Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pesantren Tak Perlu Berlomba Menuju Kemewahan

2 Juli 2018   02:16 Diperbarui: 2 Juli 2018   13:05 2730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga santri Pondok Pesantren Nurul Haramain Narmada Lombok Barat saat waktu senggang (Dok.pribadi)

Di bagian hulu mengirim "paket" kuning seenaknya, di belakang anak-anak seperti prajurit yang khusus membersihkan ranjau musuh, lalu setelah itu menyelam. Dulu airnya bening. Tidak tau sekarang. Mungkin keruh. Atau mungkin tidak mengalir lagi airnya karena penebangan pohon di hulu.

Soal makan, ada pembagian "kelas". Ada yang memilih membayar di sekolah. Mereka tinggal makan teratur, pagi, siang, dan sore/petang. Ada yang memilih masak sendiri. Dapur tempat kompor-kompor bersumbu telah disiapkan. Tidak ada yang menaruh lemari lauk di sini. Toples sambel tidak aman. Lebih baik ditaruh di lemari pakaian. Baju bau sambel tidak apa. Yang penting sambel aman.

Pesan apa yang ingin saya sampaikan dari sepotong suasana di atas? Pertama, anggap saja saya sedang ikut mengampanyekan "ayo mondok di pesantren" untuk bapak ibu yang saat ini masih bingung ke mana hendak menyekolahkan anaknya setelah tamat di jenjang pendidikan sebelumnya. Saya akan sampaikan kelebihan orang mondok tentu berdasarkan pengalaman saya. 

Misalnya. Mondok adalah sarana tempat belajar tentang survive dengan kejutan-kejutan hidup yang tidak menentu. Tentang sandal yang tiba-tiba hilang. Tentang penyakit gatal-gatal di tangan dan selangkangan. Mondok adalah sarana melatih daya manajerial. Misalnya, kiriman beras dalam satuan kilo harus pas tersedia hingga sekian minggu sampai tiba jadwal kunjungan orang tua untuk membawakan bekal beras lagi. Jika terlalu boros, atau malah nekat menjual beras untuk beli rokok, tentu itu tidak baik. Hehehe.

Para santriwati Pondok Pesantren Hikmatusyarief Narmada Lombok Barat di sebuah acara. (Dok. pribadi)
Para santriwati Pondok Pesantren Hikmatusyarief Narmada Lombok Barat di sebuah acara. (Dok. pribadi)
Kedua, dan ini yang paling serius, saya ingin menjual produk kesederhanaan lembaga pendidikan yang bernama pondok pesantren kepada para calon wali yang tidak mereka dapatkan di lembaga lain yang justru larut dalam pusaran industrialisasi pendidikan itu. 

Kesederhanaan lah yang menjadi ruh pesantren. Bukan kemewahan fasilitas layaknya hotel. Bukan kemegahan gedung dan lain-lain. Ada orang tua yang langsung protes begitu mengetahui fasilitas tempat mandi anaknya jauh dari kata layak.

Akan semakin parah kalau di ujungnya dia mempertanyakan iuran besar yang dia keluarkan setiap bulan untuk membayar fasilitas yang diinginkannya itu. Di sini berlakulah ikatan jual beli semata. Wali siswa sebagai pembeli, pihak sekolah sebagai pedagang. Semangat luhur berupa proses transfer nilai dan akhlak mulia yang menjadi ruh pendidikan menjadi hilang. Kesederhanaan sudah tidak ada.

Dulu, sewaktu nyantri, kita sering dikisahkan tentang tokoh-tokoh besar yang menuntut ilmu lewat jalan terjal. Bersakit-sakit. Hari-hari mereka adalah hari-hari yang sakit. Hasilnya mereka menjadi orang-orang besar yang dikenang sejarah lewat karya dan kualitas personal mereka. Ternyata, kisah-kisah yang disampaikan para guru itu bermuara pada satu titik : mereka ingin murid-murid mereka kelak menjadi manusia tahan banting. 

Kekah tegeng dalam tiap musik dan cuaca. Santri adalah mereka yang hidupnya kuat dan tahan banting untuk kesulitan macam apapun. Mereka akan bisa melewatinya dengan baik. Karakter macam ini tentu saja tidak bisa dibangun oleh suasana sekolah yang selalu bikin ngantuk karena saking nyamannya. Karakter macam ini hanya bisa terwujud di lembaga pendidikan yang menanamkan nilai natural dan sederhana dalam proses belajar mengajarnya.

Akhirnya, beruntunglah pesantren yang masih mempertahankan warisan besar ini. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun