindasan bagi rakyat terdampak.Â
Dengan dampak tersebut, proses transisi energi di Indonesia yang seyogyanya mengedepankan aspek demokratis  masih belum tersentuh 100%. Realistis saja, alat-alat yang digunakan nantinya dalam proses transisi energi masih bergantung pada alat-alat yang memiliki kandungan fossil fuel.
Transisi hijau saat ini bisa mengarah pada green colonialism, bukan pada green energy untuk negara kita karena hak-hak rakyat terpaksa ditundukkan dalam proyek ini dan prosesnya cenderung dipenuhi oleh obsesi yang belum matang sempurna.Â
Selain itu, green energy terkadang masih minim adanya keadilan. Ketika kita berbicara tentang green energy transition di masa depan, seyogyanya kita juga harus mencari dan menyeimbangkan dimana letak keadilan (justice) bagi rakyat kecil mengingat banyak terjadi kasus program transisi energi di berbagai daerah Indonesia yang masih kurang meletakkan aspek keadilan dan menimbulkan ketimpangan dalam penerimaan masyarakat.Â
Idealnya, aspek keadilan energi (justice energy) bagi masyarakat yang terdampak dalam proyek transisi energi harus mempertimbangkan 3 hal, yakni apakah akan ramah lingkungan, apakah dapat diandalkan (memberikan kepercayaan sebagai sumber energi yang menjanjikan), serta apakah akan terjangkau dan memberikan kemudahan akses untuk mendapatkannya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.Â
Pembangunan PLTN di Indonesia untuk mendukung transisi energi menyasar Pulau Gelasa Bangka Tengah sebagai pusat tempat PLTN karena memiliki sumber bahan baku yang melimpah. Pulau Gelasa merupakan salah satu dari proyek energy transition yang memiliki beragam dinamika yang terjadi meskipun sudah dilakukan.Â
Permasalahan yang harus dihadapi dalam pembangunan PLTN di Pulau Gelasa dapat dianalisis dari proyeknya yang terkesan high capitalism, biaya produksi dan pembangunan yang terkesan expensive, keterhubungan political lock in (politik Indonesia sangat bergantung pada sumber fosil dan para elit masih terafiliasi) dan social acceptance.
Renewable Energy is Expensive
Pembangunan PLTN di Pulau Gelasa dan proses produksi untuk mengolah tanah jarang menjadi thorium bisa dinilai mahal dan tidak mudah dikarenakan alat-alat yang digunakan untuk membangun PLTN masih bergantung pada impor bahan produksi, pengolahan dari luar negeri dan pengembangan teknologi PLTN, contohnya ada bahan untuk membangun PLTN yang harus mengimpor dari negara Rusia.Â
Apalagi setelah terjadinya invasi Rusia ke Ukraina mempengaruhi lonjakan nilai harga energi terbarukan (nonfosil) dan dapat mengakibatkan adanya keterbatasan akses untuk memperoleh bahan pendukung PLTN dari Rusia.Â
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengatakan bahwa investasi pengembangan PLTN lebih mahal dibandingkan pembangkit Listrik tenaga surya (PLTS) (universitaspertamina.ac.id.). Untuk menghasilkan 1 kilowatt (KW) Listrik PLTN membutuhkan investasi sebesar US$ 6.000-10.000 (Rp 85-143 juta) (universitaspertamina.ac.id.).Â
Sedangkan untuk mengubah sumber tanah jarang menjadi sumber thorium juga bukan hal yang mudah dan langsung cepat jadi. Proses menyempurnakan sumber energi thorium masih memakan waktu bertahun-tahun hingga benar-benar menjadi thorium, sedangkan PT Thorcon sudah menggaungkan target dimana-mana bahwa pada tahun 2032 PLTN Pulau Gelasa sudah mulai bisa dioperasikan.
 Dengan demikian, kita masih membutuhkan lebih banyak pembiayaan dalam mewujudkan energi terbarukan, apalagi untuk membangun PLTN yang tidak murah karena harus mempertimbangkan aspek sumber investasi yang ada, kemudian harus menghadapi tantangan struktural untuk berinvestasi (seperti keuangan PLN, batasan harga batu bara/gas di masa sekarang) dan tantangan struktural di pasar negara berkembang dan biaya pembiayaan.
Dinamika Transisi Energi PLTN
Kita sama-sama telah mengetahui bahwa perusahaan yang akan melakukan pembangunan PLTN di Pulau Gelasa merupakan PT ThorCon yang berasal dari perusahaan swasta milik Amerika Serikat.Â
Awal mulanya, PT Thorcon melihat peluang keuntungan untuk mengembangkan teknologi nuklir berbasis thorium (PLTN) di Indonesia dengan titik fokus pembangunan berada di Pulau Gelasa karena berada di daerah yang dapat menghasilkan timah atau tanah jarang dan memanfaatkan cita-cita transisi energi Indonesia sebagai negara net zero emission di tahun 2060.Â
PT ThorCon terlihat optimis untuk membangun PLTN di Pulau Gelasa menggunakan sumber dana pribadi dan tanpa bantuan anggaran dari dana APBN dalam pembangunannya. Salah satu faktor pembangunan PLTN di pulau gelasa dikatakan sebagai proyek yang dinilai high capitalism karena sifat optimis yang dimiliki membangun PLTN tanpa bantuan dana APBN apalagi dengan target tinggi pada tahun 2032 PLTN sudah mulai dioperasikan di Pulau Gelasa.Â
Penggunaan sumber dana pribadi yang dilakukan oleh PT. ThorCon untuk membangunan PLTN sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah dalam mewujudkan transisi energi di masa depan dirasa cukup mengkhawatirkan bagi Indonesia yang semakin dominan disetir sistem kapitalisme oleh sektor swasta yang memiliki kepentingan tersendiri dengan tujuan kepentingan swasta dapat tersalurkan.Â
Sektor swasta seperti PT. ThorCon akan hadir jika pemerintah memberikan lampu hijau atau sudah menghendaki dengan didukung keputusan yang jelas untuk melakukan Pembangunan PLTN melalui kebijakan yang dikeluarkan dan mendukung kepentingan sektor swasta itu sendiri. Hal ini disebabkan karena para pengusaha di bidang sektor swasta membutuhkan jaminan politik yang dapat melindungi mereka secara aman selama melakukan Pembangunan PLTN sehingga mereka memiliki legality reason jika mendapatkan penolakan.
 Istilah yang dimunculkan dalam sistem kapitalisme untuk merespon permasalahan ini yakni adanya tangan tidak terlihat (invisible hand) dan tangan terlihat (visible hand) yang dapat di deskripsikan bahwa tangan tidak terlihat (invisible hand) digambarkan berupa interaksi aktor-aktor ekonomi di dalam pasar energi yang saling mengatur mekanisme harga pasar sesuai dengan kepentingannya.Â
Sedangkan tangan terlihat (visible hand) muncul sebagai cerminan dari pemerintah yang melakukan intervensi dengan mengeluarkan regulasi yang menyesuaikan dengan keadaan pasar (Akmalie, 2023). S
elain itu, persetujuan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa jadi tidak terlepas dari mereka yang masih terafiliasi dengan sumber energi fosil atau bahkan ada kepentingan tersendiri bagi mereka yang saat ini menduduki posisi inkumben untuk memuluskan jalan dalam membangun PLTN Pulau Gelasa. Hal ini kemudian menjadi sebuah perpaduan yang apik antara aspek high capitalism dan political lock in.
Aspek social acceptance sangat diperlukan bagi pihak PT. Thorcon karena hal berkaitan dengan pembangunan PLTN yang dibangun di daerah tempat tinggal warga. Lalu, apakah pembangunan PLTN menghasilkan justice energy bagi warga sekitar jika melihat pada aspek social acceptance?. Aspek social acceptance dalam transisi energi mengacu pada keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap aspek tata kelola energi.Â
Masyarakat Kabupaten Bangka Tengah belum sepenuhnya menyetujui adanya pembangunan PLTN di Pulau Gelasa sehingga aspek penerimaan sosial masih belum sepenuhnya merata terjadi di masyarakat kabupaten Bangka Tengah. Masyarakat Desa Batu Beriga, desa terdekat dengan Pulau Gelasa yang sudah dipastikan sebagai tapak pembangunan PLTT, telah menyatakan penolakan terhadap Pembangunan PLTN (Mongabay, 2023).Â
Kabar terbarunya seiring dengan gencarnya sosialisasi yang dilakukan oleh PT. Thorcon kepada masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah tentang PLTN yang akan dibangun, Â sebagian kecil masyarakat mengatakan setuju namun sebagian lainnya seperti masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan menolak tegas dengan adanya pembangunan PLTN ini.Â
Tidak hanya muncul penolakan dari masyarakat, melainkan juga dari organisasi pegiat lingkungan seperti Walhi menolak keras adanya PLTN di Pulau Gelasa. Pembangunan PLTN ini belum berhasil mencapai tujuan social acceptance. Transisi energi di masa saat ini sangat membutuhkan penerimaan sosial karena dalam prosesnya akan selalu ada dampak yang ditimbulkan oleh proyek transisi energi dan pada akhirnya masih akan tetap membutuhkan penerimaan sosial dari masyarakat.Â
Masyarakat yang akan terdampak dalam transisi energi digolongkan ke dalam 3 kelas masyarakat, yakni masyarakat yang berinteraksi dengan energi terbarukan, masyarakat yang terdampak dari proses ekstraksi mineral, dan masyarakat yang terlibat dalam proses ekstraksi sumber bahan bakar fosil itu sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung karena pada akhirnya mereka yang terlibat akan tetap merasakan dampak dari transisi energi.
Berbagai permasalahan di atas menjadi sebuah dinamika yang perlu dipertimbangkan lebih mendalam dalam proyek PLTN di Pulau Gelasa. Transisi energi adalah keputusan pembangunan ekonomi di tingkat pemerintah, bukan diserahkan kepada PLN. Kita tidak bisa bergantung pada bantuan dari luar saja. kita harus membangun jembatan dari kekayaan yang ada. Transisi akan memakan biaya banyak uang dalam memproduksi energi terbarukan.Â
Belum lagi ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang masih sulit dilepaskan dan para aktor politik yang juga masih terafiliasi dengan kepentingan bisnis fossil fuel sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab apakah negara berkembang seperti Indonesia akan mampu membangun tembok dan jembatan di masa depan untuk mencapai cita-cita penggunaan energi yang benar-benar hijau di masa depan.Â
Social acceptance dengan melibatkan masyarakat dalam obsesi proyek transisi energi di masa sekarang sangat penting dilakukan. Keterlibatan warga merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan transisi energi di Indonesia, namun masih menjadi tantangan yang signifikan dalam banyak aspek, seperti konteks negara, konteks regional dan lanskap geopolitik.Â
Upaya mewujudkan green vision malah menghasilkan rekarbonisasi bukan dekarbonisasi sehingga menjadi paradoks bagi transisi energi. Akhirnya, transisi energi menjadi bentuk lain dari kegiatan ekstraktivisme yang dibalut rapi dalam proyek penggunaan green energy yang katanya "bersih."
Oleh: Ragil Triwinarsih (Mahasiswi Ilmu Politik, Universitas Bangka Belitung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI