“Apa?”
“Sebelumnya, aku mau bertanya. Adakah orang lain pengisi hatimu? Jika sudah ada, lupakan semua yang akan aku katakana ketika aku selesai mengatakannya.”
Kata-katanya membuatku bingung. Kemudian aku menggeleng, sebagai isyarat tidak ada.
“Dea, lima tahun lalu ketika kamu mengatakan perasaanmu padaku sebenarnya disaat itu ada hal penting yang ingin kusampaikan juga. Aku juga mencintaimu. Aku juga memikirkanmu. Segala yang kau tulis tentang diriku kepadamu, itu wujud dari perasaanku padamu. Tapi, saat itu aku masih ingin fokus dengan masa depanku. Ku juga belum bisa memberikan apa-apa untukmu. Kini, kuberikan cintaku padamu. Maukah kamu menerimanya?”
Hatiku bergetar. Lidahku kelu. Mataku hanya bisa menatapnya. Tatapan kekagetan dan kebahagiaan. Akhirnya sebuah tenaga membuatku dapat mengatakannya.
“Tentu saja aku mau. Aku sudah menunggumu sejak lama. Kukira, hanya aku yang memiliki perasaan itu.”
Hari itu merupakan hari bahagia dalam hidupku. Cintaku yang lama tak kuketahui akankah datang. Kini, aku sudah berjalan bersamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H