Pemakzulan Wabup Rokan Hilir harus melihat dari pendekatan kepentingan masyarakat yang resah atas peristiwa “viral” yang mengahmpiri Wakil Kepala Daerah mereka. Kepekaan anggota DPRD Rokan Hilir juga dipertaruhkan untuk menangkap momentum “keresahan publik” agar terdapat kejelasan kepastian hukum dan kepastian politik.
Kemana “Taring” DPRD Rokan Hilir?
DPRD Rohil semestinya menggunakan kewenangannya untuk menyikapi krisis moral yang sedang dihadapi Wabup Rohil, Kewenangan DPRD Rohil tersebut dilakukan dalam bentuk pengajuan pendapat resmi yang diputus melalui paripurna dengan kehadiran minimal ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan pengambilan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
Jika forum pemakzulan DPRD tersebut telah terpenuhi dengan kesimpulan adanya unsur “Perbuatan Tercela” yang dilakukan Wabup Rohil maka DPRD Rohil mengirim pendapat resminya tersebut ke Mahkamah Agung (MA) untuk dibuktikan secara hukum.
Sapantasnya pula dalam proses pemakzulan itu dilakukan pemanggilan secara patut kepada Wabup Rohil untuk diberi kesempatan melakukan pembelaan dan membantah dalil-dalil pemakzulan terhadap dirinya dan itu dilakukan semata-mata untuk terciptanya mekanisme yang berimbang atas tuduhan-tudahan yang tertuju kepadanya.
Atas keterangan yang diberikan oleh Wabup Rohil maka DPRD Rohil tetap punya kewenangan untuk menentukan sikap apakah kesimpulan yang dihasilkan memberhentikan atau tidak memberhentikan, tentu keputusan tersebut menunggu hasil dari putusan MA yang akan memeriksa pendapat dari DPRD Rohil tersebut.
Yang menjadi soal apakah pemeriksaan yang dilakukan oleh MA atas tuduhan “perbuatan tercela” dimaksudkan untuk menentukan pembuktian seperti halnya pembuktian pidana? yang mana harus ada bukti petunjuk, saksi-saksi dan lainnya, jika demikian maka pertaruhannya ada di DPRD Rokan Hilir yang harus jeli mencari bukti-bukti yang valid atas peristiwa moral tersebut.
Disisi lain, sangat mungkin MA tidak mengukur pembuktian seperti halnya pembuktian pidana, MA bisa saja menakar nilai moralitas yang terjadi atas suatu peristiwa “perbuatan tercela” dengan melihat kenyataan persitiwa yang terjadi dan sejauh mana peristiwa tersebut berdampak atas krisis kepercayaan publik pada masyarakat Rokan Hilir.
Walaupun nantinya akan tersisa perdebatan bahwa apakah MA menilai dari sisi politik atau dari sisi hukum atas pembuktian “pemakzulan” Wakil Kepala Daerah.
Kemana Suara DPRD Rokan Hilir?
Tampak tak bertaring, tidak ada respon yang kredibel atas peristiwa moral yang terjadi yang disematkan kepad Wabup Rohil, seluruh mata rakyat Indonesia tertuju kepada peritiwa moral tersebut namun tidak sedikitpun ada forum resmi DPRD Rohil untuk mendiskusikan secara ilmiah atas peristiwa tersebut.