Mohon tunggu...
Rachmawati Ash
Rachmawati Ash Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis, dan pegiat literasi

Hobi menulis, membaca dan menonton film romance. Kegiatan mengajar di SMA, menulis novel, cerpen, artikel dan bahan ajar. Mengisi materi literasi ke sekolah-sekolah di Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kali Pamali

21 November 2024   04:54 Diperbarui: 21 November 2024   06:57 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B


Penulis: Rachmawati Ash

Burung-burung jalak berterbangan mengangkasa bagai awan hitam di atas kota. Bumi bagai neraka, matahari siang menerpa bagai sebuah dendam. Di sebuah lapangan yang luas, Marwan dan Mbah Tadam  membisu. Keduanya berjalan beriringan tanpa sepatah kata karena panasnya hari. Tenda-tenda pengungsian masih basah meski cuaca sangat menyengat. Ketika sampai di rumah tetangganya yang sedang berduka, Mbah Tadam menghentikan langkahnya dan mendongak memandang langit.

"Apa yang kamu lihat, Uwa?"

"Kawanan burung di sana itu. Aku heran di mana mereka akan hinggap? Aku merasa ada yang tidak beres setiap kali burung-burung itu datang di sekitar kita." Jawab Mbah Tadam masih melihat gerombolan burung yang berputar-putar di atas desanya.

Setelah itu semua orang memandang ke langit, memerhatikan burung-burung yang yang berputar-putar. Seorang petani yang pulang dari sawah dan seorang bocah cilik menuntun pengemis buta juga ikut melakukan hal yang sama.

Pengemis buta itu mengatakan sesuatu berulang-ulang, tetapi tidak ada yang mendengarkannya. Orang-orang kembali membersihkan rumah pasca banjir bandang. Risto duduk lunglai tak berdaya di ruang tamu, seluruh barang miliknya berantakan karena kebanjiran. Kemarin ia baru saja merayakan pesta unduh mantu putrinya. Tetapi saat ini pria itu sedang dihantam kesedihan yang begitu dalam. Putri dan menantunya hilang diseret banjir yang datang membabi buta. Semua kebahagiaannya sirna dalam sekejap mata.

"Assalamualaikum, Risto." Mbah Tadam masuk dan duduk di atas tikar, di antara perabotan pesta yang berantakan dan basah.

Risto tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Sementara Marwan masih berdiri di pintu,  ragu-ragu untuk masuk bersama pamannya. Ia tidak tega melihat perempuan-perempuan menangis di rumah itu. Tangis pilu karena kehilangan sepasang pengantin di saat yang sedang bahagia-bahagianya.

"Aku turut prihatin, Ris. Aku berdoa Mala anakmu dan Fahmi menantumu segera ditemukan dengan selamat." Ucap Mbah Tadam kepada Risto.

Risto menoleh, tangisnya pecah, pertahanannya jebol setelah ditahan-tahan selama sehari semalam. "Apa yang harus kulakukan, Mas? Anakku hilang, menantuku hilang. Tolong aku, Mas. Aku akan melakukan apapun untuk menemukan mereka berdua."

"Nasi sudah menjadi bubur. Kamu melanggar hukum leluhur kita." Ucap Mbah Tadam kepada Risto.

"Hanya karena aku tidak melepas sepasang ayam di kali pemali? Ini tidak masuk akal, Mas. Jangan mengada-ada."

"Ada beberapa hukum yang tidak tertulis, Ris. Perjanjian kita dengan leluhur yang sudah berjuang untuk kedamaian kita. Lagi pula itu hanya sepasang ayam, begitu murah untukmu "kan? Mengapa kamu tidak menurut saja pada aturan yang sudah mendarah daging di masyarakat kita?" Mbah Tadam memandang tajam kepada Risto.

Kemudian ia mengumpulkan orang-orang di dalam rumah. Ia menyampaikan niatnya untuk mengadakan lek-lekkan di rumah itu sampai sepasang mempelai itu ditemukan.

"kita akan mengadakan pengajian dan doa-doa untuk menyelamatkan pasangan pengantin yang hilang. Aku akan membaca mantra untuk berkomunikasi dengan alam ghaib. Kalian, tolong siapkan lidi lanang untuk mengusir makhluk jahat di sekitar kita. Selama lek-lekkan jangan ada yang tidur, ya. Kita sudah membuat leluhur kita bekerja keras karena kelalaian kita kemarin."

**

Di hadapan semua orang yang hadir di rumahnya, Mala berdiri dengan penuh kebingungan. Wajahnya merah dan berkeringat. Pakaian pengantin masih lengkap membungkus tubuhnya. Mala melangkah, memandang sekeliling, mulutnya gemetar seperti hendak menyampaikan sesuatu yang penting. Orang-orang memandang heran, tetapi tidak berani bertanya apa-apa kepada Mala yang tiba-tiba sudah kembali ke rumahnya dengan selamat.

"Seekor ular raksasa telah menyelamatku, Ayah. Kita harus berterima kasih kepadanya." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

"Apa maksudmu, Mala? Ayah tidak mengerti, Nak?"

Mala mulai mengoceh tidak jelas kepada semua orang yang datang di rumahnya. Tetapi Mbah Tadam dapat memahami ke mana arah pembicaraannya. Laki-laki sepuh itu menuntun Mala duduk di atas tikar, memberi isyarat kepada semua orang untuk mendengarkannya.

"Nyi Gede Rokidul mengutus siluman macan loreng dan kucing mandung untuk menangkapku dan Mas Fahmi. Kami akan dijadikan tumb4l karena tidak memberikan sesembahan kepadanya. Nyi Gede Rokidul sangat marah, ia menciptakan hujan lebat diiringi angin kencang dan petir. Mereka menyer3t kami berdua dengan banjir bandang itu." Mala tidak melanjutkan ceritanya, ia menangis, wajahnya penuh rasa takut.

Mbah Tadam melihat ke arah Risto, "Mereka mengambil tumb4l untuk menahan jembatan agar tidak ambruk. Nyi Gede Rokidul pasti menahan menantumu untuk itu. Bukankah kita semua tahu bahwa perjanjian Nyi Gede Rokidul dengan leluhur kita Kyai Jaka poleng? Ia akan membiarkan penduduk barat sungai dan timur sungai berdamai jika melepas sepasang ayam di jembatan? Jika tidak maka ia merasa dikhianati dan akan murka kepada kita."

"Apa hubungannya, Mas? Itu hanya mitos untuk menakut-nakuti kita. Tradisi yang tidak masuk akal." Risto menjawab dengan tegas sebagai orang masa kini.

"Dulu, kupikir itu hanya cerita karangan orang-orang saja, Ayah. Tetapi semalam ular raksasa berkepala manusia itu menyelamatkanku. Kyai Jaka poleng bertarung habis-habisan dengan buaya putih utusan Nyi Gede Rokidul untuk membawaku keluar dari laut selatan. Kemudian mengantarku ke istana di dalam  kali pemali. Menyerahkan keselamatanku kepada Lembudana dan Lembudini. Kedua ular berkepala kerbau itu sangat baik kepadaku, mereka mengantarku sampai ke rumah ini." Mala berbicara sambil celingukan mencari-cari sesuatu yang dianggapnya telah mengantarnya pulang. Kemudian ia tersenyum sendiri, seolah mengucapkan terima kasih kepada seseorang.

Mbah Tadam berdiri, "Percaya atau tidak tugas kita adalah menghormati warisan leluhur."

Mala kembali menangis. Orang-orang berbisik-bisik, menyalahkan Risto yang tidak mau melakukan ritual buang ayam di jembatan kali pemali seperti masyarakat lainnya yang mantu dengan penduduk seberang sungai. Semua orang menjadi kesal, karena kelalaian seseorang maka beberapa wilayah  terkena murka penguasa alam. Banjir bandang telah menyengsarakan mereka.

Cerita yang disampaikan secara turun temurun itu memang tidak pernah meleset. Semua pernah terjadi dan terus hidup dalam benak masyarakat luas.  Tidak hanya diceritakan dari mulut ke mulut, tetapi tertulis dalam buku pelajaran bahasa daerah dan buku sejarah di perpustakaan umum.

Kerajaan Galuh yang berada di Jawa Barat membentuk kerajaan kecil di Brebes, namanya Kerajaan Saung Galah. Pemimpinnya bernama Adi Mulya Permanadikusuma, seorang resi hindu yang senang bertapa. Ia memiliki istri bernama Naga Ningrum dan seorang selir bernama Dewi Pangrenyep. Prabu Permanadikusuma memutuskan untuk menjadi pertapa dan menyerahkan kerajaan kepada adiknya yang seorang patih. Ia adalah Raden Tamperan yang akhirnya diberi gelar Arya Pakebonan.

"Adikku, patih Galuh, aku ingin meninggal dunia dalam pertapaan, supaya keinginanku masuk surga tercapai."

"Bagaimana maksud paduka? Hamba kurang paham." Kata Arya Pakebonan.

"Aku akan bertapa di suatu tempat di mana kakiku melangkah dan badanku mengatakan berhenti. Tahta kerajaan kuserahkan kepadamu."

"Daulat, Tuanku." Jawab Arya Pakebonan.

Prabu Permanadikusuma berkata lagi, "Tetapi, adikku, dalam menggantikan tahta ada syaratnya. kamu tidak boleh menyentuh istriku Naga Ningrum dan selirku Dewi Pangrenyep."

"Daulat, Paduka. Hamba bersedia." Jawab Arya Pakebonan.

"Jika kamu melanggar syarat ini, maka kerajaan Galuh akan pecah menjadi dua dan keadaan kacau balau."

Kemudian setelah dilantik menjadi raja ke-7 Arya Pakebonan berubah pikiran. Ia merasa iri kepada kakaknya karena selalu disanjung dan dicintai oleh rakyatnya.  Permanadikusuma juga mendapat kesaktian dari seekor naga raksasa. Akhirnya Arya Pakebonan mulai berbuat licik. Ia memindahkan kerajaan Galuh ke Pamulihan di Brebes dan menikahi kedua istri kakaknya. Arya pakebonan mengundang Begawan Permanadikusuma ke kerajaan untuk menguji kemahirannya sebagai seorang pertapa yang suci dan sakti.

"Hai, Begawan sakti. Coba tebaklah apakah kedua isteriku mengandung atau tidak? Jika mengandung maka apakah jenis kelamin anakku nanti?"

Begawan Permanadikusuma menjawab, "Kedua istri paduka sedang mengandung tiga bulan, mereka akan melahirkan bayi laki-laki yang tampan dan rupawan. Kedua putra paduka akan memicu perang saudara dan menyebabkan penderitaan beberapa wilayah."

Mendengar jawaban  itu Arya Pakebonan marah dan memerintahkan anak buahnya membuka bokor yang diikat pada perut kedua istrinya. Ia merasa jebakkannya berhasil dan menuduh Begawan Permanadikusuma berbohong. Arya Pakebonan segera mengambil keris untuk membunuh kakaknya. Begawan Permanadikusma dengan senang hati menerima hunusan keris tersebut. Keinginannya meninggal dunia dalam keadaan suci terkabul. Setelah menerima tusukkan keris sakti, Begawan Permanadikusuma moksa, hilang tidak berbekas.

Beberapa waktu kemudian kedua istri Arya Pakebonan diketahui memang benar-benar mengandung  dan hampir melahirkan. Selirnya mulai iri karena Arya Pakebonan lebih dekat dengan Naga Ningrum. Kemudian Dewi Pangreyep membuat siasat busuk, yaitu mengganti bayi laki-laki permaisuri dengan seekor anak anjing. Bayinya dihanyutkan ke sungai dan ditemukan oleh Kaki dan Nini Kebon di desa Kendaga.

"Ni, aku menemukan kendaga emas berisi bayi di dalamnya. Kita punya anak, Ni." Kata Kaki Kebon kepada istrinya yang sangat mendambakan seorang anak.

Anak itu diberi nama Ciung Wanara. Ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan cerdas. Belajar ilmu beladiri dan kesaktian dari Kaki Kebon. Hobinya berburu dari hutan ke hutan.

"Ki, aku menemukan telur ayam di hutan." Kata Ciung Wanara kepada Kaki Kebon. Kemudian ia disuruh mengeramkan telur itu kepada Jaka Poleng di gunung Padang.

Ciung Wanara disambut baik oleh Jaka Poleng yang ternyata jelmaan Begawan Permanadikusuma yang telah moksa. Jaka Poleng mengatakan bahwa telur itu adalah keturunan Jago Abang Pernatas milik Prabu Arya Pakebonan.

"Ayam ini kelak akan mengantarkanmu kepada ayahmu, Nak. Kamu akan mengalahkannya dan menjadi raja yang arif bijaksana." Ucap Jaka Poleng kepada Ciung Wanara.

Telur yang dierami Jaka Poleng tumbuh begitu cepat, selalu menang dalam sabung ayam di mana pun. Prabu Arya Pakebonan segera menantang Ciung Wanara untuk mengalahkan ayamnya. Dalam sabung ayam tersebut ia kalah tetapi tidak terima. Ia perintahkan putranya yang bernama Arya Bangah untuk memenjarakan Ciung Wanara. Pengikut Ciung Wanara tidak terima, maka terjadilah perang antara Ciung Wanara dengan adiknya Arya Bangah. Masyarakat yang tidak bersalah banyak yang menjadi sasaran dan tew4s.

Seorang penasihat raja yang bernama Sri Demunawan memutuskan membagi kerajaan menjadi dua wilayah: barat dan timur yang dipisahkan oleh sebuah sungai. Sri Demunawan merajah sungai tersebut agar kedua belah pihak tidak saling mengganggu. Kemudian sungai itu diberi nama Kali Pemali yang artinya larangan.

"Barang siapa yang ingin berdamai, maka ia harus menghormati penghuninya. Selain itu tidak boleh membangun rumah menghadap ke timur dan ke barat."

Kehidupan masyarakat menjadi tenang, sampai masa pemerintahan Pangeran Puspanegara. Ia terkenal tidak mau tunduk kepada Mataram dan Belanda, oleh karena itu ia menjadi musuh Nyi Gede Rokidul yang ternyata isteri ghaib Raja Mataram. Nyi Gede Rokidul menguasai seluruh air termasuk kali pemali. Kemudian Pangeran Puspanegara memerintahkan kepada Jaka Poleng untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Brebes. Jaka Poleng yang merupakan jelmaan Begawan Permanadikusuma menerima titah dengan tulus dan penuh tanggung jawab.

**

Mbah Tadam merapal mantra di tepi sungai. Orang-orang memukulkan sapu lidi lanang ke pepohonan, tiba-tiba tubuh Fahmi muncul dari dasar sungai pemali. Menantu Risto terbujur kaku, dengan pakaian pengantin yang masih lengkap ia tidak lagi bernyawa.

Rachmawati Ash. Penyuka tulisan dan film romance.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun