Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Adakah "Taring" DPRD Rokan Hilir Buka Forum Pemakzulan Wakil Bupati?

10 Juli 2023   17:05 Diperbarui: 10 Juli 2023   17:15 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Penulis: Rachmad Oky Syaputra (Dosen HTN FH Unilak/Direktur LAPI HUTTARA)

Seketika sorotan publik tertuju kepada Wakil Bupati Rokan Hilir (2021-2024) yang notabene adalah pemimpin daerah dengan mengurusi masyarakat lebih kurang 640.000 jiwa, daerah Rokan Hilir akrab dijuluki sebagai daerah Seribu Kubah karena mengingat kearifan daerahnya yang sejalan dengan semangat religius keisalaman masyarakatnya.

Akhir-akhir ini Wakil Bupati Rokan Hilir (Wabup Rohil) mendapatkan surplus popularitas bukan karena prestasinya namun akibat kedapatan berduaan di kamar hotel bersama wanita yang bukan istrinya. Belakangan kita mengetahui bahwa wanita tersebut merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memgang jabatan Kepala Bidang di Dinas Pendapatan Daerah Rokan Hilir.

 Lebih dalam lagi, ternyata wanita tersebut telah memiliki suami yang sah dan sebaliknya Wakil Bupati juga telah memiliki istri yang sah. Mendengar peristiwa itu pada awalnya publik menaruh harapan itu hanyalah  berita “hoax” belaka.

Namun publik justru merasa yakin peristiwa itu benar adanya setelah Polda Riau melalui Dirkrimum Polda Riau Kombes Asep Darmawan dalam sebuah wawancara menerangkan kebenaran apa yang terjadi terkait Wabub Rohil yang kedapatan berduaan dikamar hotel bersama wanita lain yang bukan istrinya.

Mengingat Wabup Rohil adalah pemegang tampuk kekuasaan kedua di wilayahnya maka yang harus dipegang adalah otoritas jabatan publiknya sebagai Wakil Kepala Daerah dan tidak bisa lagi dipersamakan  dengan “urusan pribadi (privat)” pejabat tersebut.

Wajar adanya masyarakat menghakimi “aib” dari seorang pejabat tersebut karena tidak ada satupun masyarakat yang menginginkan jabatan Wakil Bupati diisi oleh orang yang melakukan perbuatan tercela.

Sebaliknya, Wabup Rohil juga dibenarkan untuk membela diri secara pribadi ataupun sebagai pejabat publik untuk membantah stigma negatif yang tertuju kepada dirinya, Wabup Rohil boleh saja berdalih dengan beribu-ribu pembelaan bahwa apa yang ada dalam pemberitaan adalah sebuah  kekeliruan.

Mengingat jabatan Wakil Bupati hidup dalam rumpun otoritas publik maka sangat  keliru peristiwa tersebut dibawa kedalam urusan personal sekalipun ada pembelaan dari pasangan sah masing-masing yang bertujuan menormalisasi keadaan.

Meskipun pula delik perzinaan dalam KUHP adalah delik aduan yang memungkinkan proses hukum baru dapat dijalankan apabila terdapat aduan resmi dari pasangan resmi masing-masing namun bukan berarti peristiwa itu dapat selesai dengan sendirinya.

Dalam aspek hukum ketatanegaraan tentunya memiliki cara pandang yang lain, bahwa Wakil Bupati adalah Jabatan publik yang diatur dengan instrumen Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (beserta perubahannya) maka segala tindakan publik maupun tindakan privat yang dilakukan Wabup tersebut telah diatur dengan seksama.

Apa yang menimpa atas”viralnya” Wabup Rohil adalah bentuk peristiwa etika dan moral bahkan bermuara pada perbuatan tercela, namun segala tuduhan itu harus dapat dibuktikan agar terlihat berimbang dan tidak menyudutkan Wakil Bupati tersebut.

Dengan demikian sudah selayaknya peristiwa itu harus dapat dibawa ke forum “Pemakzulan” yang diatur didalam Undang-Undang No.23 Tahun 2014,  tujuan Forum Pemakzulan tersebut bukan hanya dapat digunakan untuk memberhentikan Wabup Rohil di pertengahan masa jabatannya namun juga bisa berfungsi untuk membersihkan nama baik seseorang yang memangku jabatan publik.

Merujuk pada Undang-Undang No.23 Tahun 2014 pasal 78 ayat (1) bahwa Wakil Kepala Daerah (Wabup)  bisa berhenti karena 3 (tiga) alasan, yakni, pertama Meninggal Dunia, kedua Permintaan sendiri dan ketiga diberhentikan.

Jika menyangkut pada peristiwa apa yang terjadi, seandainya dengan kesadaran sendiri bahwa ada krisis moral yang menerpa Wabup Rohil, tentu keputusan mengundurkan diri menjadi jalan yang elegan sebagai bentuk pertanggung jawaban publik.

Lain soal apabila terdapat krisis moral namun Wabup Rokan Hilir tetap mempertahankan jabatannya, maka alasan “diberhentikan” dalam forum pemakzulan sangat mungkin dilaksanakan dengan syarat bahwa Pemakzulan haruslah dimulai dari inisiatif DPRD Rokan Hilir.

Syarat pemakzulan Wakil Kepala Daerah (Wakil Bupati) telah diatur berdasarkan pasal 78 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2014, bahwa Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan dengan alasan “Melakukan perbuatan tercela”, maksud dari perbuatan tercela  adalah suatu perbuatan yang melakukan judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya (penjelasan pasal 78 ayat (2) UU No.23 Tahun 2014).

Bentuk perbuatan tercela yang lebih mendekati dengan krisis moral adalah melakukan perzinahan,  namun jikapun sulit untuk dibuktikan maka sangat mungkin dianggap melanggar “kesusilaan lainnya”. Maka harus ada pembuktian apakah seorang Wakil Bupati yang tertangkap bersama wanita lain yang bukan pasangan sahnya dalam sebuah kamar hotel dapat dianggap memenuhi kriteria “perbuatan kesusilaan lainnya”?

Untuk itulah pentingnya forum pemakzulan Wabup Rokan Hilir yang berawal dari inisiatif anggota DPRD Rokan Hilir dengan tujuan untuk menuntaskan krisis kepercayaan publik dan krisis moral yang dihadapi Wabup tersebut, dibutuhkan daya kritis anggota DPRD Rokan Hilir untuk menentukan kemana arah jabatan Wakil Bupati tersebut.

Pertaruhan hukum dan pertaruhan politik sangat penting agar masyarakat Rokan Hilir tidak menjadi terbebani atas peristiwa moral yang dihadapi Wakil Bupatinya. Dengan kata lain Jabatan Wakil Bupati harus bersih dari orang yang memiliki profil atas perbuatan tercela.

Pemakzulan Wabup Rokan Hilir harus melihat dari  pendekatan kepentingan masyarakat yang resah atas peristiwa “viral” yang mengahmpiri Wakil Kepala Daerah mereka. Kepekaan anggota DPRD Rokan Hilir juga dipertaruhkan untuk menangkap momentum “keresahan publik” agar terdapat kejelasan kepastian hukum dan kepastian politik.

Kemana “Taring” DPRD Rokan Hilir?

DPRD Rohil semestinya menggunakan kewenangannya untuk menyikapi krisis moral yang sedang dihadapi Wabup Rohil,  Kewenangan DPRD Rohil tersebut dilakukan dalam bentuk pengajuan pendapat resmi yang diputus melalui paripurna dengan kehadiran minimal ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan pengambilan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

Jika forum pemakzulan DPRD tersebut telah terpenuhi dengan kesimpulan adanya unsur “Perbuatan Tercela” yang dilakukan Wabup Rohil maka DPRD Rohil mengirim pendapat resminya tersebut ke Mahkamah Agung (MA) untuk dibuktikan secara hukum.

Sapantasnya pula dalam proses pemakzulan itu dilakukan pemanggilan secara patut kepada Wabup Rohil untuk diberi kesempatan melakukan pembelaan dan membantah dalil-dalil pemakzulan terhadap dirinya dan itu dilakukan semata-mata  untuk terciptanya mekanisme yang berimbang atas tuduhan-tudahan yang tertuju kepadanya.

Atas keterangan yang diberikan oleh Wabup Rohil maka DPRD Rohil tetap punya kewenangan untuk menentukan sikap apakah kesimpulan yang dihasilkan memberhentikan atau tidak memberhentikan, tentu keputusan tersebut menunggu hasil dari putusan MA yang akan memeriksa pendapat dari DPRD Rohil tersebut.

 Yang menjadi soal apakah pemeriksaan yang dilakukan oleh MA atas tuduhan “perbuatan tercela” dimaksudkan untuk menentukan pembuktian seperti halnya pembuktian pidana? yang mana harus ada bukti petunjuk, saksi-saksi dan lainnya, jika demikian maka pertaruhannya ada di DPRD Rokan Hilir yang harus jeli mencari bukti-bukti yang valid atas peristiwa moral tersebut.

Disisi lain, sangat mungkin MA tidak mengukur pembuktian seperti halnya pembuktian pidana, MA bisa saja menakar nilai moralitas yang terjadi atas suatu peristiwa “perbuatan tercela” dengan melihat kenyataan persitiwa yang terjadi dan sejauh mana peristiwa tersebut berdampak atas krisis kepercayaan publik pada masyarakat Rokan Hilir.

Walaupun nantinya akan tersisa perdebatan bahwa apakah MA menilai dari sisi politik atau dari sisi hukum atas pembuktian “pemakzulan” Wakil Kepala Daerah.

Kemana Suara DPRD Rokan Hilir?

Tampak tak bertaring, tidak ada respon yang kredibel atas peristiwa moral yang terjadi yang disematkan kepad Wabup Rohil, seluruh mata rakyat Indonesia tertuju kepada peritiwa moral tersebut namun tidak sedikitpun ada forum resmi DPRD Rohil untuk mendiskusikan secara ilmiah atas peristiwa tersebut.

Sejatinya DPRD Rokan Hilir punya kewajiban Konstitusional berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 Pasal 161 huruf j dan huruf k yang menyatakan menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat serta memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen didaerahnya.

Semestinya anggota DPRD Rohil telah mampu menyimpulkan aspirasi masyarakat dengan pertanggungjawaban moral didaerah pilihannya tentunya ini terkait aspirasi yang berkaitan tentang pertanggungjawaban moral dari seorang Wakil Bupati Rokan Hilir. Dari sisi lainnya anggota DPRD Rohil juga diberikan hak untuk bertanya dan menyampaikan sebuah pendapat atas kejadian luar bisa yang berkaitan standar moral seorang Wakil Bupati.

Teramat sedih jika peristiwa moral yang menerpa Wabup Rohil hanya menjadi bahan gosip dan guyonan disetiap sudut “kedai kopi” atau memang kita memilih untuk bersikap sopan atas dugaan pelanggaran moral yang dilakukan oleh pejabat publik.

Aspek moralitas merupakan bagian yang sangat fundamental bagi pemimpin di Negeri ini, Namun saat ini krisis moralitas sedang melanda watak pemimpin dan gaya kepemimpinannya, Jika dikaitkan dengan era Desentralisasi yang ditandai dengan adanya pemilihan langsung Kepala dan Wakil Kepala Daerah justru dengan itu akan melahirkan “raja-raja kecil” yang lama kelamaan menjadi pongah dan jumawa.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemimpin Daerah) akan membawa keranjang moral dimanapun meraka berada, jikupun banyak program daerah yang belum terselesaikan maka pedoman terakhir yang ingin dilihat masyarakat adalah integritas dan moralitas.

Bahkan lebih keras lagi, jikapun kemiskinan belum terpulihkan pada suatu daerah maka tempat berpulang pemimpin daerah adalah integritas dan moralitas, karena disanalah terletak kewibawaan dan kharisma yang dapat dirasakan masyarakat yang tetap merasa terlindungi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun