Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen: Klara dan Voorijder

22 Agustus 2015   23:26 Diperbarui: 22 Agustus 2015   23:26 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Klara dan Voorijder
oleh: Radix WP

Klara mematut-matutkan diri di depan cermin lalu tersenyum. Gaun terusan sebatas setengah paha tampak pas di tubuhnya. Warna biru langit serasi dengan bando berbunga dengan warna yang sama.

Cukup layak untuk acara pernikahan kakak, pikirnya. Tak sia-sia pekan lalu keliling TP4, lalu pindah ke Ciworld, dan baru menemukan minidress tersebut. Bahkan Klara membayangkannya masih bisa dipakai lagi untuk acara hangout yang fancy bersama teman-teman.

"Klara!!" Tiba-tiba terdengar Mamih berseru dari lantai dasar. "Sudah ready, Dear?"

Klara keluar kamar lalu mendongak ke bawah. "Right away, Mih.." jawabnya.

Sesampai di bawah, Klara melihat Mamih sudah siap. Di belakangnya ada penata rias mengemasi kotaknya. Klara tak paham kenapa Mamih pakai jasa penata rias segala untuk acara pemberkatan siang ini. Toh, ia dan Mamih sudah booking penata rias untuk resepsi nanti malam.

Klara menoleh ke pintu depan. Di teras tampak Hans, pacarnya, duduk di kursi. Tiba-tiba Klara melihat ada suatu pemandangan di halaman rumah. Ia lalu menoleh ke Mamih.

"Mih.."

"Yes, Dear?"

"Kok jadi sih voorijder-nya.."

Mamih sadar Klara baru saja melihat dua polisi bermotor gede yang parkir di halaman. Ia bisa menebak ke mana arah pembicaraan berikutnya. "Ih, pasti Adek jadi sok-sial lagi.." ujarnya mencoba melucu.

Belakangan Mamih merasakan perubahan dalam diri puteri bungsunya ini. Tepatnya, sejak Klara mulai berkuliah di FISIP Unair. Ia ngotot masuk kampus negeri karena menganggap para dosen Ilmu Komunikasi terbaik ada di sana.

Tapi, Klara jadi ketularan gaya hidup bohemian kebanyakan mahasiswa di sana. Tempo hari ketika menyusuri jalanan kota, tiba-tiba Klara mengajak makan semanggi. Mamih juga suka semanggi, tapi ia kaget bahwa yang dimaksud Klara adalah ibu-ibu penjual semanggi yang berjalan kaki di trotoar.

"Kan di resto hotel kadang juga ada, Dear?" Mamih berusaha membujuk. Tapi, Klara bersikeras menepi. Rasa semanggi tersebut, harus diakuinya, lebih enak ketimbang di restoran. Cuma, janggal saja ada ibu-anak naik Fortuner lalu berhenti pinggir jalan untuk makan semanggi keliling.

Dan Mamih ingat bulan lalu Klara memasang wajah ditekuk di sebuah perjalanan. Ketika itu mereka sekeluarga diundang ke acara pernikahan puteri Haji Omar, klien besar suaminya di Jakarta. Mereka naik salah satu mobil yang dikawal oleh sedan polisi di depan rombongan.

Klara sudah kelihatan enggan ketika hendak masuk Elgrand tersebut. Di sepanjang perjalanan, setiap kali terdengar dari pengeras suara sedan si polisi menyuruh kendaraan lain minggir, raut Klara makin mengeras.

Untung perjalanannya tak terlalu lama. Untung juga tak ada penumpang lain yang berkomentar tentang enaknya dikawal tanpa kena macet. Bisa-bisa Klara akan melabrak, "Apa bagusnya sih bayar polisi untuk nyuruh kendaraan lain minggir?!"

Klara bukan lagi gadis kecil yang berbinar-binar diajak ke tempat-tempat mahal. Sungguh beda dengan si sulung, lulusan kampus bisnis swasta, yang hendak menikahi pemuda yang memboyong gelar MBA dari Amerika.

Kini, Klara mengkonfrontasi Mamih karena menyewa voorijder. Untuk resepsi nanti malam pun Klara tak setuju, apalagi hanya untuk ke gereja siang ini. Padahal bagi Mamih, sewa voorijder itu murah. Cuma sejuta tiap motor, plus uang terima kasih untuk polisi penunggangnya.

Tak ada pilihan bagi seorang ibu kecuali memasang senyum di depan puterinya yang ngambek. "Lho, kan harus, Dear. Sabtu kan jalanan Surabaya dipenuhi orang menuju mall."

"Nyusahin banyak orang di jalan, Mih.." Klara semakin manyun.

"Tidak tiap hari kok, Dear. Kamu tahu Papih tak pernah pakai voorijder, kecuali jika ada tamu penting dari luar.."

"Itu kan usul Mamih," tukas Klara.

"Demi menyenangkan klien, Dear.."

"Hari ini kan tidak ada klien. Mau menyenangkan siapa?"

"Kan hari istimewa untuk kakakmu."

"Lalu, apakah perlu bikin susah orang banyak?"

Mamih sadar puterinya yang satu ini sudah doyan berdebat bahkan sebelum kuliah Ilmu Komunikasi. Ia lalu mencoba mencari celah. "Jika punya uang, siapapun akan menyewa polisi lho, Dear.."

"Tidak juga, Mih.." Klara mementahkannya. "Belakangan kan para pejabat yang menyatakan tak mau pakai voorijder kan langsung dipuji orang banyak, termasuk oleh orang-orang kaya. Artinya, masyarakat anggap sewa voorijder itu kebiasaan buruk yang harus dihentikan."

Mamih menghela nafas. "Terus gimana, Dear? Masa para polisi itu disuruh pulang? Mereka kan disuruh komandannya, yang sudah dapat uang dari Mamih."

Klara mengangkat dagu. "Kalau Vellfire-nya pake voorijder, Klara akan berangkat bareng Hans."

"Lho, tidak bersama-sama? Si Pierre saja sampai sengaja tidak bawa Celica kesayangannya lho." Mamih menyebut nama laki-laki yang siang ini akan jadi menantunya.

"Tidak mau. Kita ketemu di gereja. Sampaikan kepada kakak dan Pierre."

"Nanti kamu terlambat sampai lho."

Klara melirik Swatch-nya. "Masih sempat datang sebelum pemberkatan mulai. Bahkan sempat untuk menyalami tamu-tamu."

Tanpa menunggu jawaban, Klara berbalik. Mamih hendak mencegah. Tapi, ia segera ingat betapa antipatinya Klara kepada voorijder. Bisa-bisa kali ini Klara melabrak polisinya.

Hans terkejut ditepuk dengan kata-kata, "Kita berangkat sendiri, Hans. Ayo.."

Hans melihat sekeliling berusaha mencerna situasi. Sejurus kemudian mengangguk. "Pakai mobilku?"

Klara berpikir sejenak. Jika ia memilih naik minisedan Fiesta transmisi manual miliknya, lalu dikemudikan sendiri, ia sanggup lebih gesit ketimbang Vellfire yang dikawal.

Tapi, ia sedang mengenakan stiletto, yang bakal mempersulit kelincahan kakinya di pedal. Karena itu, Klara memilih duduk di samping Hans yang mengemudikan Rush.

Klara melirik jok tengah mobil Hans tersebut. Banyak buku-buku kuliah seperti biasa. Hans juga suka menaruh ransel dan aneka perangkat pendakian di bagian belakang. Semua ada, kecuali parafin yang terlalu berbahaya untuk disimpan dalam mobil.

"Bertengkar lagi dengan Mamih?" tanya Hans.

"Kamu lihat kan motor-motor polisi di depan tadi?"

Hans mengangguk. "Aku sudah duga kamu bakal gondok melihatnya."

"Menurutmu gimana?"

"Pasti tidak setuju lah." Hans tergelak. "Tapi, Mamih kan belum jadi mertuaku. Mana bisa aku protes."

Klara menggembungkan pipi. Hans menyetel MP3 lagu-lagu Air Supply favorit Klara untuk menenangkan kekasihnya itu.

Sementara itu, Mamih ditanya suaminya ketika baru masuk Vellfire. "Lho, mana si Adek? Mana Hans?"

Mamih juga menggembungkan pipi, persis Klara. "Anakmu boikot, tak mau naik mobil yang dikawal. Dia sudah berangkat sendiri dengan Hans."

Papih tersenyum maklum. "Bertengkar dengan anak lagi ya, Mih.."

"Anakmu jadi semakin aneh lho, Pih. Terlalu mikir orang-orang lain."

"Bagus kan itu," jawab Papih. "Papih pernah diberi advis untuk perhatikan apa pendapat orang, yang ternyata menaikkan omzet perusahaan kita. Berbakat tuh si Adek.."

"Anakmu yang satu itu sih tak bakal mau masuk perusahaan kita," ujar Mamih. "Maunya jadi presenter acara TV yang keluar-masuk hutan itu."

"Itu juga bagus."

Mamih merasa kurang didukung suaminya. "Ih, Papih ini kok malah jadi ketularan anaknya.."

Di mobil lain, Klara mulai tenang setelah menyandar ke bahu Hans. Ia mengingat kembali pertemuan mereka yang pertama.

Hans seniornya selisih satu angkatan. Pemuda asal Manado ini sorot mata cerdasnya jauh lebih menonjol ketimbang ketampanan wajahnya. Ia adalah penentang kegiatan Opspek.

Tidak seperti para senior yang menggelar Opspek dengan tujuan caper ke para mahasiswi baru, sikap Hans justru membuatnya dikagumi oleh para juniornya. Padahal ia tak bermaksud demikian.

Klara harus bersaing dengan banyak rekannya untuk merebut hati kakak angkatan yang idealis dan tak berminat pacaran tersebut. Tapi, ia selalu berpegang nasehat Papih tentang determinasi. Kengototanlah yang membuat Hans luluh jadi kekasihnya.

Lamunan Klara terhenti mendengar sayup-sayup suara sirene polisi di kejauhan. "Jangan-jangan tersusul rombongan Mamih.."

Hans mengintip spion. "Sepertinya bukan."

Rush berada di jalur tengah. Jadi, tak harus minggir oleh rombongan dengan voorijder yang kemudian melaju di jalur kanan. Tapi, seperti biasa, kendaraan-kendaraan lain dipaksa minggir oleh polisi patwal yang bersikap bengis meladeni kliennya.

Ternyata memang bukan rombongan Mamih. Tak urung Klara merasa kesal lagi. "Tuh kan, voorijder selalu menyusahkan orang banyak. Padahal mereka kan pembayar pajak juga. Kenapa orang-orang sialan yang tak mau disiplin antre itu tak kunjung sadar?!"

"Memangnya Mamih tak pernah ketemu voorijder?" tanya Hans sambil tetap memandang ke depan.

Klara terdiam beberapa saat. "Iya ya.." gumamnya pelan.

Hans menoleh. "Eh? Ada apa?"

"Iya ya," kata Klara lagi dengan suara semakin keras. "Tingtong, anda benar, saudara Hans.."

Hans tersenyum. "Mamih pernah kena voorijder ya.."

"Yep, waktu dia nyetir sendiri Fortuner-nya. Tahu kan susahnya menepi dengan mobil sebesar itu. Aku ingat Mamih menggerutu sepanjang perjalanan."

"Akan kamu balas?"

"Iya dong," Klara mengepalkan tangan. "Hih, akan kuulangi setiap kata Mamih waktu itu, kalau perlu di depan para polisi patwalnya. Biar tahu rasa."

Hans tergelak. Matanya tetap mengarah ke depan, menyusuri jalanan Surabaya yang panas.

Soerabaia, Agustus 2015
Selamat ulang tahun negaraku.. Semoga jadi tempat yang semakin ramah bagi setiap orang..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun