Setelah serangan hybrid dilakukan Rusia melawan Krimea, membuat negara-negara Baltik yang terdiri dari Estonia, Lituania, dan Latvia, yang notabene terbang langsung dengan Rusia, merasa sangat terancam. Keberhasilan yang dicapai dari strategi Hybrid Warfare yang diterapkan oleh Rusia dalam melakukan agresi terhadap Krimea, membuat ancaman dirasakan oleh negara-negara Baltik semakin tinggi. Salah satu Negara Baltik yang rentan terhadap ancaman Perang Hibrid Rusia adalah Latvia.
Secara politik, Latvia dan Rusia memang memiliki hubungan politik yang erat. Hubungan dekat dari kebijakan ini ditunjukkan dengan adanya kerjasama regional dan dialog politik yang dilakukan oleh kedua negara (Kedutaan Besar Republik Latvia di Federasi Rusia).Â
Secara ekonomi, Latvia juga memiliki afinitas ekonomi dengan Rusia, yang merupakan mitra perdagangan terbesar (visegradinsight, 2015). Ini nantinya akan melemah ekonomi Latvia jika Rusia melancarkan agresi terhadap Latvia. Namun, yang membuat Latvia rentan adalah serangan disinformasi yang telah Rusia lakukan untuk Latvia. Selain itu, Rusia juga telah melakukan serangan siber terhadap Institusi Latvia dan melakukan permainan perang yang sangat besar yang disebut Ocean Shield 2019 di laut Baltik.
Hal-hal ini mendorong Latvia untuk menganggap Peperangan Hibrida Rusia sebagai suatu ancaman. Apalagi setelah Rusia berhasil menerapkan strategi Hybrid Warfare-nya untuk melakukan pencaplokan Krimea dan serangan cyber yang dilakukan oleh Rusia. Hal ini kemudian yang membuat Latvia merasa cemas bahwa Rusia sewaktu-waktu bisa melakukan Hybrid Warfare melawannya.Â
Dalam jurnal ini, penulis ingin mengetahui mengapa Latvia menganggap Russian Hybrid Warfare sebagai ancaman. Dan apakah persepsi ini muncul hanya karena peristiwa sejarah dan letak geografis antara Latvia dan Rusia, seperti yang disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu disini penulis akan menjelaskan alasan dan juga faktor pendorong yang membuat Latvia merasa terancam atas Hybrid Warfare yang dilakukan oleh Rusia
Landasan Teori
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Teori Persepsi Ancaman yang dikemukakan oleh Raymond Cohen. Â Melalui jurnalnya yang berjudul Threat Perception in International Crisis, Cohen mendefinisikan ancaman sebagai situasi dimana seorang aktor hanya diperbolehkan melakukan tindakan pasif berupa antisipasi tindakan yang dilakukan oleh aktor lain (Raymond Cohen, 1978). Â Cohen juga menjelaskan bahwa Threat Perception dalam jurnalnya dimaknai sebagai variabel penentu aksi dan reaksi dalam krisis internasional. Â Menurut Cohen, meskipun peristiwa berbahaya telah terjadi, jika insiden itu tidak dianggap sebagai ancaman, maka tidak ada upaya defensif atau defensif yang akan dilakukan.Â
Di sisi lain, ketika ancaman dirasakan, tindakan defensif atau pencegahan akan diambil bahkan ketika musuh sama sekali tidak memiliki niat buruk. Â Oleh karena itu, ancaman dapat dikatakan sebagai langkah-langkah yang diambil untuk mengantisipasi ketika sinyal buruk atau bahaya yang dirasakan terjadi. Â
Dalam menjelaskan teorinya, Cohen lebih menggambarkannya melalui studi kasus dan beberapa peristiwa yang pernah terjadi. Â Salah satu contohnya adalah ketika Prancis merasa terancam oleh Jerman yang menjadikan Prancis sebagai sasaran kampanye intimidasinya, setelah dua tahun masa pendudukannya di Prancis berakhir.
Dalam hal ini, penulis menggunakan Threat Perception sebagai alat untuk melihat faktor-faktor yang menjadi sinyal ancaman yang dirasakan oleh Latvia terhadap strategi Hybrid Warfare Rusia. Â Dimana terdapat sinyal ancaman yang membuat Latvia merasakan ancaman yang membuatnya merespon dengan mengeluarkan beberapa kebijakan untuk segera melakukan pertahanan terhadap negaranya.
Hasil dan Pembahasan