“Hh… Hh.. Ayo, harus bisa…! Empat puluh tujuh... Empat puluh de... la... pan! Empat puluh sembi....lan! Li...ma puluh! Hh... Hh... Yes!” ucapku sambil peluh mengucur deras membasahi tubuhku.
Drrt… Drrt… Telepon seluler yang kuletakkan di dekatku terlihat bergetar. Aku mengabaikannya sambil meneruskan latihan, “Hh… Lima, enam…”
Drrt... Drrt...
”Lima belas, enam belas...,” lanjutku
Drrt... Drrt...
Dengan kesal, aku mengangkat panggilan itu, ”Ugh! Apaan sih!? Halo, u’d better have a very important news! Iya gue lagi sibuk. Udah, telpon aja setengah jam lagi!” Klik. Aku memutuskan sambungan telepon.
“Lo lagi sibuk nggak? Udah tahu gue lama ngangkat hp, ya berarti gue lagi sibuk dong! Capek deh! Sibuk ngapain? Ya urusan gue dong…! Hh… Dua puluh…, dua puluh satu… Hm, tapi kenapa suara Arum serius banget ya? Apa memang ada hal penting?” kataku kepada diri sendiri.
Kemudian, aku pun memutuskan untuk menghubungi Arum. “Halo Rum, ada apa?” tanyaku dengan nada sedikit tergesa.
Arum yang segera mengangkat panggilan dariku terdengar kaget menerima teleponku, “Oi, belum setengah jam nih. Lo yakin udah nggak sibuk?”
“Iya sori, tadi memang gue lagi in the middle of something. What’s up doc?” sambungku lagi.
“Lo kenapa sih Den, susah banget dihubungi? Lagi sibuk ngapain sih?” tanya Arum.
Aku menghela nafas sambil berkata, ”Ya elah, kirain gue ada apa... Lo nelepon gue cuma buat nanyain itu?”
“Yah, salah satunya… Habis, beberapa hari ini gue susah banget ngehubungi lo. Ada apa sih?” tanyanya lagi.
”Lagi ada proyek nih...” jawabku tenang.
”Wih mantep! Proyek apa nih? Bagi-bagi dong...” kata Arum antusias.
”Hm... kalo proyek yang ini bukan untuk dibagi-bagi, babe. Lo pasti nggak mau deh. Tenang, nanti kalau udah beres, pasti gue kasih tahu,” sahutku.
”Halah, sok misterius. Bilang aja lo nggak mau bagi-bagi rejeki...,” kata Arum, kali ini mulai terdengar kesal.
Aku tetap menanggapinya dengan tenang, ”Wets, bukannya gitu... Udah gue bilang, kalau proyek ini bukan untuk dibagi-bagi, karena nggak bakalan ada yang mau. Pokoknya, lo tenang aja, kalau sudah beres, lo akan jadi orang pertama yang tahu.”
”Yah, terserah lo deh! Eh... jangan ditutup dulu, kalau ada telepon, diangkat ya! Awas lo kalau ngilang lagi!” ancamnya.
”Gue usahain ya, kalau nggak sibuk, hehe...,” sahutku sekenanya.
”Belagu nggak sembuh-sembuh... Udah, terusin sana proyek lo!” kata Arum sambil mengakhiri pembicaraan.
Bagi-bagi proyek? Hahaha... Mana mungkin?! Lha wong aku sedang mengerjakan Proyek Pembakaran Lemak. Memangnya ada yang berminat menampung lemak-lemak yang menggelambir di tubuhku ini? Kalau ada, tentu sudah dari dahulu aku mendonasikannya.
Ya, aku memang sedang on the move – dalam arti yang sebenarnya. Aku sedang berusaha sebanyak mungkin bergerak. Caranya? Lari keliling kompleks, sit-up, lompat tali, mengangkat air dan berbagai olah raga lainnya yang tanpa mengeluarkan fulus alias dana.
Aku melakukan semua itu untuk menurunkan sekitar 10 kg bobot tubuhku dan meluruhkan lemak-lemak yang tidak kuinginkan dalam jangka waktu satu bulan. Ini memang bukan pekerjaan mudah, tetapi aku sudah membulatkan tekadku sejak hari itu. Hari di mana aku bertemu dengannya, suatu sosok yang menggambarkan kata "sempurna" di benakku. Sosok itu begitu nyaris tanpa cacat cela, sehingga aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Demi sosok itulah aku bertekad untuk melakukan make-over habis-habisan, tentu supaya aku bisa sepadan dengannya. Apa aku sudah gila? Ah, aku tak peduli, karena perasaan ini telah begitu kuat kurasakan.
Sosok itu memang luar biasa. Sebelumnya, aku pernah berkali-kali berniat menurunkan bobot tubuhku. Satu kali, niat itu muncul karena banyak pakaianku yang terasa menyesakkan kala dikenakan. Kali lain, tekadku muncul dengan tujuan terlihat cantik saat mengenakan kebaya wisuda. Aku pun pernah begitu berniat menurunkan bobot tubuh demi terlihat manglingi di depan seseorang yang kuharap bisa tersedak ludahnya sendiri saat melihatku.
Semua tekad itu luntur di tengah jalan, tak satu pun yang berhasil. Biasanya, semangatku hanya bertahan beberapa hari. Namun selanjutnya, aku pun berpikir ulang dan menyimpulkan niatanku itu tidak lebih penting dari hobiku: makan. Maka, aku pun mengurungkan niat dan tidak melanjutkan kerja keras.
Kali ini, niatku nampaknya bisa terwujud. Sampai hari kelima, aku masih konsisten berolah raga dan menjaga makanan. Nasi hanya kukonsumsi satu kali dalam sehari sejumlah dua sendok makan. Aku pun memperbanyak porsi sayur dan buah serta tidak mengkonsumsi lauk pauk yang digoreng.
Ibuku tentu heran. Karena biasanya, aku adalah pemakan goreng-gorengan dan semua makanan berlemak. Namun bagaimana pun, ia tampaknya senang dan percaya bahwa akhirnya aku bertobat dari "jalanku yang salah" selama ini.
Setiap kali niatku hampir pupus, aku teringat sosok nyaris sempurna itu dan membayangkan betapa indahnya bila aku bersatu dengannya. Bayangan itulah yang selama beberapa hari ini sanggup menjaga konsistensiku. Lagipula, usahaku tidak sia-sia. Beberapa pakaian yang dulunya menyiksa saat dikenakan, kini mulai terasa lebih nyaman.
Selain itu, aku pun tidur dengan lebih teratur dan bangun lebih pagi. Sebagai penulis lepas, aku nyaris tidak pernah bangun pagi. Dengan alibi mengejar deadline, aku sering tidur di atas tengah malam, sehingga bangun di kala matahari sudah tinggi. Namun belakangan ini, setiap jam 10 aku sudah mulai mengantuk dan segera tidur. Kemudian, esok pagi sekitar jam 4 aku sudah bangun, sehingga waktu untuk menulis terasa lebih panjang.
Drrt... Drrt...
”Yep,” jawabku saat mengangkat telepon dari Arum.
”Gilingan lo ye! Gue telepon sampai 10 kali baru lo angkat. Asli Den, proyek lo tuh apa sih? Bikin biografi calon presiden yang harus naik cetak sebelum pemilu apa?” cecar Arum.
”Wets Arum, tenang babe... Jangan marah-marah, nanti lo cepat tua. Nggak mau kan lo disangka bibi gue kalau kita jalan bareng?” balasku santai.
”Heh Den, gimana orang nggak marah kalau mau hubungi lo aja pakai perjuangan. Lo baik-baik aja, Den? Setahu gue, lo jadi aneh kalau lagi... Hm... bentar-bentar... Lo nggak lagi jatuh cinta kan?” tanyanya menebak.
Aku mulai menangkap gelagat kekuatiran dalam nada suara Arum, karena itu aku semakin bersemangat menjawab, ”Hm..., mungkin, hehehe...”
Mendengar jawabanku, Arum justru semakin gemas, ”Hehehe apa nih maksud lo? Wah, lagi kumat ya? Dena, Dena, jadi orang tuh ya mbok jangan selalu jadi ekstrimis gitu loh... Ekstrim jatuh cinta, ekstrim patah hati... Haduh...”
”Heh Rum, lo tuh ye! Jangan pesimis tentang gue gitu dong… Gue jamin, kali ini bakal happy ending, karena proyek kurus gue pasti berhasil. Ups!” jelasku terlalu jelas.
“What? Proyek kurus? Not anymore… Terakhir, lo niat ngurusin badan kan supaya si Michael rese yang bikin lo patah hati itu keselek ludahnya sendiri? Dena…!” teriak Arum.
“Rum, please deh jangan bawa-bawa Michael di sini. Dia tuh super basi buat gue! Gue udah punya sasaran lain yang worth to try. Karena tadi gue udah keceplosan, yah gue terpaksa bilang. Target proyek kurus gue kali ini adalah 10 kg dalam waktu satu bulan. Kalau sudah berhasil, seperti yang gue pernah bilang, lo adalah orang yang pertama tahu! Okeh, segitu aja keterangan dari gue. Sekarang, gue harus latihan lagi, sit-up 100 kali untuk keempat kalinya hari ini. Bye...,” jawabku sambil menyudahi pembicaraan.
Arum hanya bisa berteriak di ujung telepon, ”Dena..........a!!!”
Hari-hariku sempat diwarnai tangisan-bombay-norak, karena aku merasa dipermainkan Michael. Aku juga sempat menghabiskan berjam-jam dengan menghubungi Arum hanya untuk mencurahkan kekesalanku.
Karena itulah, aku sempat berikhtiar merombak habis penampilanku untuk memanas-manasi Michael.
Aku pikir, tanpa mengubah penampilan saja Michael sudah sering terlihat kegatelan di sekitarku. Nah, kalau aku tampil ekstrim memesona dan balik tebar pesona padanya, bisa-bisa Michael tersedak ludahnya sendiri – ini istilahku bagi dia untuk melukiskan betapa kesalnya aku waktu itu.
Namun demikian, niatku itu pupus setelah melewati hari ke-7 dan bobotku turun sekitar 3 kg. Aku berpikir bahwa Michael tidak layak menerima pengorbanan yang sedemikian. Maka, aku pun memilih untuk memasang wajah ”lempeng” setiap kali Michael tebar pesona.
Setelah pernikahan itu, aku membuang semua kenanganku tentang Michael. Namun kuakui, wajah ”lempeng” dan kesinisan yang tadinya merupakan senjata melawan Michael masih sering kukenakan saat berhadapan dengan cowok-cowok lain. Dengan kata lain, caraku menghadapi patah hati juga sedikit ekstrim, yaitu ekstrim cuek terhadap lawan jenis.
Semua itu semakin membuat gemas Arum. Si ceplas-ceplos itu sampai kehabisan kata-kata dalam menghadapi kelakuan ajaibku itu. Apalagi saat ini ia sudah menikah dan mempunyai satu orang anak perempuan yang sedang lucu-lucunya.
”Gimana Rania, Rum? Masih sering nangis kalau tengah malam?” tanyaku satu kali.
Ternyata, Arum menjawab pertanyaanku dengan sangat menyebalkan, ”Nggak, sekarang dia udah pinter. Nah, lo sendiri gimana, masih suka nangis kalau tengah malam? Katanya udah move on dari Michael, ya buka mata dong... Di majalah tempat kerja lo bukannya banyak brondong potensial?”
”Adoh, nggak usah ngomong gitu deh... Gue lebih kepengen bikin buku dan punya mobil Jaguar daripada punya cowok sekarang ini,” jawabku ogah-ogahan.
”Heh Den, inget lo, umur udah di atas 25. Bentar lagi 30 tauk!” sambung Arum lagi.
”Halah, masih juga 26... Santai Rum...,” jawaku sambil pura-pura menguap tanda bosan.
”Iya, 26 kan 4 bulan lagi, setelah itu lo 27...,” katanya ketus.
”Berisik lo!” jawabku dengan kesal.
Percakapan itu berlangsung sebulan lalu, sekarang tentu jawabanku sudah berbeda. Aku sudah menemukan tambatan hati yang baru. Sosok nyaris sempurna yang layak menerima pengorbanan kerasku. Demi dia, aku rela bersakit-sakit sit-up dan menahan nafsu makan yang biasanya buas.
Target waktu sebulan akan berakhir minggu depan. Setelah itu, aku berniat mendapatkannya. Karena telah terlanjur berjanji kepada Arum, aku pun berencana mengajaknya untuk menemui tambatan hatiku di hari bersejarah itu.
”Rum, kira-kira... Rania bisa dititipin ke nyokap lo nggak hari Sabtu depan?” kataku di awal pembicaraan.
”He? Ada apa memangnya?” tanya Arum dengan penasaran.
”Mm... Gini, kan lo pernah bilang kalau gue lagi jatuh cinta...” jelasku santai.
Arum segera memotong penjelasanku, ”Oh... lo mau ngenalin gue ke orang itu?”
“Bukan orang itu, tapi sosok itu…,” kataku mengoreksi.
Arum kembali memotong ucapanku, “Halah, iya… Sosok kek, orang kek, susah emang ngomong sama penulis. Bisa, bisa... Di rumah gue kebetulan lagi ada saudara dari kampung, emang khusus mau ketemu Rania. Dia pasti seneng banget kalau gue titipin Rania. Ya udah, jam berapa?”
”Lo bener-bener bisa? Jam enam di tempat biasa ya...,” jawabku.
”Sip... Sip... See you... Salam ya buat ”sosok” itu,” kata Arum antusias.
Seminggu kemudian, aku dan Arum bertemu di mal tempat kami biasa nongkrong. Aku mengenakan pakaian yang sedikit terbuka, blus tanpa lengan berwarna oranye berkancing di bagian depan. Sedangkan, Arum yang belum berusaha menurunkan berat badan paska kelahirannya terlihat standar ibu-muda-menyusui dengan kamisol pink dan sweater hitamnya.
Melihat penampilanku yang tidak biasa itu, Arum tak kuat berlama-lama menahan pertanyaan, ”Tumben, lo seksi gitu? Pastinya sosok itu canggih banget ya sampai lo tampil kaya gini.”
”Yah, gue pengen juga dong memamerkan kerja keras gue sebulan ini,” sahutku dengan nada centil.
”Yah... terserah lo deh, yang penting gue ketemu sama ”sosok” itu,” balasnya datar.
Kami pun berbincang ringan sambil berjalan menuju pertemuan akbar itu. Awalnya, Arum terlihat antusias, namun lama-kelamaan ia mulai terlihat bingung. Terutama, saat aku mengajaknya masuk ke sebuah bridal di mal itu.
”Den, emang lo udah dilamar? Kok kita langsung ke bagian baju pengantin?” tanya Arum dengan berbisik-bisik.
Aku tak menggubris pertanyaan itu dan justru berbicara pada pramuniaga, ”Mbak, saya mau nyoba baju yang waktu itu ya...”
Arum semakin terlihat bingung saat pramuniaga tersenyum sambil berkata, ”Wah, Mbak beda banget penampilannya. Terlihat lebih segar dan... kurusan ya, Mbak? Cocok dong sekarang... Baju yang halter neck kan, Mbak?”
Kali ini, giliranku yang mengangguk. Arum terlihat mengerutkan kening, namun ia masih belum bersuara.
Setelah aku mengepas baju yang diambilkan pramuniaga tadi sambil mematut-matut diri di depan kaca, barulah Arum bersuara.
”Den, kira-kira kapan ya lo kasih tahu apa arti semua ini? Apa nunggu sampai gue mati penasaran?” tanya Arum sambil berusaha mencubitiku.
”Oh iya, gue terhanyut nih... Hehehe... Arum, selamat bertemu dengan sosok nyaris sempurna yang gue ceritain selama ini. Isn’t she gorgeous?” kataku sambil sedikit mengangkat gaunku untuk memberi penghormatan pada Arum.
”What?! Sosok yang lo maksud itu gaun ini? Lo udah gila apa?” teriak Arum dengan mimik aneh.
Aku segera memberi tanda untuk menyuruhnya menutup mulut, ”Sst... Lo jangan histeris gitu dong... Malu didenger mbak yang tadi. Lha, salah sendiri... Kapan gue bilang kalau gue jatuh cinta sama cowok. Kan gue bilang gue jatuh cinta sama suatu sosok yang nyaris sempurna, ya maksudnya gaun ini... Coba deh lo liat, cantik banget kan... Karena nggak ada yang sempurna di dunia ini, makanya gue cuma bisa kasih nilai nyaris sempurna. Asli Rum, waktu pertama kali gue liat gaun ini, jantung gue berdetak kencang banget dan gue tahu bahwa we’re meant to be. Hanya aja, waktu itu kan badan gue sedikit melar dan ya.... belum ada uang untuk membelinya... Nah sekarang, gue berhasil terlihat lebih langsing, turun 10 kg dan punya cukup uang untuk membeli sosok ini. Funtastic, rite...,” cerocosku pada Arum.
Arum hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk dilontarkan padaku.
Karena setelah sekian detik ia belum juga bersuara, akhirnya aku kembali angkat bicara, ”Rum, my job, this gown and a dream to own a Jaguar are enough for me now. Whether you like it or not… Bayangan diri gue di depan cermin yang terlihat cantik dan bahagia dengan memakai gaun ini, makes me feel better, oke… I feel satisfy enough. Untuk hal-hal yang lainnya, hhh… not now please…”
Arum akhirnya menarik ujung bibirnya dan menyunggingkan segaris tipis senyum “lempeng”nya, menandakan bahwa ia mengerti maksudku. Lalu, ia beranjak dari kursinya dan memelukku.
”It takes two to tango, rite… Lo dan gaun itu cocok banget! I’m happy if you’re happy,” katanya pelan di telingaku.
Setelah selesai mengepas gaun, aku dan Arum beranjak ke kasir.
“Mbak, kalau saya bayar sekarang, bisa minta tolong nggak?” tanyaku pada petugas kasir.
”Minta tolong apa, mbak?” jawabnya ramah.
”Jadi gini mbak, saya nggak punya tempat penyimpanan gaun seperti ini... Nah, kalau gaunnya saya titip di sini dulu, bisa nggak? Mungkin pakai semacam tanda terima gitu?” kataku lagi.
Petugas kasir itu mulai terlihat bingung, namun ia berusaha untuk menjawab dengan ramah, ”Hm... saya
coba tanyakan dulu pada pemilik bridal ya, Mbak. Memang, pernikahannya kapan?
”Belum tahu,” jawabku enteng.
”Belum tahu?” ulang petugas itu.
”Iya, saya belum tahu kapan akan menikah. Lha wong calon mempelai prianya aja belum ada... Saya cuma suka aja sama gaun itu dan berharap akan mengenakannya di hari pernikahan saya yang entah kapan itu...,” jawabku lagi.
”Oh gitu...,” sahut petugas kasir itu dengan mimik aneh.
Saat aku melirik ke arah Arum, dia terlihat sangat berusaha untuk tidak tertawa. Namun, akhirnya dia pun tak tahan. ”Mbak, mending turutin aja deh... Teman saya ini emang agak... yah... Mbak ngerti kan maksud saya...,” katanya sambil memberi tanda silang di depan dahinya.
Si petugas kasir mengangguk cepat dan segera mengangkat telepon untuk menghubungi pemilik bridal. Tak lama, ia pun berkata bahwa pemilik bridal setuju, sehingga aku dapat menitipkan gaun itu di bridal ini.
Melihat itu, aku segera menyikut Arum, ”Babe, mission accomplished!” kataku padanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H