Tahun ajaran baru telah tiba. Para orang tua sedang sibuk mempersiapkan segala macam perlengkapan baru anak-anak mereka yang akan masuk di kelas baru yang lebih tinggi. Tas baru. Sepatu baru. Buku tulis baru. Tidak hanya itu. Para orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta, juga bersiap membayar biaya daftar ulang. Daftar ulang biasa terdiri dari yang paling banyak untuk pembangunan fisik sekolah, lalu disusul biaya fasilitas lainnya.
Faktanya, pendidikan juga tidak bisa lepas dari konteks persaingan yang kian sengit. Dengan kian menjamurnya lembaga pendidikan, masing masing tempat belajar mau tidak mau harus bisa menawarkan "menu" yang menarik calon pelajar. Di banyak contoh, bahkan sekolah negeri bisa kalah peminat oleh sekolah swasta, sekolah non pemerintah.Â
Karena persaingan, masing-masing lembaga pendidikan "menjual" program unggulan masing-masing. Ada yang mengunggulkan program hafalan kitab suci, ada yang menekankan penguasaan kitab kuning, ada yang concern di skil bahasa asing, pelajaran leadership, dan lain-lainnya.
Pada titik tertentu, persaingan menimbulkan pergeseran semangat kehadiran lembaga pendidikan itu sendiri. Sebagai seorang alumni pondok pesantren, fokus saya adalah pergeseran semangat kehadiran pondok pesantren dalam konteks persaingan yang saya singgung di atas. Meski tidak semuanya, pondok pesantren ikut larut dalam gerak industrialisasi pendidikan.
Program-program unggulan yang dijanjikan mensyaratkan biaya yang tidak murah, baik itu untuk memastikan ketersediaan sumber daya berkualitas (guru, pembina, dll) maupun untuk fasilitas berupa gedung yang nyaman dan layak. Masyarakat pada akhirnya menganggap ini sesuatu yang wajar. Seperti dagangan, mereka menganggap adalah wajar jika semakin bagus barang dagangan, maka harga barang itu semakin mahal.Â
Kata mereka, tidak apa biaya besar, yang penting anak bisa belajar dengan baik dan nyaman. Ketimbang memasukkan anak ke sekolah negeri yang walaupun dikelola oleh negara namun programnya begitu-begitu saja. Poin utamanya: biaya menjadi tidak dipermasalahkan. Harga sebanding dengan kualitas. Kira-kira demikian.
Saya tidak pada posisi sinis dengan kondisi ini. Tapi pertanyaannya mengapa ada pergeseran yang sangat jauh dalam semangat pendidikan kita? Mengapa lama-lama banyak pondok pesantren berlomba menuju kemewahan fasilitas layaknya lembaga pendidikan yang tidak khas? Ada lembaga pendidikan agama di luar daerah fasilitasnya luar biasa.
Tempat tidur siswa top. Lembaga juga memfasilitasi santri dengan fasilitas mesin londre untuk pakaian mereka yang kotor. Santri makan dengan menu lauk yang sehat dan bergizi. Sudah pasti untuk memenuhi "kemewahan" fasilitas itu, ada biaya besar yang harus dikeluarkan oleh wali. Tidak apa-apa. Yang penting anak-anak bisa tenang menghafal. Yang penting badan dan otak mereka tetap sehat dan ceria layaknya mereka berada di rumah.
Saya teringat sewaktu nyantri dulu. Sewaktu masuk, pertama-tama saya membayangkan tempat tidur yang nyaman. Satu kamar diisi oleh satu sampai dua orang saja. Ada ranjangnya juga. Bayangan ini meleset. Yang ada hanya ruangan kecil di mana lemari pakaian bejejer lalu pemiliknya tidur di depan lemari masing-masing tanpa ranjang. Satu kamar ada kurang lebih 8 sampai 10 orang. Dalam perjalanannya, satu saklar lampu sering
menjadi masalah. Ada yang ingin tidur cepat dan karena itu lampu mesti dimatikan karena jam 3 dini hari harus sudah bangun tahajjud dan ngaji kitab. Ada yang belum ngantuk dan masih asyik ngobrolin pacar atau yang lain. Sering ada ketegangan.
Saya juga membayangkan ada tempat mandi yang bagus. Ada jejeran kamar mandi di dalamnya lengkap ada kloset. Bayangan ini juga salah. Tiap pagi dan sore kita bergerak menuju kali dekat madrasah. Buka baju, lepas sarung, lalu nyebur seenaknya. Ada yang jahil.Â
Di bagian hulu mengirim "paket" kuning seenaknya, di belakang anak-anak seperti prajurit yang khusus membersihkan ranjau musuh, lalu setelah itu menyelam. Dulu airnya bening. Tidak tau sekarang. Mungkin keruh. Atau mungkin tidak mengalir lagi airnya karena penebangan pohon di hulu.
Soal makan, ada pembagian "kelas". Ada yang memilih membayar di sekolah. Mereka tinggal makan teratur, pagi, siang, dan sore/petang. Ada yang memilih masak sendiri. Dapur tempat kompor-kompor bersumbu telah disiapkan. Tidak ada yang menaruh lemari lauk di sini. Toples sambel tidak aman. Lebih baik ditaruh di lemari pakaian. Baju bau sambel tidak apa. Yang penting sambel aman.
Pesan apa yang ingin saya sampaikan dari sepotong suasana di atas? Pertama, anggap saja saya sedang ikut mengampanyekan "ayo mondok di pesantren" untuk bapak ibu yang saat ini masih bingung ke mana hendak menyekolahkan anaknya setelah tamat di jenjang pendidikan sebelumnya. Saya akan sampaikan kelebihan orang mondok tentu berdasarkan pengalaman saya.Â
Misalnya. Mondok adalah sarana tempat belajar tentang survive dengan kejutan-kejutan hidup yang tidak menentu. Tentang sandal yang tiba-tiba hilang. Tentang penyakit gatal-gatal di tangan dan selangkangan. Mondok adalah sarana melatih daya manajerial. Misalnya, kiriman beras dalam satuan kilo harus pas tersedia hingga sekian minggu sampai tiba jadwal kunjungan orang tua untuk membawakan bekal beras lagi. Jika terlalu boros, atau malah nekat menjual beras untuk beli rokok, tentu itu tidak baik. Hehehe.
Kesederhanaan lah yang menjadi ruh pesantren. Bukan kemewahan fasilitas layaknya hotel. Bukan kemegahan gedung dan lain-lain. Ada orang tua yang langsung protes begitu mengetahui fasilitas tempat mandi anaknya jauh dari kata layak.
Akan semakin parah kalau di ujungnya dia mempertanyakan iuran besar yang dia keluarkan setiap bulan untuk membayar fasilitas yang diinginkannya itu. Di sini berlakulah ikatan jual beli semata. Wali siswa sebagai pembeli, pihak sekolah sebagai pedagang. Semangat luhur berupa proses transfer nilai dan akhlak mulia yang menjadi ruh pendidikan menjadi hilang. Kesederhanaan sudah tidak ada.
Dulu, sewaktu nyantri, kita sering dikisahkan tentang tokoh-tokoh besar yang menuntut ilmu lewat jalan terjal. Bersakit-sakit. Hari-hari mereka adalah hari-hari yang sakit. Hasilnya mereka menjadi orang-orang besar yang dikenang sejarah lewat karya dan kualitas personal mereka. Ternyata, kisah-kisah yang disampaikan para guru itu bermuara pada satu titik : mereka ingin murid-murid mereka kelak menjadi manusia tahan banting.Â
Kekah tegeng dalam tiap musik dan cuaca. Santri adalah mereka yang hidupnya kuat dan tahan banting untuk kesulitan macam apapun. Mereka akan bisa melewatinya dengan baik. Karakter macam ini tentu saja tidak bisa dibangun oleh suasana sekolah yang selalu bikin ngantuk karena saking nyamannya. Karakter macam ini hanya bisa terwujud di lembaga pendidikan yang menanamkan nilai natural dan sederhana dalam proses belajar mengajarnya.
Akhirnya, beruntunglah pesantren yang masih mempertahankan warisan besar ini. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H