Meski ASEAN berupaya menggunakan prinsip ASEAN Way untuk memfasilitasi dialog damai, perbedaan kepentingan di antara negara-negara anggota dan ketergantungan ekonomi pada Tiongkok menjadi hambatan besar.
Hingga saat ini, ASEAN belum mampu mencapai kesepakatan yang mengikat, seperti Code of Conduct (COC) yang telah lama diupayakan.
Dua kasus ini mencerminkan dua sisi berbeda dari penerapan ASEAN Way.
Konflik Vietnam-Kamboja menjadi simbol keberhasilan pendekatan ini di era Perang Dingin, sementara sengketa Laut Cina Selatan menunjukkan keterbatasan pendekatan tersebut di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks.
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan ASEAN Way, serta relevansinya dalam menjaga stabilitas kawasan di era modern.
Dengan pemaparan pendahuluan di atas terbentuk rumusan masalah atau pertanyaan besar dalam artikel ini yaitu “Seberapa efektif ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik regional di Asia Tenggara dengan studi kasus konflik vietnam-kamboja (1987-1991) dan konflik laut cina selatan (2012-2023) ?”.
Terbentuknya rumusan masalah pada artikel yang penulis buat diperlukan landasan teori atau “alat” yang digunakan untuk studi kasus pembahasan efektivitas ASEAN Way yang dimiliki ASEAN.
Landasan teori yang digunakan penulis untuk “membedah” pertanyaan besar artikel ini yaitu teori regionalisme yang dipelopori oleh Ernst Haans.
Menurut Haans (1997) secara pengertian teori regionalisme adalah proses integrasi wilayah di mana negara-negara dalam suatu kawasan geografis bekerja sama untuk menciptakan struktur supranasional dengan tujuan mencapai kepentingan bersama.
Haas menyebut pendekatan ini sebagai bagian dari teori neofungsionalisme, yang menekankan pentingnya kerja sama di sektor-sektor tertentu untuk memulai proses integrasi yang lebih luas.