Aku bisa merasakan rintik hujan turun di bahuku, payung kecil ini tidak cukup menutupi aku dan Selia. Teman-teman ibu sudah mulai pergi, sekarang hanya ada aku dan Selia, juga pria aneh dengan mantel dan topi hitam.
"Ken, aku-"
"Tidak apa-apa Selia, aku tahu kamu sibuk."
"Kamu yakin tidak apa-apa? Aku bisa meminta temanku untuk mengurusmu jika kamu mau."
"Jangan, aku gak mau ngerepotin kamu terus."
"Oke jika itu maumu, pastikan kamu menjaga diri ya."
"Iya"
Kami pergi bersiap untuk kembali ke rumah. Namun pria itu masih berdiri disana, ia melihat ke arahku. Aku menoleh mencoba tidak menghiraukan.
Kami tiba di rumahku. Selia mengemas barang bawaannya bersiap untuk pergi, namun sepertinya dia masih ragu untuk meninggalkanku.
"Beneran nih kamu bisa sendiri?"
"Iya"
"Aku udah beli bahan makanan buat kamu sehari-hari, kalau kamu mau beli barang bisa bilang ke Mira aja ya."
"Oke"
"Yasudah aku pergi, pastikan kamu jaga dirimu baik-baik ya."
Selia bergegas membawa barangnya menaiki taksi yang sudah menunggunya. Sepertinya aku akan kesepian di rumah sendirian. Namun aku tidak bisa selalu merepotkan sepupuku, aku tahu dia punya pekerjaan penting yang tidak bisa diabaikan. Mungkin aku harus segera menyiapkan perlengkapan untuk kembali ke sekolah.
Aku kembali ke kamar dan mengganti bajuku lalu pergi tidur, meskipun ini masih jam empat namun aku merasa lelah sekali, mataku terasa berat. Aku berbaring di tempat tidurku dan dalam sekejap aku langsung tertidur pulas.
Aku melihat sekitarku, sepertinya kepalaku agak sakit. Aku keluar kamar, seperti ada yang tidak benar, entah kenapa aku merasa ingin mengecek kotak surat. Kami tidak pernah mendapatkan surat sejak entah kapan, maksudku, memang siapa yang memakai surat di zaman sekarang. Aku membuka pelan kotak surat tua itu, ada surat yang telipat rapi di dalamnya. Aku mengambilnya dan membaca di ruang tamu.
"Kepada Kenzy Axolotl,
Kenzy, aku tahu kamu sedang mengalami masa sulit dan ini mungkin mengejutkan bagimu, tapi aku ingin bertemu denganmu. Temui aku di alamat di bawah ini, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu.
Jonas Axolotl."
Aku terdiam, hal ini tentu saja terlalu mengejutkan untukku. Seakan kematian ibuku tidak cukup menjadi beban pikiran. Ayahku yang kukira tewas ketika membeli susu, kini mengirim surat kepadaku. Berbagai pertanyaan terus bermunculan di benakku, mengapa? Mengapa ia baru menghubungi sekarang? Mengapa saat ibu meninggal? Mengapa dia mau bertemu denganku? Apa yang ingin dia bicarakan? Aku sadar tidak ada gunanya menanyakan hal itu sekarang, aku harus menemuinya untuk menanyakannya langsung padanya. Aku bergegas pergi ke alamat yang sudah di berikan.
Aku tiba di lokasinya, ini sebuah mansion yang besar namun tampak tua, seperti tidak ada yang merawat. Aku masuk ke dalam, pintunya tidak terkunci. Di dalamnya sangat ramai, orang-orang berdesakan lewat, lebih seperti stasiun kereta api yang padat. Aku menerobos masuk, aku tidak benar-benar tahu kemana aku mengarah namun aku terdorong ke suatu lorong. Lorong tersebut sangat panjang, aku melihat sesosok pria di ujung lorong itu.
"Kenzy."
Aku merasa seperti aku mengenal pria itu, mungkin saja pria ini ayahku, namun aku tidak pernah mengenal ayahku jadi aku tidak bisa menyimpulkan.
"Apakah kau ayahku?"
"Mungkin saja, mungkin juga tidak. Kamu tidak pernah mengenal ayahmu jadi kamu tidak bisa begitu yakin. Kita hidup dengan ketidakpastian Kenzy."
"Tapi kenapa, kenapa ayah menghubungiku lagi setelah sekian lama? Kenapa sekarang?"
"Kenapa... Ya kenapa, pertanyaan yang bagus, kenapa kita ada disini? Apakah kita memilih untuk berada disini? Dengan kondisi seperti ini? Pernahkah kamu menanyakan hal itu kepada dirimu Kenzy?"
"Umm, sepertinya tidak."
"Aku akan menjawab pertanyaanmu yang kedua, mengapa sekarang? Kamu mungkin bertanya-tanya, namun saat ini adalah saat yang sangat penting bagimu. Ini mungkin akan mengubah pandanganmu terhadap kehidupan dan kematian."
"Apa maksudnya, itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku."
"Kamu akan mengerti nanti, sekarang kembali ke pertanyaan pertama, mengapa aku menghubungimu setelah sekian lama? Sejujurnya aku tidak tahu."
"Bagaimana bisa begitu, ayah tidak tahu atas perbuatan ayah sendiri?"
"Bukan aku yang melakukan ini semua Kenzy, tapi kamu."
"Apa maksudnya itu?"
"Kenzy, apa yang kamu tahu tentang kehidupan?"
"Kehidupan? Aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu, tentu saja aku tahu tentang kehidupan."
"Apa tujuan kita hidup? Apakah kita hanya sekedar produk dari probabilitas tak terbatas? Ataukah kita lebih dari itu? Kita hidup tanpa tujuan yang pasti dan hanya berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kehidupan kita, namun apakah artinya itu?"
"Apakah itu berarti hidup kita tidak berarti?"
"Tidak, bukan itu maksudku. Namun kita cenderung terperangkap dalam upaya mencari makna kehidupan, tidak jarang kita terpesona dalam prosesnya."
"Apakah kau punya jawabannya?"
"Lagi-lagi aku tidak tahu."
"Sepertinya aku mulai terbisa dengan hal ini."
"Apakah kita hanya budak dari takdir?"
"Kenapa begitu?"
"Kita tidak mendapat pilihan dalam hidup ini. Kita tidak pernah memilih dilahirkan dimana di keluarga seperti apa."
"Mungkin kau benar, namun apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya bisa melanjutkan hidup."
"Namun apa gunanya hidup tanpa tujuan?"
"Jika kita dilahirkan untuk hidup tanpa tujuan, mungkin kita bisa menemukan tujuan saat kita hidup."
"Itu ada hubungannya dengan pertanyaan yang ingin aku ajukan. Namun mari beralih ke topik selanjutnya. Apa yang terjadi setelahnya? Apa yang terjadi setelah kita mati?"
"Aku tidak tahu, kita tidak pernah punya kesempatan untuk mencari tahu."
"Tepat sekali, kita tidak pernah tahu kapan kita mati atau apa yang terjadi setelah kita mati. Dunia ini sungguh unik, ia memberikan segalanya pada kita namun merenggutnya kembali dalam sekejap mata."
"Pembicaraan tentang kematian ini sungguh membuatku merasa tidak nyaman."
"Ya, namun kita harus bisa hidup dengan fakta bahwa kita akan mengalaminya suatu hari nanti, itu adalah hal yang tak terhindarkan. Kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup, sama seperti kelahiran. Kematian mengajarkan kita tentang betapa berharganya kehidupan. Kematian hanyalah bagian kecil dari dongeng tak berujung yang berjalan tanpa arah yang pasti."
"Aku pikir ayah benar."
"Mari kita kembali lagi ke awal, sebelum segala peristiwa bermula. Sebelum kita lahir, sebelum adanya dunia, apa yang terjadi pada kita? Apa peranan kita? Apakah kita hanya pion yang muncul dari ketiaadaan?"
"Aku rasa aku tidak tahu."
"Itulah yang ingin aku tanyakan padamu, jika kamu diberi pilihan, sebelum kelahiranmu, sebelum semesta itu sendiri. Jika kamu diberi pilihan untuk hidup, hanya untuk waktu yang singkat dan kamu mengetahui bahwa suatu hari nanti semua itu akan direnggut darimu, akankah kamu mengambilnya?"
Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Aku begitu tenggelam dalam pemikiran tentang kehidupan dan kematian hingga tidak menyadari situasi di sekitarku. Tiba-tiba aku merasakan ada orang di belakangku, saat aku menoleh tempat ini menjadi sangat ramai, aku tidak bisa melihat ayahku lagi. Aku melihat pria itu lagi, pria yang sama yang ada di pemakaman ibu. Dia menatap ke arahku, tatapan itu seperti tatapan kepuasan atau lebih tepatnya kelegaan. Aku mendengar suara musim semi, rasanya tidak asing.
"Frühlingsstimmen" seruku.
Cahaya terang di pagi hari menyilaukan mataku. Bunyi alarm rasanya sangat mengganggu hingga aku buru-buru mematikannya. Aku keluar dari kamar hanya untuk mendapati kulkas yang kosong. Aku merasa ingin mencari kertas untuk menulis namun tidak menemukan satupun, aku rasa aku akan menulis di komputerku saja. Sepertinya aku tidak akan pergi ke sekolah hari ini, ada pertanyaan yang harus ku jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H