”Mm... Gini, kan lo pernah bilang kalau gue lagi jatuh cinta...” jelasku santai.
Arum segera memotong penjelasanku, ”Oh... lo mau ngenalin gue ke orang itu?”
“Bukan orang itu, tapi sosok itu…,” kataku mengoreksi.
Arum kembali memotong ucapanku, “Halah, iya… Sosok kek, orang kek, susah emang ngomong sama penulis. Bisa, bisa... Di rumah gue kebetulan lagi ada saudara dari kampung, emang khusus mau ketemu Rania. Dia pasti seneng banget kalau gue titipin Rania. Ya udah, jam berapa?”
”Lo bener-bener bisa? Jam enam di tempat biasa ya...,” jawabku.
”Sip... Sip... See you... Salam ya buat ”sosok” itu,” kata Arum antusias.
Seminggu kemudian, aku dan Arum bertemu di mal tempat kami biasa nongkrong. Aku mengenakan pakaian yang sedikit terbuka, blus tanpa lengan berwarna oranye berkancing di bagian depan. Sedangkan, Arum yang belum berusaha menurunkan berat badan paska kelahirannya terlihat standar ibu-muda-menyusui dengan kamisol pink dan sweater hitamnya.
Melihat penampilanku yang tidak biasa itu, Arum tak kuat berlama-lama menahan pertanyaan, ”Tumben, lo seksi gitu? Pastinya sosok itu canggih banget ya sampai lo tampil kaya gini.”
”Yah, gue pengen juga dong memamerkan kerja keras gue sebulan ini,” sahutku dengan nada centil.
”Yah... terserah lo deh, yang penting gue ketemu sama ”sosok” itu,” balasnya datar.
Kami pun berbincang ringan sambil berjalan menuju pertemuan akbar itu. Awalnya, Arum terlihat antusias, namun lama-kelamaan ia mulai terlihat bingung. Terutama, saat aku mengajaknya masuk ke sebuah bridal di mal itu.