Sejatinya DPRD Rokan Hilir punya kewajiban Konstitusional berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 Pasal 161 huruf j dan huruf k yang menyatakan menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat serta memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen didaerahnya.
Semestinya anggota DPRD Rohil telah mampu menyimpulkan aspirasi masyarakat dengan pertanggungjawaban moral didaerah pilihannya tentunya ini terkait aspirasi yang berkaitan tentang pertanggungjawaban moral dari seorang Wakil Bupati Rokan Hilir. Dari sisi lainnya anggota DPRD Rohil juga diberikan hak untuk bertanya dan menyampaikan sebuah pendapat atas kejadian luar bisa yang berkaitan standar moral seorang Wakil Bupati.
Teramat sedih jika peristiwa moral yang menerpa Wabup Rohil hanya menjadi bahan gosip dan guyonan disetiap sudut “kedai kopi” atau memang kita memilih untuk bersikap sopan atas dugaan pelanggaran moral yang dilakukan oleh pejabat publik.
Aspek moralitas merupakan bagian yang sangat fundamental bagi pemimpin di Negeri ini, Namun saat ini krisis moralitas sedang melanda watak pemimpin dan gaya kepemimpinannya, Jika dikaitkan dengan era Desentralisasi yang ditandai dengan adanya pemilihan langsung Kepala dan Wakil Kepala Daerah justru dengan itu akan melahirkan “raja-raja kecil” yang lama kelamaan menjadi pongah dan jumawa.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemimpin Daerah) akan membawa keranjang moral dimanapun meraka berada, jikupun banyak program daerah yang belum terselesaikan maka pedoman terakhir yang ingin dilihat masyarakat adalah integritas dan moralitas.
Bahkan lebih keras lagi, jikapun kemiskinan belum terpulihkan pada suatu daerah maka tempat berpulang pemimpin daerah adalah integritas dan moralitas, karena disanalah terletak kewibawaan dan kharisma yang dapat dirasakan masyarakat yang tetap merasa terlindungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H