Setelah beberapa waktu mengikuti diskusi di rumah Cipto Mangunkusumo, Soekarno kemudian mendirikan kelompok diskusi sendiri yang bernama Algemeene Studie Club (1926). Setahun kemudian kelompok diskusi ini berubah nama menjadi Perserikatan Nasional Indonesia, dan akhrinya melahirkan Partai Nasional Indonesia.
Perlu diketahui bahwa pada saat Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) baru berusia 26 tahun. Usia yang sangat belia untuk seorang pemimpin partai. Sejak aktifitasnya di PNI, sejarah Soekarno adalah sejarah penderitaan, karena sejak tahun 1929 sampai 1942 Soekarno mengalami banyak siksaan, penjara, dan pengasingan oleh pihak kolonial Belanda.
Sebenarnya, Soekarno bukan tidak bisa untuk hidup normal, sejahtera, bebas dari tekanan hukuman Belanda, karena setelah lulus kuliah dari Technische Hooge School ia ditawari oleh dosennnya, Profesor Wolff Schoemaker, bekerja di Departemen Pekerjaan Umum (pemerintahan Belanda), namun ia menolaknya dan memilih mengabdikan diri berjuang bersama rakyat dan hanya menjadi guru matematika di sekolah Kesatrian Institute, milik Ernest Douwes Dekker, seniornya.
Selain aktif dalam pergerakan nasional, Soekarno juga seorang yang cukup produktif dalam karya tulis. Bahkan tidak sedikit dari tulisan-tulisannya yang membuat kesal lawan politiknya, baik pihak Belanda ataupun kelompok pergerakan lain yang dianggap kurang radikal dan revolusioner. Di dalam buku yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi I” memuat tidak kurang dari 63 artikel Soekarno yang diambil dari berbagai macam media massa saat itu.
Menariknya, Soekarno tidak hanya menulis tentang propaganda politik saja, namun juga isu ke-Islam-an yang dianggap perlu diperbaharui juga tak luput dari tulisannya yang tajam. Seperti tulisannya yang berjudul“Surat-surat Islam dari Endeh”, “Islam Sontoloyo”, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”.
Soekarno pernah difatwakan “halal darahnya” oleh petinggi senior organisasi Muhammadiyah karena dianggap menyebarkan syu’ubiyah (fanatisme) yang dianggap haram oleh agama, sebagaimana tertuang dalam tulisannya yang berjudul “Me-muda-kan Pengertian Islam”. Soekarno juga sering menerima kritikan pedas dari lawan politiknya bahkan mengarah kepada pembunuhan karakter (character assassination).
Serangan pedas itu disampaikan oleh golongan yang menyebut dirinya “nasionalis konstruktif”, mereka mencela Soekarno dan kawan-kawannya dengan mengatakan, ”Jangan banyak bicara, bekerjalah!”, cercaan itu mencaci Soekarno dan kawan-kawannya yang dianggap sering melakukan propaganda politik dan mengesampingkan kerja-kerja profesional yang menadatangkan hasil materil untuk mereka nikmati secara pribadi dan keluarga.
Mendengar serangan ini, Soekarno kemudian menjawabnya dengan keras sebagaimana yang termuat di media massa Fikiran Rakyat (1933) dengan judul,“Sekali Lagi: Bukan JANGAN BANYAK BICARA, BEKERJALAH!, tetapi BANYAK BICARA, BANYAK BEKERJA!”. Dalam tulisannya Soekarno mengatakan,
“…Katanya kita terlalu bayak gembar-gembor di atas podium, telalu banyak berteriak di dalam surat kabar, tetapi kurang kerja (yang) konstruktif mendirikan ini dan itu. Ini dan itu, yaitu badan koperasi, badan penolong anak yatim, dan lain lain, maka saya di dalam S.I.M (Suluh Indonesia Muda) ada menulis: TIDAK! Dengan suatu masyarakat yang Sembilan puluh lima persen terdiri dari kaum yang segala-galanya kecil itu, dengan suatu masyarakat yang Sembilan puluh lima persen terdiri dari kaum Marhaen itu, dengan (kondisi) masyarakat yang terutama sekali dicengkram oleh imperialisme bahan mentah dan imperialisme penanaman modal itu,”
Menurut pandangan Soekarno, dalam masyarakat yang mayoritas mengalami kemiskinan serta berada di bawah tekanan penjajahan (imperialisme) dimana sektor bahan mentah telah dimonopoli asing dan suburnya investasi modal asing sehingga semakin menjauhkan rakyat dari pencapaian untuk hidup makmur, sejahtera dan mandiri, maka yang diperlukan bukanlah kerja-kerja yang konstruktif dengan semisal mendirikan koperasi usaha kecil menengah atau memperbanyak panti asuhan buat menampung anak yatim.
Karena kerja konstruktif yang demikian menurut Soekarno hanyalah bersifat sementara (tambal) dan tidak akan benar-benar memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia secara jangka panjang. Sebagaimana tertuang dalam terusan tulisannya: