Kita sama-sama telah mengetahui bahwa perusahaan yang akan melakukan pembangunan PLTN di Pulau Gelasa merupakan PT ThorCon yang berasal dari perusahaan swasta milik Amerika Serikat.Â
Awal mulanya, PT Thorcon melihat peluang keuntungan untuk mengembangkan teknologi nuklir berbasis thorium (PLTN) di Indonesia dengan titik fokus pembangunan berada di Pulau Gelasa karena berada di daerah yang dapat menghasilkan timah atau tanah jarang dan memanfaatkan cita-cita transisi energi Indonesia sebagai negara net zero emission di tahun 2060.Â
PT ThorCon terlihat optimis untuk membangun PLTN di Pulau Gelasa menggunakan sumber dana pribadi dan tanpa bantuan anggaran dari dana APBN dalam pembangunannya. Salah satu faktor pembangunan PLTN di pulau gelasa dikatakan sebagai proyek yang dinilai high capitalism karena sifat optimis yang dimiliki membangun PLTN tanpa bantuan dana APBN apalagi dengan target tinggi pada tahun 2032 PLTN sudah mulai dioperasikan di Pulau Gelasa.Â
Penggunaan sumber dana pribadi yang dilakukan oleh PT. ThorCon untuk membangunan PLTN sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah dalam mewujudkan transisi energi di masa depan dirasa cukup mengkhawatirkan bagi Indonesia yang semakin dominan disetir sistem kapitalisme oleh sektor swasta yang memiliki kepentingan tersendiri dengan tujuan kepentingan swasta dapat tersalurkan.Â
Sektor swasta seperti PT. ThorCon akan hadir jika pemerintah memberikan lampu hijau atau sudah menghendaki dengan didukung keputusan yang jelas untuk melakukan Pembangunan PLTN melalui kebijakan yang dikeluarkan dan mendukung kepentingan sektor swasta itu sendiri. Hal ini disebabkan karena para pengusaha di bidang sektor swasta membutuhkan jaminan politik yang dapat melindungi mereka secara aman selama melakukan Pembangunan PLTN sehingga mereka memiliki legality reason jika mendapatkan penolakan.
 Istilah yang dimunculkan dalam sistem kapitalisme untuk merespon permasalahan ini yakni adanya tangan tidak terlihat (invisible hand) dan tangan terlihat (visible hand) yang dapat di deskripsikan bahwa tangan tidak terlihat (invisible hand) digambarkan berupa interaksi aktor-aktor ekonomi di dalam pasar energi yang saling mengatur mekanisme harga pasar sesuai dengan kepentingannya.Â
Sedangkan tangan terlihat (visible hand) muncul sebagai cerminan dari pemerintah yang melakukan intervensi dengan mengeluarkan regulasi yang menyesuaikan dengan keadaan pasar (Akmalie, 2023). S
elain itu, persetujuan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa jadi tidak terlepas dari mereka yang masih terafiliasi dengan sumber energi fosil atau bahkan ada kepentingan tersendiri bagi mereka yang saat ini menduduki posisi inkumben untuk memuluskan jalan dalam membangun PLTN Pulau Gelasa. Hal ini kemudian menjadi sebuah perpaduan yang apik antara aspek high capitalism dan political lock in.
Aspek social acceptance sangat diperlukan bagi pihak PT. Thorcon karena hal berkaitan dengan pembangunan PLTN yang dibangun di daerah tempat tinggal warga. Lalu, apakah pembangunan PLTN menghasilkan justice energy bagi warga sekitar jika melihat pada aspek social acceptance?. Aspek social acceptance dalam transisi energi mengacu pada keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap aspek tata kelola energi.Â
Masyarakat Kabupaten Bangka Tengah belum sepenuhnya menyetujui adanya pembangunan PLTN di Pulau Gelasa sehingga aspek penerimaan sosial masih belum sepenuhnya merata terjadi di masyarakat kabupaten Bangka Tengah. Masyarakat Desa Batu Beriga, desa terdekat dengan Pulau Gelasa yang sudah dipastikan sebagai tapak pembangunan PLTT, telah menyatakan penolakan terhadap Pembangunan PLTN (Mongabay, 2023).Â
Kabar terbarunya seiring dengan gencarnya sosialisasi yang dilakukan oleh PT. Thorcon kepada masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah tentang PLTN yang akan dibangun, Â sebagian kecil masyarakat mengatakan setuju namun sebagian lainnya seperti masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan menolak tegas dengan adanya pembangunan PLTN ini.Â