Mohon tunggu...
Rabitul umam
Rabitul umam Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mencari Soekarno Muda di Zaman “Wani Piro”

16 September 2016   01:32 Diperbarui: 16 September 2016   07:55 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ir. Soekarno. Tribunnews.com

Bung Karno pernah berkata, “Beri aku seribu orang tua, maka akan aku cabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia”. Perkataan Soekarno yang populer itu dirasa kurang tepat bila diucapkan pada zaman sekarang. 

Sebab, sepuluh pemuda saat ini jika diajak untuk berjuang, terlebih dahulu mereka akan bertanya “saya dapat apa bila ikut berjuang?” atau dengan bahasa yang lain, “wani piro?”. Idealisme perjuangan politik pemuda zaman sekarang memang sedang mengalami degradasi. 

Di samping dikarenakan perangkap kapitalisme yang berbentuk hedonisme telah berhasil mengalihkan perhatian mayoritas pemuda dari isu-isu politik yang krusial, para pemuda juga dikepung oleh senjata uang dan “bius” intelejen yang dapat meracuni nalar kritis dan idealisme para pemuda.

Pemuda saat ini sedang mengalami yang namanya hedonisme materialisme sebagai prodak dari modified capitalism (modifikasi kapitalisme). Kapitalisme memang mempunyai seribu satu cara agar tetap dapat berkuasa di dunia. Pada zaman sekarang, kebanggaan di kalangan pemuda bukan lagi bertumpu pada ketajaman intelektual, kekayaan gagasan, dan kesucian idealisme. 

Rivalitas motor sport, iPhone (Apple), dan mobil baru adalah medan adu gengsi di kalangan kaula muda. Ber-selfie di tempat tongkrongan yang dianggap berkelas seperti Starbucks, Mall, dan hotel yang kemudian diupload di media sosial telah menjadi budaya yang lebih dipilih oleh generasi muda daripada nongkrong untuk diskusi filsafat, sejarah, politik, atau ekonomi di emperan kampus atau di warung kopi kaki lima.

Bila kita flashback sedikit sejarah Indonesia, maka kita akan menyadari bahwa pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia selalu dipelopori oleh para pemuda. Seperti, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, Semaun, Marco Kartodikromo, Alimin, Tan Malaka, Soekarno, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Menariknya lagi, para pemuda pejuang kemerdekaan itu rata-rata berasal dari keluarga Priyayi atau Pangreh Praja (Pegewai Hindia Belanda), di mana mereka sangat berpeluang untuk hidup nyaman dan penuh hura-hura tanpa resiko disakiti atau dihukum oleh pemerintahan kolonial Belanda. 

Namun nyatanya, mereka (justru) memilih jalan yang terjal dan penuh duri, melebur bersama penderitaan rakyat, berjuang demi kemerdekaan rakyat Indonesia yang tak mereka kenal satu-persatu namanya. Bayaran yang mereka terima jelas, dinginnya penjara, pembuangan, penyiksaan, bahkan pembunuhan.

Soekarno misalnya, sudah sejak muda ia aktif di organisasi dan menulis. Soekarno aktif di Jong Java (Pemuda Jawa) dan Serikat Islam saat ia menempuh pendidikan di Hogere Burger School (setingkat SMA) Surabaya, dan ia aktif menulis di harian Oetoesan Hindia. 

Ini menunjukkan bahwa Soekarno sangatlah produktif. Kemudian saat kuliah di Technische Hooge School (sekarang ITB) Bandung, ia sering mengikuti berbagai diskusi yang diselenggarakan di rumah Cipto Mangunkusumo. 

Di sanalah ia banyak mengenal tokoh pergerakan yang lebih senior dan radikal, seperti Ki Hadjar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, J.E Stokvis (tokoh social democrat yang pro Indonesia), D.M.G. Koch (wartawan Indische Sociaal Democratische), dan banyak tokoh lainnya. Konon, dari Koch inilah Soekarno sering meminjam buku-buku Marxisme dan sosialisme. 

Setelah beberapa waktu mengikuti diskusi di rumah Cipto Mangunkusumo, Soekarno kemudian mendirikan kelompok diskusi sendiri yang bernama Algemeene Studie Club (1926). Setahun kemudian kelompok diskusi ini berubah nama menjadi Perserikatan Nasional Indonesia, dan akhrinya melahirkan Partai Nasional Indonesia.

Perlu diketahui bahwa pada saat Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) baru berusia 26 tahun. Usia yang sangat belia untuk seorang pemimpin partai. Sejak aktifitasnya di PNI, sejarah Soekarno adalah sejarah penderitaan, karena sejak tahun 1929 sampai 1942 Soekarno mengalami banyak siksaan, penjara, dan pengasingan oleh pihak kolonial Belanda. 

Sebenarnya, Soekarno bukan tidak bisa untuk hidup normal, sejahtera, bebas dari tekanan hukuman Belanda, karena setelah lulus kuliah dari Technische Hooge School ia ditawari oleh dosennnya, Profesor Wolff Schoemaker, bekerja di Departemen Pekerjaan Umum (pemerintahan Belanda), namun ia menolaknya dan memilih mengabdikan diri berjuang bersama rakyat dan hanya menjadi guru matematika di sekolah Kesatrian Institute, milik Ernest Douwes Dekker, seniornya.

Selain aktif dalam pergerakan nasional, Soekarno juga seorang yang cukup produktif dalam karya tulis. Bahkan tidak sedikit dari tulisan-tulisannya yang membuat kesal lawan politiknya, baik pihak Belanda ataupun kelompok pergerakan lain yang dianggap kurang radikal dan revolusioner. Di dalam buku yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi I” memuat tidak kurang dari 63 artikel Soekarno yang diambil dari berbagai macam media massa saat itu. 

Menariknya, Soekarno tidak hanya menulis tentang propaganda politik saja, namun juga isu ke-Islam-an yang dianggap perlu diperbaharui juga tak luput dari tulisannya yang tajam. Seperti tulisannya yang berjudul“Surat-surat Islam dari Endeh”, “Islam Sontoloyo”, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”.

Soekarno pernah difatwakan “halal darahnya” oleh petinggi senior organisasi Muhammadiyah karena dianggap menyebarkan syu’ubiyah (fanatisme) yang dianggap haram oleh agama, sebagaimana tertuang dalam tulisannya yang berjudul “Me-muda-kan Pengertian Islam”. Soekarno juga sering menerima kritikan pedas dari lawan politiknya bahkan mengarah kepada pembunuhan karakter (character assassination).

Serangan pedas itu disampaikan oleh golongan yang menyebut dirinya “nasionalis konstruktif”, mereka mencela Soekarno dan kawan-kawannya dengan mengatakan, ”Jangan banyak bicara, bekerjalah!”, cercaan itu mencaci Soekarno dan kawan-kawannya yang dianggap sering melakukan propaganda politik dan mengesampingkan kerja-kerja profesional yang menadatangkan hasil materil untuk mereka nikmati secara pribadi dan keluarga. 

Mendengar serangan ini, Soekarno kemudian menjawabnya dengan keras sebagaimana yang termuat di media massa Fikiran Rakyat (1933) dengan judul,“Sekali Lagi: Bukan JANGAN BANYAK BICARA, BEKERJALAH!, tetapi BANYAK BICARA, BANYAK BEKERJA!”. Dalam tulisannya Soekarno mengatakan,

“…Katanya kita terlalu bayak gembar-gembor di atas podium, telalu banyak berteriak di dalam surat kabar, tetapi kurang kerja (yang) konstruktif mendirikan ini dan itu. Ini dan itu, yaitu badan koperasi, badan penolong anak yatim, dan lain lain, maka saya di dalam S.I.M (Suluh Indonesia Muda) ada menulis: TIDAK! Dengan suatu masyarakat yang Sembilan puluh lima persen terdiri dari kaum yang segala-galanya kecil itu, dengan suatu masyarakat yang Sembilan puluh lima persen terdiri dari kaum Marhaen itu, dengan (kondisi) masyarakat yang terutama sekali dicengkram oleh imperialisme bahan mentah dan imperialisme penanaman modal itu,”

Menurut pandangan Soekarno, dalam masyarakat yang mayoritas mengalami kemiskinan serta berada di bawah tekanan penjajahan (imperialisme) dimana sektor bahan mentah telah dimonopoli asing dan suburnya investasi modal asing sehingga semakin menjauhkan rakyat dari pencapaian untuk hidup makmur, sejahtera dan mandiri, maka yang diperlukan bukanlah kerja-kerja yang konstruktif dengan semisal mendirikan koperasi usaha kecil menengah atau memperbanyak panti asuhan buat menampung anak yatim. 

Karena kerja konstruktif yang demikian menurut Soekarno hanyalah bersifat sementara (tambal) dan tidak akan benar-benar memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia secara jangka panjang. Sebagaimana tertuang dalam terusan tulisannya:

“…. Dengan masyarakat dan imperialism yang demikian itu, maka titik beratnya, pusatnya kita punya aksi haruslah terletak di dalam politik “bewustmakirig” dan politik akasi, yakni di dalam menggunakan keinsyafan politik daripada rakyat. … Dengan masyarakat dan imperialism yang demikian itu kita tidak boleh menenggelamkan keinsyafan (kesadaran rakyat) dan kegiatan politik itu di dalam aksi yang “konstruktif” mendirikan warung ini dan mendirikan warung itu, aksi “konstruktif” yang kahirnya hanya mempunyai harga “penambal” belaka.”

Soekarno menganggap propaganda golongan yang mengaku sebagai “nasionalis konstruktif” itu tak ubahnya jampi-jampi, mantra-mantra, yang membuat lemah kaum pergerakan Indonesia. Soekarno juga mengkritik sempitnya pemikiran golongan “nasionalis konstruktif” itu yang hanya menafsirkan bahwa kerja yang konstruktif hanya pekerjaan yang membuahkan hasil materil saja, yang bisa dilihat keberadaannya saja. 

Padahal kata Bung Karno, pekerjaan yang konstruktif itu tidak hanya yang bersifat materil namun juga yang bersifat non materil. Seperti kerja-kerja politik dengan memberikan kesadaran politik masyarakat, membangun semangat juang masyarakat, mendirikan harapan masyarakat, dan bahkan menumbuh suburkan ideologi nasionalisme kebangsaan kepada masyarakat. Soekarno berkata:

“O, perkataan jampi-jampi, o, perkataan peneluh, o, perkataan mantra “konstruktif” dan “destruktif”! Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia kini seolah-olah (ter)kena dayanya mantra itu, sebagian besar daripada pergerakan Indonesia seolah-olah (ter)kena gendhamnya mantra itu! Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia mengira, bahwa orang adalah (tergolong) “konstruktif’ hanya kalau orang mengadakan barang-barang yang boleh diraba saja, yakni hanya kalau orang mendirikan warung, mendirikan koperasi, mendirikan bank-bank (koperasi kecil) dan lain-lain sebagainya, pendek kata hanya kalau orang banyak mendirikan badan-badan social saja! Sedangkan kaum propagandis yang sehari-hari “cuma bicara saja” di atas podium atau di dalam surat-kabar, yang barangkali sangat (membantu) sekali menggugah keinsyafan politik daripada Rakyat-Jelata, dengan tiada ampun lagi dikasihnya cap “destruktif” alias orang yang “merusak” dan “tidak mendirikan suatu apa-apa!”

Dengan keras Soekarno menjawab:

“Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa semboyan ‘jangan banyak bicara, bekerjalah!” harus diartikan di dalam arti yang luas. Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa ‘bekerja’ itu tidak hanya berarti mendirikan barang-barang yang boleh dilihat dan diraba saja, yakni barang-barang yang tastbaar dan materiil. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan ‘mendirikan’ itu juga boleh dipakai untuk barang yang abstrak, yakni yang juga bisa berarti mendirikan semangat, mendirikan keinsyafan (kesadaran), mendirikan harapan, mendirikan ideologi atau gedung kejiwaan yang atau artileri kejiwaan yang menurut sejarah-dunia akhirnya adalah artileri yang satu-satunya yang bisa menggugurkan sesuatu stelsel.”

Dari sini dapat kita ketahui bersama bahwa penggembosan atau pelemahan perjuangan pergerakan ternyata sudah biasa terjadi sejak zaman dahulu kala, bukan sekarang saja. 

Mantra-mantra “konstruktif”, “destruktif”, tukang kompor, propagandis, “bisanya cuma ngomong saja”, penganggguran kurang kerjaan, dan stigma-stigma negative lainnya saat ini masih sering kita dengar dari pihak pihak yang mengaku sebagai golongan “intelektual tukang”, birokrat, atau kalangan yang lemah mental dan jiwa perjuangannya. 

Stigma yang menyasar pisikologis itu acap kali membuat kecil hati sebagian aktifis pergerakan muda yang akhirnya menjadikan sebagian dari mereka mundur dari medan perjuangan rakyat menuju Indonesia untuk semua, sama rata sama rasa. 

Mereka menyerah tidak lagi memperjuangkan menuju Indonesia yang tidak saling menguasai, seperti sekarang dimana segelintir orang menguasai mayoritas orang. Kepada kaum muda atau aktifis pergerakan yang telah mundur dari idealisme ke arah pragmatisme dan oportunisme, hendaknya mereka membaca kembali sejarah dan tulisan Bung Karno.

Bila kita mendeteksi sosok Soekarno dari kacamata teori intelektual Antonio Gramsci maka Soekarno bisa dikatagorikan sebagai seorang Intelektual Organik. Seorang intelektual yang lahir dari bangsanya yang tidak mengejar karir dan kesuksesan pribadi, tetapi seorang intelektual yang memberi pencerahan, berjuang, dan mampu menggerakkan bangsanya untuk bersama-sama berjuang. Kemudian, jika menggunakan perspektif teori Edward W. Said, maka pemikiran Soekarno tergolong pemikiran seorang Intelektual Amatir. 

Di mana ia mampu keluar dari cangkang intelektualitas sempitnya sebagai seorang insinyur merambah wawasan lain yang juga dikuasainya seperti politik dan wawasan kebangsaan. 

Seorang intelektual amatir menurut Said adalah seorang yang berani mengatakan yang benar itu benar kepada penguasa dimanapun, kapanpun, dan menjadi apapun. Ia tidak takut dengan resiko-resiko yang akan menghampirinya seperti dipenjara, diasingkan, dibuang, atau bahkan dibunuh. 

Namun, seorang intelektual amatir yang menjadi benteng dari akal sehat dan kejujuran itu memang selalu akan merasa sepi. Hal itu juga dirasakan oleh Soekarno sebagaimana pengakuannya pada Cindy Adam dalam bukunya Penyambung Lidah Rakyat.

Pada zaman sekarang, zaman “generasi wani piro”, kayaknya sulit menemukan sosok seperti Soekarno yang sejak usia 20-an sudah memilih jalan seorang intelektual organik amatir yang terjal, perih, dan sakit, demi memperjuangkan kesejahteraan seluruh (bukan sebagian) rakyat Indonesia. 

Kiranya rasa skeptis penulis ini cukup beralasan bila melihat misalkan dari badan-badan organisasi aktivis mahasiswa yang besar (yang kurang elok saya sebutkan satu persatu, namun tentu kita bisa rasakan bersama), di mana dalam kegiatan kongres selalu melibatkan politik transaksional yang bersifat pragmatis. 

Mulai dari transaksi jabatan struktural sampai politik uang. Seorang pemuda atau kader yang hendak maju menjadi pemimpin sebuah organisasi kepudaan, yang hanya bermodalkan idealisme, gagasan yang brilian, dan militansi penuh, tetapi isi dompet kosong atau tidak ada “Bandar” yang menggaransinya, maka kader itu sulit sekali untuk mendulang suara. Karena para voter dalam kongres tersebut didominasi oleh voter “wani piro”.

Kebanyakan orientasi kader mengejar pucuk jabatan tertinggi dalam organisasinya itu hanya sebatas pemuasan gengsi dalam struktur yang mereka anggap bagaikan kasta tersendiri, atau hanya untuk mengeruk keuntungan pribadi dari proposal kepada senior-senior yang ada di birokrasi politik atau pengusaha, atau hanya berorientasi mengubah kendaraan motor menjadi mobil atau minimal mengubah HP jadul menjadi HP baru. 

Para kaum muda yang mengaku sebagai aktivis itu akan lebih bangga bila mendatangi kadernya dengan menggunakan mobil dan menjinjing HP baru walau isi otaknya kosong, daripada datang dengan membawa gagasan dan agenda politik nasioanal yang lebih jelas dan progresif.

Hampir semua gerakan yang dilakukan oleh oraganisasi-organisasi besar itu selalu mendahulukan hitungan angka-angka daripada makna. Embrio sel syahwat (hiper sex) politik kekuasan yang hanya bertumpu pada jabatan, otak licik dan ketamakan untuk menggarong (korupsi) sudah ditelurkan sejak dari menjalani proses kaderisasi di organisasi-organisasi tersebut. Bahkan tidak jarang dari mereka yang merasa bangga bila berhasil “menjarah” dan dianggap sebagai mafia. 

Lucu sekali. Begitupun kader-kadernya akan merasa bangga bila ada seniornya yang pandai memanipulasi angka-angka dan pandai bersolek di depan layar kaca. 

Para kadernya itu akan menyambut seniornya yang duduk di kursi pemerintahan dengan ciuman tangan dan tepuk tangan penuh gegap gempita asal sang senior tersebut bersedia mendanai berbagai acara yang ia selenggarakan walau uang bantuan tersebut hasil “curian” dari uang rakyat, dimana dalam uang rakyat tersebut ada uang orang tua dari si junior senidri atau bahkan uang atau hak dia sendiri. Bodoh sekali.

Perilaku korup di masing-masing organasisi besar ini pada akhirnya terjerumus ke jurang "PRIMORDIALISME SEMPIT" yang akhirnya melahirkan crisis trust (krisis kepercayaan) antar organisasi besar sehingga sulit untuk melakukan konsolidasi politik strategis untuk kepentingan nasional yang benar-benar murni yang bersih sokongan dana dari siapa-siapa. Para aktivis dari masing-masing organisasi tersebut saling intip “kamar” masing-masing hawatir ada yang mengolah atau menunggangi atau melacurkan informasi. 

Akhirnya, organisasi-organisasi besar tersebut sering gagal untuk melakukan konsolidasi strategis untuk kepentingan rakyat banyak yang bersifat jangka panjang. Mungkin mereka bersatu hanya pada isu-isu aksidental dan parsial seperti isu kenaikan BBM dan Harga sembako. 

Namun isu-isu strategis yang bersifat jangka panjang seperti pembubaran Partai Politik korup, penghapusan Undang-undang yang bertentangan dengan UUD 45, menuntut nasionalisasi aset, menolak pasar bebas, dan bahkan revolusi, maka organisasi-organisasi besar tersebut akan mengalami kebuntuan konsolidasi. 

Di samping dikarenakan dominannya mental korup, mental “wani piro” dan crisis trust, juga ada intervensi senior yang duduk di kekuasaan atau yang merasa terancam kepentingannya. Senior yang dapat meng-intervensi ini biasanya ada Bandar Besar atau “Big Bos” dalam organisasi tersebut. Disini, pada titik ini, IDEALISME dan KEMERDEKAAN POLITIK para kader sudah mati.

Namun perlu ditekankan disini, tidak semua kader dari organisasi-organisasi besar tersebut mempunyai mental busuk. Banyak juga kader yang mempunyai mental baik dan penuh api perjuangan. 

Tetapi kader yang idealis semacam ini biasanya disingkirkan dan diasingkin karena menjadi ancaman bagi sebagian yang lain yang hanya mengejar kenyamanan. Kader-kader idealis militan ini biasanya selalu dijauhkan dari akses kekuasan politik baik di level struktural organisasi maupun pemerintahan. 

Kader-kader yang terasingkan inilah yang diharapkan dapat mewarisi pemikiran pendiri bangsa seperti Soekarno dan lainnya guna mengemban perjuangan bersama rakyat menuju Indonesia sama rata sama rasa.

Benar, kita semua merindukan Sukarno muda yang mewarisi ideologi, keberanian, dan rasa cinta yang mendalam kepada rakyat jelata. Soekarno muda yang “garang” pada para kapitalis, namun halus hatinya pada rakyat miskin. 

Soekarno muda yang kebal dari siksaan dan keterasingan. Soekarno muda yang tulisan-tulisannya tajam. Sukarno muda yang melawan arus “wani piro. Kita semua membutuhkan Sukarno muda karena rakyat kecil di Negara ini sekarng tidak lagi dianggap sebagai manusia, tetapi merka tak ubahnya “sampah” yang lauak dibuang dan diperlakukan semena-mena. 

Atas nama hukum dan tanah Negara, pemerintah menggusur rumah rakyat miskin dan tempat usahanya. Padahal mereka adalah tanggung jawab Negara sebagaimana amanah UUD 45. Rakyat miskin tua di Negara ini sekarang ini dipaksa untuk mati perlahan-lahan, kalau rakyat miskin yang gadis dipaksa untuk menjadi pelacur, dan yang pemuda dipaksa untuk menjadi pengedar, preman, atau perampok. 

Karena ketika rakyat miskin itu mencoba untuk mencari rizki yang halal, dengan cara yang paling mereka mampu, dengan berjualan asongan atau kaki lima di trotoar jalan (karena tak mampu menyewa kios/toko), mereka digusur jualannya dibuang. 

Pertanyaannya, lalu mereka mau jualan di mana lagi? Dan apakah pemerintah pernah memberikan solusi? Maka jangan salahkan mereka bila mereka kemudian mencari makan dengan jalan yang tidak halal. 

Ada yang lumayan halal, namun sangat menyakitkan, menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW), di mana mereka menjadi babu di negara orang dan menjadi babu bagi bangsa lain. Bahkan tidak sedikit dari TKI dan TKW itu yang mendapat perlakuan kekerasan dan pemerkosaan. Sadis, Negara seakan bertepuk-tangan melihat rakyatnya sengsara.

Walaupun generasi muda saat ini banyak yang terjebak dalam budaya “wani piro”, dan berada di tengah-tengah kepungan kapitalisme hedonisme, jangan sampai hal itu membuat kita surut, apalagi takut, karena butuh seorang Soekarno muda pemberani untuk mencapai Negara yang bebas dari tangisan rakyat miskin. 

Sudah saatnya Indoensia mencari Soekarno-soekarno muda dan kemudian membuat garakan Serikat Soekarno Muda, dengan cara menyatukan intelektual-intelektual organik dan amatir yang tersisihkan dari berbagai macam lapisan organisasi dan masyarakat, untuk kemudian menggagas agenda penyelamatan Indonesia ke depan, menuju Negara yang berdaulat 100%, negara yang sebagian besar devisanya tidak lagi bertumpu pada sektor pajak, namun lebih memberdayakan pendapatan dari sektor sumberdaya alam dan BUMN. Tentu itu tidak mudah, banyak pihak yang akan merasa terancam, dan kemudian perlahan menyerang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun