Mohon tunggu...
Rafael Kaisar Gultom
Rafael Kaisar Gultom Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester 7 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Saya adalah mahasiswa Semester 7 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Selama kuliah saya memiliki ketertarikan pada bidang ekonomi, perbatasan dan organisasi internasional. Disaat waktu luang saya suka memilih untuk bermain game khususnya CS2 (Counter Strike 2) dimana bermain game bisa dikatakan merupakan hobi saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Efektivitas ASEAN Way : Studi Kasus Konflik Vietnam-Kamboja (1987-1991) dan Konflik Laut Cina Selatan (2012-2023)

7 Desember 2024   19:48 Diperbarui: 8 Desember 2024   13:36 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.antaranews.com

Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) telah menjadi salah satu organisasi regional yang paling berpengaruh dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. 

Dalam menghadapi berbagai tantangan, ASEAN mengembangkan pendekatan unik yang dikenal sebagai ASEAN Way.

 Prinsip ini menekankan pada dialog informal, pencapaian konsensus, dan penghormatan terhadap kedaulatan serta non-intervensi di antara negara-negara anggota. 

Pendekatan ini telah lama dianggap sebagai pilar utama yang memungkinkan ASEAN memainkan peran sebagai penjaga stabilitas di tengah kompleksitas geopolitik Kawasan. 

Dalam perjalanan sejarahnya, ASEAN telah diuji oleh berbagai konflik regional yang membutuhkan peran aktifnya sebagai mediator.

Dua di antaranya yang menjadi sorotan adalah konflik Vietnam-Kamboja pada periode 1987 hingga 1991 dan sengketa Laut Cina Selatan yang memanas antara 2012 hingga 2023. 

Meskipun kedua kasus ini berbeda dalam konteks dan aktor yang terlibat, keduanya memberikan wawasan mendalam tentang efektivitas ASEAN Way dalam menangani konflik. 

Artikel ini berfokus pada analisis peran ASEAN Way dalam menangani kedua konflik tersebut. 

Konflik Vietnam-Kamboja menjadi salah satu contoh keberhasilan pendekatan ini, sementara sengketa Laut Cina Selatan menghadirkan tantangan yang lebih kompleks di era modern. 

Melalui artikel ini, diharapkan dapat dipahami sejauh mana pendekatan diplomasi khas ASEAN ini tetap relevan dan mampu menghadapi tantangan yang semakin dinamis.

Pendahuluan

Pada akhir 1980-an, kawasan Asia Tenggara dihadapkan pada konflik besar yang melibatkan Vietnam dan Kamboja. Konflik ini bermula dari intervensi militer Vietnam pada tahun 1978, yang bertujuan menggulingkan rezim Khmer Merah yang brutal di Kamboja. 

Meski tujuan tersebut dianggap sah oleh sebagian besar komunitas internasional, tindakan Vietnam ini juga memicu ketegangan geopolitik. 

Konflik ini melibatkan kekuatan besar seperti Uni Soviet yang mendukung Vietnam, dan Amerika Serikat bersama sekutunya yang mendukung negara-negara ASEAN dalam menentang intervensi tersebut. 

ASEAN, dengan pendekatan diplomasi kolektifnya, berperan penting dalam memediasi konflik ini. Pendekatan diplomasi ASEAN melalui ASEAN Way menekankan pentingnya dialog multilateral dan keterlibatan internasional. 

Melalui negosiasi yang panjang, ASEAN berhasil mendorong tercapainya Perjanjian Perdamaian Paris 1991, yang menjadi tonggak penting dalam menyelesaikan konflik Vietnam-Kamboja. 

Keberhasilan ini sering dianggap sebagai bukti efektivitas ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik regional yang kompleks. 

Berbeda dengan kasus Vietnam-Kamboja, sengketa Laut Cina Selatan membawa tantangan yang lebih besar bagi ASEAN. 

Sengketa ini melibatkan beberapa negara anggota ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, yang berselisih dengan Tiongkok mengenai klaim teritorial di kawasan strategis tersebut. 

Laut Cina Selatan bukan hanya wilayah yang kaya sumber daya alam, tetapi juga memiliki kepentingan strategis sebagai jalur perdagangan internasional. 

Sejak 2012, sengketa ini semakin memanas, terutama setelah Tiongkok meningkatkan aktivitas militernya dan membangun pulau buatan di wilayah yang disengketakan.

Sumber: www.kompas.com
Sumber: www.kompas.com

Meski ASEAN berupaya menggunakan prinsip ASEAN Way untuk memfasilitasi dialog damai, perbedaan kepentingan di antara negara-negara anggota dan ketergantungan ekonomi pada Tiongkok menjadi hambatan besar. 

Hingga saat ini, ASEAN belum mampu mencapai kesepakatan yang mengikat, seperti Code of Conduct (COC) yang telah lama diupayakan. 

Dua kasus ini mencerminkan dua sisi berbeda dari penerapan ASEAN Way. 

Konflik Vietnam-Kamboja menjadi simbol keberhasilan pendekatan ini di era Perang Dingin, sementara sengketa Laut Cina Selatan menunjukkan keterbatasan pendekatan tersebut di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks. 

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan ASEAN Way, serta relevansinya dalam menjaga stabilitas kawasan di era modern.

 Dengan pemaparan pendahuluan di atas terbentuk rumusan masalah atau pertanyaan besar dalam artikel ini yaitu “Seberapa efektif ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik regional di Asia Tenggara dengan studi kasus konflik vietnam-kamboja (1987-1991) dan konflik laut cina selatan (2012-2023) ?”. 

Terbentuknya rumusan masalah pada artikel yang penulis buat diperlukan landasan teori atau “alat” yang digunakan untuk studi kasus pembahasan efektivitas ASEAN Way yang dimiliki ASEAN. 

Landasan teori yang digunakan penulis untuk “membedah” pertanyaan besar artikel ini yaitu teori regionalisme yang dipelopori oleh Ernst Haans. 

Menurut Haans (1997) secara pengertian teori regionalisme adalah proses integrasi wilayah di mana negara-negara dalam suatu kawasan geografis bekerja sama untuk menciptakan struktur supranasional dengan tujuan mencapai kepentingan bersama. 

Haas menyebut pendekatan ini sebagai bagian dari teori neofungsionalisme, yang menekankan pentingnya kerja sama di sektor-sektor tertentu untuk memulai proses integrasi yang lebih luas. 

Dalam teori neofungsionalisme, Haas menyoroti konsep spillover effect sebagai mekanisme utama dalam regionalisme. 

Spillover effect terjadi ketika kerja sama di satu sektor memicu kerja sama di sektor lain, sehingga integrasi kawasan secara keseluruhan semakin mendalam. 

Proses ini tidak hanya terbatas pada ekonomi, tetapi juga dapat meluas ke bidang politik, sosial, dan keamanan. 

Pada studi kasus konflik vietnam – kamboja, sebagai organisasi yang baru berkembang, ASEAN menghadapi tantangan besar dalam merespons situasi ini. 

Namun, melalui prinsip ASEAN Way, ASEAN berhasil membentuk blok regional yang menentang intervensi Vietnam. 

ASEAN mendorong dialog multilateral yang melibatkan berbagai aktor internasional, termasuk PBB, untuk menyelesaikan konflik ini secara damai.

 Sedangkan di studi kasus konflik laut cina selatan, dalam sengketa Laut Cina Selatan, pendekatan ini menghadapi tantangan besar akibat perpecahan internal dan pengaruh eksternal.

Pembahasan

ASEAN, sebagai organisasi regional di Asia Tenggara, telah lama dikenal dengan pendekatan diplomasi khasnya yang dikenal sebagai ASEAN Way. 

Prinsip ini menonjolkan pendekatan yang mengutamakan dialog, konsensus, dan non-intervensi dalam menyelesaikan permasalahan di kawasan. 

Pendekatan ini lahir dari kebutuhan negara-negara Asia Tenggara untuk menjaga harmoni di tengah keragaman politik, budaya, dan ekonomi. 

Namun, meskipun ASEAN Way sering dipuji karena fleksibilitas dan inklusivitasnya, pendekatan ini kerap dikritik ketika menghadapi konflik yang membutuhkan respons cepat dan tegas. 

Untuk memahami sejauh mana ASEAN Way efektif dalam menangani isu kawasan, dua studi kasus utama dapat dianalisis antara lain konflik Vietnam-Kamboja pada tahun 1987 sampai dengan 1991, serta sengketa Laut Cina Selatan dari 2012 hingga 2023. 

memberikan gambaran konkret tentang kekuatan dan kelemahan ASEAN Way sebagai strategi diplomasi. Dalam konflik Vietnam-Kamboja, ASEAN Way menunjukkan keberhasilannya.

 Konflik ini bermula dari invasi Vietnam ke Kamboja pada akhir 1970-an untuk menggulingkan rezim Khmer Merah dan mendirikan pemerintahan boneka. 

Bagi ASEAN, tindakan Vietnam dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas kawasan dan potensi ekspansi pengaruh Uni Soviet di Asia Tenggara. 

Menghadapi situasi ini, ASEAN berhasil menggalang solidaritas regional dengan menyatukan suara negara-negara anggotanya untuk menentang tindakan Vietnam. 

Sumber: www.tribunnews.com
Sumber: www.tribunnews.com

Diplomasi ASEAN pada saat itu berjalan dengan memanfaatkan forum internasional seperti PBB untuk memberikan tekanan terhadap Vietnam. 

ASEAN juga menginisiasi dialog dengan pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah Vietnam dan kelompok-kelompok di Kamboja, untuk mencari solusi damai contohnya adanya Jakarta Informal Meeting 1 dan 2 dimana merupakan langkah nyata dalam usaha penyelesaian konflik yang berlangsung. 

Dalam proses ini, ASEAN melibatkan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan Tiongkok untuk mendukung posisi mereka.

 Upaya diplomatik ini akhirnya membuahkan hasil dengan ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Paris pada tahun 1991, yang mengakhiri konflik dan membuka jalan bagi pemulihan Kamboja. 

Kesuksesan ASEAN dalam konflik Vietnam-Kamboja menunjukkan efektivitas ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik intra-kawasan melalui dialog dan konsensus. 

Namun, pendekatan ini juga memperlihatkan kelemahannya, yakni proses yang lambat dan sering kali tidak cukup tegas dalam menghadapi situasi mendesak. 

Meski demikian, keberhasilan ini tetap menjadi bukti bahwa kerja sama regional yang fleksibel dapat menghasilkan solusi damai dalam konflik kompleks. 

Sumber: www.japan-forward.com
Sumber: www.japan-forward.com

Berbeda dengan kasus Vietnam-Kamboja, sengketa Laut Cina Selatan menghadirkan tantangan yang lebih rumit bagi ASEAN.

Sengketa ini melibatkan klaim teritorial oleh beberapa negara ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, yang berhadapan dengan klaim luas Tiongkok berdasarkan garis sembilan putus (nine-dash line). 

Kawasan ini memiliki nilai strategis yang sangat tinggi, baik dari segi sumber daya alam maupun jalur perdagangan internasional. Ketegangan meningkat ketika Tiongkok mulai membangun pulau-pulau buatan dan memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut. 

Dalam menghadapi sengketa ini, ASEAN tetap menggunakan pendekatan ASEAN Way.

Deklarasi Perilaku Pihak-Pihak di Laut Cina Selatan atau Declaration On Conduct Of Parties (DOC) yang ditandatangani pada tahun 2002 menjadi salah satu upaya awal ASEAN untuk mengelola ketegangan.

 Dokumen ini menegaskan komitmen semua pihak untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Namun, karena sifatnya yang tidak mengikat, DOC tidak mampu menghentikan aktivitas agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan. 

ASEAN juga mencoba merumuskan Kode Etik (Code of Conduct/COC) yang lebih mengikat sebagai langkah lanjutan dari DOC. Namun, proses negosiasi yang berlangsung bertahun-tahun belum menghasilkan kesepakatan yang konkret hingga kini. 

Salah satu hambatan terbesar adalah perbedaan kepentingan di antara negara-negara anggota ASEAN sendiri. 

Beberapa negara, seperti Kamboja dan Laos, cenderung mendukung Tiongkok karena hubungan ekonomi yang erat, sehingga menghambat upaya konsensus. 

Keterbatasan ASEAN Way dalam menangani sengketa Laut Cina Selatan semakin terlihat dengan dominasi Tiongkok di kawasan tersebut. Ketergantungan ekonomi negara-negara ASEAN pada Tiongkok melemahkan posisi negosiasi ASEAN secara kolektif. 

Selain itu, ketiadaan mekanisme pengikat yang kuat dalam dokumen seperti DOC membuat Tiongkok tetap bebas melanjutkan aktivitasnya tanpa konsekuensi berarti. 

Jika dibandingkan, kasus Vietnam-Kamboja menunjukkan keberhasilan ASEAN Way dalam mengatasi konflik intra-kawasan yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN. 

Keberhasilan ini sebagian besar disebabkan oleh solidaritas internal yang kuat di antara negara-negara anggota dan keberhasilan ASEAN dalam memanfaatkan dukungan internasional. 

Sebaliknya, sengketa Laut Cina Selatan memperlihatkan bahwa ASEAN Way memiliki keterbatasan dalam menangani konflik yang melibatkan kekuatan eksternal dengan pengaruh besar seperti Tiongkok. 

Namun, kedua kasus ini juga memberikan pelajaran penting bagi ASEAN. Untuk menghadapi tantangan di masa depan, ASEAN perlu memperkuat kohesi internalnya dan mengembangkan kerangka kerja yang lebih mengikat. 

Solidaritas di antara negara-negara anggota harus menjadi prioritas, terutama dalam menghadapi isu-isu yang melibatkan aktor eksternal. ASEAN juga perlu meningkatkan kapasitas diplomasi multilateralnya dengan lebih aktif melibatkan aktor-aktor internasional untuk mendukung posisi kawasan. 

Pendekatan ASEAN Way tetap relevan dalam menjaga stabilitas kawasan, tetapi perlu disesuaikan dengan tantangan yang semakin kompleks. 

Dengan belajar dari pengalaman di konflik Vietnam-Kamboja dan sengketa Laut Cina Selatan, ASEAN dapat terus memainkan peran penting dalam menciptakan kawasan yang damai, stabil, dan harmonis. 

Pendekatan ini harus berkembang untuk menjawab kebutuhan zaman, dengan tetap mempertahankan prinsip dialog dan konsensus sebagai inti dari diplomasi kawasan. 

Konflik Vietnam-Kamboja adalah contoh kasus yang menunjukkan keberhasilan ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik. Ketika Vietnam menginvasi Kamboja pada tahun 1979, menggulingkan rezim Khmer Merah, dan memasang pemerintahan yang didukung oleh Vietnam, ASEAN melihat situasi ini sebagai ancaman bagi stabilitas kawasan. 

Vietnam dianggap melanggar prinsip-prinsip kedaulatan negara, dan ASEAN sebagai organisasi regional meresponsnya dengan cara yang mengutamakan diplomasi. ASEAN, melalui ASEAN Way, berusaha untuk menyatukan negara-negara anggotanya dalam satu suara terhadap Vietnam, dengan mendesak Vietnam untuk mundur dari Kamboja dan mendorong solusi damai. 

Meskipun ada ketegangan dan perbedaan di antara anggota ASEAN terkait bagaimana seharusnya menghadapi Vietnam, pendekatan yang lebih bersifat dialog dan negosiasi memungkinkan ASEAN untuk mendorong proses diplomatik yang pada akhirnya berhasil membentuk solusi yang lebih luas dalam bentuk Perjanjian Perdamaian Paris 1991. 

Di sini, ASEAN Way terbukti efektif karena seluruh negara anggota ASEAN dapat bersatu dalam menghadapi masalah ini meskipun ada perbedaan pandangan politik di dalam kawasan. 

Konsensus dan dialog memungkinkan tercapainya solusi yang dapat diterima bersama. 

Dengan kata lain, dalam konteks ini, ASEAN Way berhasil menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara.

 Sementara itu, ASEAN Way menghadapi tantangan yang lebih besar dalam sengketa Laut Cina Selatan. 

Sengketa ini melibatkan klaim tumpang tindih antara beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, serta klaim yang lebih besar dari Tiongkok yang menguasai sebagian besar kawasan berdasarkan "garis sembilan putus" (nine-dash line). 

 Tiongkok yang merupakan kekuatan besar dengan pengaruh politik dan ekonomi yang kuat di kawasan ini memperburuk ketegangan dan seringkali tidak mengindahkan upaya diplomatik ASEAN. 

Upaya diplomatik ASEAN melalui berbagai forum, seperti Deklarasi Perilaku Pihak-pihak di Laut Cina Selatan (DOC) 2002 dan negosiasi mengenai Kode Etik (COC), menunjukkan keterbatasan ASEAN Way. 

Meskipun terdapat deklarasi dan kesepakatan yang dicapai dalam forum ini, seperti komitmen untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Laut Cina Selatan, Tiongkok tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur di pulau-pulau buatan dan meningkatkan kehadiran militernya. 

ASEAN kesulitan untuk mencapai konsensus yang tegas, karena perbedaan kepentingan antara negara-negara anggotanya, terutama terkait dengan ketergantungan ekonomi terhadap Tiongkok. 

Negara seperti Kamboja, yang memiliki hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Tiongkok, cenderung mendukung kebijakan Tiongkok, sementara negara-negara lain lebih menentang. 

Meskipun ASEAN tetap berusaha menyelesaikan sengketa ini melalui jalur diplomatik, prosesnya cenderung lambat dan sering kali tidak memadai untuk menghadapi agresi militer dan pembangunan yang dilakukan oleh Tiongkok di wilayah tersebut. 

Ini mengungkapkan keterbatasan ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan kekuatan besar dengan pengaruh dominan. 

Dalam konteks ini, ASEAN Way terbukti kurang efektif, terutama ketika konsensus sulit dicapai di antara negara-negara anggota, dan ketika pihak luar seperti Tiongkok tidak merasa terikat dengan prinsip-prinsip yang ada dalam diplomasi ASEAN.

Kesimpulan

Dengan mempertimbangkan kedua kasus ini, dapat disimpulkan bahwa ASEAN Way memiliki potensi untuk menjadi alat yang efektif dalam menyelesaikan konflik regional di Asia Tenggara, terutama dalam situasi di mana negara-negara anggota memiliki kesamaan kepentingan dan komitmen terhadap prinsip-prinsip solidaritas dan kedaulatan. 

Pendekatan yang berfokus pada konsensus dan dialog terbuka memungkinkan negara-negara anggota untuk berbicara dengan satu suara dan mencari solusi damai dalam kerangka yang dapat diterima oleh semua pihak. 

Namun, ASEAN Way juga menunjukkan keterbatasan dalam menghadapi situasi yang lebih kompleks, terutama ketika ada perbedaan kepentingan yang signifikan di antara negara-negara anggota, atau ketika negara luar dengan kekuatan dominan

Seperti Tiongkok, terlibat dalam sengketa. Di sinilah ASEAN Way cenderung tidak dapat memberikan tekanan yang cukup besar untuk menghentikan agresi atau perubahan status quo, seperti yang terjadi dalam kasus sengketa Laut Cina Selatan. 

Dengan demikian, ASEAN Way tetap relevan dan penting dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan Asia Tenggara, namun perlu ada peningkatan mekanisme dan koordinasi yang lebih baik di dalam ASEAN. 

Hal ini bisa termasuk peningkatan solidaritas internal, penguatan kapasitas diplomasi multilateral, dan memperkenalkan elemen-elemen yang lebih mengikat dalam diplomasi ASEAN agar lebih efektif dalam menangani konflik regional yang melibatkan aktor eksternal dengan pengaruh besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun