Mohon tunggu...
Rabitul umam
Rabitul umam Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mencari Soekarno Muda di Zaman “Wani Piro”

16 September 2016   01:32 Diperbarui: 16 September 2016   07:55 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ir. Soekarno. Tribunnews.com

“…. Dengan masyarakat dan imperialism yang demikian itu, maka titik beratnya, pusatnya kita punya aksi haruslah terletak di dalam politik “bewustmakirig” dan politik akasi, yakni di dalam menggunakan keinsyafan politik daripada rakyat. … Dengan masyarakat dan imperialism yang demikian itu kita tidak boleh menenggelamkan keinsyafan (kesadaran rakyat) dan kegiatan politik itu di dalam aksi yang “konstruktif” mendirikan warung ini dan mendirikan warung itu, aksi “konstruktif” yang kahirnya hanya mempunyai harga “penambal” belaka.”

Soekarno menganggap propaganda golongan yang mengaku sebagai “nasionalis konstruktif” itu tak ubahnya jampi-jampi, mantra-mantra, yang membuat lemah kaum pergerakan Indonesia. Soekarno juga mengkritik sempitnya pemikiran golongan “nasionalis konstruktif” itu yang hanya menafsirkan bahwa kerja yang konstruktif hanya pekerjaan yang membuahkan hasil materil saja, yang bisa dilihat keberadaannya saja. 

Padahal kata Bung Karno, pekerjaan yang konstruktif itu tidak hanya yang bersifat materil namun juga yang bersifat non materil. Seperti kerja-kerja politik dengan memberikan kesadaran politik masyarakat, membangun semangat juang masyarakat, mendirikan harapan masyarakat, dan bahkan menumbuh suburkan ideologi nasionalisme kebangsaan kepada masyarakat. Soekarno berkata:

“O, perkataan jampi-jampi, o, perkataan peneluh, o, perkataan mantra “konstruktif” dan “destruktif”! Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia kini seolah-olah (ter)kena dayanya mantra itu, sebagian besar daripada pergerakan Indonesia seolah-olah (ter)kena gendhamnya mantra itu! Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia mengira, bahwa orang adalah (tergolong) “konstruktif’ hanya kalau orang mengadakan barang-barang yang boleh diraba saja, yakni hanya kalau orang mendirikan warung, mendirikan koperasi, mendirikan bank-bank (koperasi kecil) dan lain-lain sebagainya, pendek kata hanya kalau orang banyak mendirikan badan-badan social saja! Sedangkan kaum propagandis yang sehari-hari “cuma bicara saja” di atas podium atau di dalam surat-kabar, yang barangkali sangat (membantu) sekali menggugah keinsyafan politik daripada Rakyat-Jelata, dengan tiada ampun lagi dikasihnya cap “destruktif” alias orang yang “merusak” dan “tidak mendirikan suatu apa-apa!”

Dengan keras Soekarno menjawab:

“Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa semboyan ‘jangan banyak bicara, bekerjalah!” harus diartikan di dalam arti yang luas. Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa ‘bekerja’ itu tidak hanya berarti mendirikan barang-barang yang boleh dilihat dan diraba saja, yakni barang-barang yang tastbaar dan materiil. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan ‘mendirikan’ itu juga boleh dipakai untuk barang yang abstrak, yakni yang juga bisa berarti mendirikan semangat, mendirikan keinsyafan (kesadaran), mendirikan harapan, mendirikan ideologi atau gedung kejiwaan yang atau artileri kejiwaan yang menurut sejarah-dunia akhirnya adalah artileri yang satu-satunya yang bisa menggugurkan sesuatu stelsel.”

Dari sini dapat kita ketahui bersama bahwa penggembosan atau pelemahan perjuangan pergerakan ternyata sudah biasa terjadi sejak zaman dahulu kala, bukan sekarang saja. 

Mantra-mantra “konstruktif”, “destruktif”, tukang kompor, propagandis, “bisanya cuma ngomong saja”, penganggguran kurang kerjaan, dan stigma-stigma negative lainnya saat ini masih sering kita dengar dari pihak pihak yang mengaku sebagai golongan “intelektual tukang”, birokrat, atau kalangan yang lemah mental dan jiwa perjuangannya. 

Stigma yang menyasar pisikologis itu acap kali membuat kecil hati sebagian aktifis pergerakan muda yang akhirnya menjadikan sebagian dari mereka mundur dari medan perjuangan rakyat menuju Indonesia untuk semua, sama rata sama rasa. 

Mereka menyerah tidak lagi memperjuangkan menuju Indonesia yang tidak saling menguasai, seperti sekarang dimana segelintir orang menguasai mayoritas orang. Kepada kaum muda atau aktifis pergerakan yang telah mundur dari idealisme ke arah pragmatisme dan oportunisme, hendaknya mereka membaca kembali sejarah dan tulisan Bung Karno.

Bila kita mendeteksi sosok Soekarno dari kacamata teori intelektual Antonio Gramsci maka Soekarno bisa dikatagorikan sebagai seorang Intelektual Organik. Seorang intelektual yang lahir dari bangsanya yang tidak mengejar karir dan kesuksesan pribadi, tetapi seorang intelektual yang memberi pencerahan, berjuang, dan mampu menggerakkan bangsanya untuk bersama-sama berjuang. Kemudian, jika menggunakan perspektif teori Edward W. Said, maka pemikiran Soekarno tergolong pemikiran seorang Intelektual Amatir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun