Demi sosok itulah aku bertekad untuk melakukan make-over habis-habisan, tentu supaya aku bisa sepadan dengannya. Apa aku sudah gila? Ah, aku tak peduli, karena perasaan ini telah begitu kuat kurasakan.
Sosok itu memang luar biasa. Sebelumnya, aku pernah berkali-kali berniat menurunkan bobot tubuhku. Satu kali, niat itu muncul karena banyak pakaianku yang terasa menyesakkan kala dikenakan. Kali lain, tekadku muncul dengan tujuan terlihat cantik saat mengenakan kebaya wisuda. Aku pun pernah begitu berniat menurunkan bobot tubuh demi terlihat manglingi di depan seseorang yang kuharap bisa tersedak ludahnya sendiri saat melihatku.
Semua tekad itu luntur di tengah jalan, tak satu pun yang berhasil. Biasanya, semangatku hanya bertahan beberapa hari. Namun selanjutnya, aku pun berpikir ulang dan menyimpulkan niatanku itu tidak lebih penting dari hobiku: makan. Maka, aku pun mengurungkan niat dan tidak melanjutkan kerja keras.
Kali ini, niatku nampaknya bisa terwujud. Sampai hari kelima, aku masih konsisten berolah raga dan menjaga makanan. Nasi hanya kukonsumsi satu kali dalam sehari sejumlah dua sendok makan. Aku pun memperbanyak porsi sayur dan buah serta tidak mengkonsumsi lauk pauk yang digoreng.
Ibuku tentu heran. Karena biasanya, aku adalah pemakan goreng-gorengan dan semua makanan berlemak. Namun bagaimana pun, ia tampaknya senang dan percaya bahwa akhirnya aku bertobat dari "jalanku yang salah" selama ini.
Setiap kali niatku hampir pupus, aku teringat sosok nyaris sempurna itu dan membayangkan betapa indahnya bila aku bersatu dengannya. Bayangan itulah yang selama beberapa hari ini sanggup menjaga konsistensiku. Lagipula, usahaku tidak sia-sia. Beberapa pakaian yang dulunya menyiksa saat dikenakan, kini mulai terasa lebih nyaman.
Selain itu, aku pun tidur dengan lebih teratur dan bangun lebih pagi. Sebagai penulis lepas, aku nyaris tidak pernah bangun pagi. Dengan alibi mengejar deadline, aku sering tidur di atas tengah malam, sehingga bangun di kala matahari sudah tinggi. Namun belakangan ini, setiap jam 10 aku sudah mulai mengantuk dan segera tidur. Kemudian, esok pagi sekitar jam 4 aku sudah bangun, sehingga waktu untuk menulis terasa lebih panjang.
Drrt... Drrt...
”Yep,” jawabku saat mengangkat telepon dari Arum.
”Gilingan lo ye! Gue telepon sampai 10 kali baru lo angkat. Asli Den, proyek lo tuh apa sih? Bikin biografi calon presiden yang harus naik cetak sebelum pemilu apa?” cecar Arum.
”Wets Arum, tenang babe... Jangan marah-marah, nanti lo cepat tua. Nggak mau kan lo disangka bibi gue kalau kita jalan bareng?” balasku santai.