Mohon tunggu...
Rafi
Rafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Bakrie

Konten favorit chanel youtube Tretan Universe

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Persepsi Ancaman Latvia Pasca Aneksasi Krimea terhadap Strategi Hybrid Warfare Rusia

13 Juli 2022   09:14 Diperbarui: 13 Juli 2022   09:19 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keywords: Latvia, Russia, Threat, Hybrid Warfare

Latar belakang

Seperti yang kita ketahui bahwa manusia telah mulai berperang sejak berabad-abad yang lalu. Hingga saat ini, telah banyak perkembangan dalam metode peperangan. Terdapat lima generasi perang yang terjadi hingga saat ini. Pada perang generasi pertama adalah perang yang menggunakan tenaga massal sebagai basis pertempurannya. Selama generasi ini, perang memuncak ketika digunakan dalam Perang Napoleon yaitu Perang Revolusi Perancis yang terjadi pada pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Perang generasi kedua terjadi pada awal hingga pertengahan abad ke-20 (Alexandria: CNA Corporation, 2006). 

Perang di generasi ini menggunakan taktik dasar api serta gerakan. Dan perang generasi ketiga adalah perang menggunakan manuver yang terjadi pada pertengahan hingga akhir abad ke-20. Perang generasi keempat adalah perang asimetris yang menggunakan cara alternatif untuk memerangi seperti terorisme. Dalam perang generasi ini, negara telah memerangi banyak entitas non-negara seperti Al-Qaeda, Hamas, dan Hizbullah. Kemudian, perang generasi kelima adalah Perang Hibrid yang akan dibahas dalam jurnal ini (Timothy J. Junio, 2009).

Istilah Hybrid War sendiri secara umum diartikan sebagai perang yang menggabungkan kekuatan konvensional dengan kekuatan non-konvensional. Dalam hal ini daya konvensional bisa berupa perang tradisional dengan menggunakan berbagai senjata oleh suatu negara. Sedangkan perang konvensional dapat berupa penyebaran disinformasi, perang siber, penggunaan tentara bayaran, terorisme, dan kejahatan. 

Para ahli mendefinisikan Perang Hibrida dengan cara yang berbeda-beda, ada yang menyebutnya Strategi Zona Abu-abu, Persaingan Singkat Konflik, Tindakan Aktif, dan Peperangan Generasi Baru (Christopher S. Chivvis, 2017). Hoffman dalam bukunya mengatakan bahwa Perang Hibrida ini merupakan perang dengan menggabungkan beberapa teknik berbeda seperti perang konvensional, taktik dan formasi tidak teratur, aksi terorisme, serta campur tangan kriminal. Selain itu, disebutkan juga bahwa taktik Perang Hibrida dapat berlanjut perubahan dengan menyesuaikan dan beradaptasi dengan keadaan dan sumber daya yang ada (Timothy M & Richard J, 2013).

Hybrid War ini sebenarnya bukanlah metode perang yang baru. Hal tersebut diungkapkan dalam literatur khusus militer Amerika Serikat yang mengatakan bahwa perang Hybrid ini berasal dari konsep Hybrid Threats yang merupakan hasil penelitian dari konflik Israel dan Hizbullah dengan dukungan Iran selama Perang Lebanon Kedua pada tahun 2006 (Frank G. Hoffman, 2007). Hybrid Threats sendiri merupakan konflik asimetris yang menggabungkan metode perang konvensional dengan non-konvensional. Dalam perang konvensional suatu negara cenderung menggunakan senjata pemusnah massal sebagai taktik perang. 

Sementara di Perang non-konvensional negara dan entitas non-negara dapat menggunakan berbagai jenis metode dan taktik seperti perang dunia maya, pembajakan, kejahatan transnasional, dan terorisme global. Faktor yang dapat mempengaruhi adanya Ancaman Hibrida ini adalah adanya provokasi yang oleh aktor yang berbeda serta eksploitasi. Metode provokasi bisa dilakukan melalui media propaganda, penyebaran hoax, kriminalitas, terorisme dan serangan siber lainnya. Dan di Hybrid Threats, aktor yang bisa menjadi ancaman bukan hanya negara, tapi juga termasuk entitas non-negara.

Rusia mulai masuk dan menguasai Krimea pada 26 Februari 2014 dengan perlahan meluncurkan strategi Hybrid Warfare-nya. Dalam menjalankan strategi Hybrid Warfare-nya, Rusia menggunakan tentara proxy atau pasukan khusus yang tidak dikenal untuk melakukan intimidasi dan propaganda untuk menciptakan kebingungan. 

Rusia menggunakan pasukan tak dikenal yang disebut dengan sebutan greenman (manusia hijau) untuk melakukan kerusuhan, dengan memasuki gedung-gedung pemerintah, dan menghasut penduduk (Sascha-Dominik D B & Anthony P, 2016). Dan dalam strategi Hybrid Warfare-nya, Rusia tidak menggunakan metode konvensional dan cenderung lebih memilih menggunakan metode non-konvensional. Oleh karena itu, Hybrid Warfare yang dilakukan Rusia melawan Crimea dianggap telah mengaburkan konsep perang tradisional.

Strategi Perang Hibrida yang digunakan Rusia dalam melakukan pencaplokan Krimea itu menerima banyak tanggapan dari negara-negara sekitarnya, termasuk negara-negara Baltik, NATO, dan Amerika Serikat. Amerika Serikat mengutuk tindakan Rusia membuat kekacauan di Ukraina. Dan NATO sebagai aliansi keamanan juga merespon Serangan hybrid Rusia dengan mengerahkan pasukannya ke daerah-daerah yang dianggap rentan terhadap ancaman Perang Hibrida Rusia ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun