Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pesantren Tak Perlu Berlomba Menuju Kemewahan

2 Juli 2018   02:16 Diperbarui: 2 Juli 2018   13:05 2730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga santri Pondok Pesantren Nurul Haramain Narmada Lombok Barat saat waktu senggang (Dok.pribadi)

Tahun ajaran baru telah tiba. Para orang tua sedang sibuk mempersiapkan segala macam perlengkapan baru anak-anak mereka yang akan masuk di kelas baru yang lebih tinggi. Tas baru. Sepatu baru. Buku tulis baru. Tidak hanya itu. Para orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta, juga bersiap membayar biaya daftar ulang. Daftar ulang biasa terdiri dari yang paling banyak untuk pembangunan fisik sekolah, lalu disusul biaya fasilitas lainnya.

Faktanya, pendidikan juga tidak bisa lepas dari konteks persaingan yang kian sengit. Dengan kian menjamurnya lembaga pendidikan, masing masing tempat belajar mau tidak mau harus bisa menawarkan "menu" yang menarik calon pelajar. Di banyak contoh, bahkan sekolah negeri bisa kalah peminat oleh sekolah swasta, sekolah non pemerintah. 

Karena persaingan, masing-masing lembaga pendidikan "menjual" program unggulan masing-masing. Ada yang mengunggulkan program hafalan kitab suci, ada yang menekankan penguasaan kitab kuning, ada yang concern di skil bahasa asing, pelajaran leadership, dan lain-lainnya.

Pada titik tertentu, persaingan menimbulkan pergeseran semangat kehadiran lembaga pendidikan itu sendiri. Sebagai seorang alumni pondok pesantren, fokus saya adalah pergeseran semangat kehadiran pondok pesantren dalam konteks persaingan yang saya singgung di atas. Meski tidak semuanya, pondok pesantren ikut larut dalam gerak industrialisasi pendidikan.

Program-program unggulan yang dijanjikan mensyaratkan biaya yang tidak murah, baik itu untuk memastikan ketersediaan sumber daya berkualitas (guru, pembina, dll) maupun untuk fasilitas berupa gedung yang nyaman dan layak. Masyarakat pada akhirnya menganggap ini sesuatu yang wajar. Seperti dagangan, mereka menganggap adalah wajar jika semakin bagus barang dagangan, maka harga barang itu semakin mahal. 

Kata mereka, tidak apa biaya besar, yang penting anak bisa belajar dengan baik dan nyaman. Ketimbang memasukkan anak ke sekolah negeri yang walaupun dikelola oleh negara namun programnya begitu-begitu saja. Poin utamanya: biaya menjadi tidak dipermasalahkan. Harga sebanding dengan kualitas. Kira-kira demikian.

Saya tidak pada posisi sinis dengan kondisi ini. Tapi pertanyaannya mengapa ada pergeseran yang sangat jauh dalam semangat pendidikan kita? Mengapa lama-lama banyak pondok pesantren berlomba menuju kemewahan fasilitas layaknya lembaga pendidikan yang tidak khas? Ada lembaga pendidikan agama di luar daerah fasilitasnya luar biasa.

Tempat tidur siswa top. Lembaga juga memfasilitasi santri dengan fasilitas mesin londre untuk pakaian mereka yang kotor. Santri makan dengan menu lauk yang sehat dan bergizi. Sudah pasti untuk memenuhi "kemewahan" fasilitas itu, ada biaya besar yang harus dikeluarkan oleh wali. Tidak apa-apa. Yang penting anak-anak bisa tenang menghafal. Yang penting badan dan otak mereka tetap sehat dan ceria layaknya mereka berada di rumah.

Saya teringat sewaktu nyantri dulu. Sewaktu masuk, pertama-tama saya membayangkan tempat tidur yang nyaman. Satu kamar diisi oleh satu sampai dua orang saja. Ada ranjangnya juga. Bayangan ini meleset. Yang ada hanya ruangan kecil di mana lemari pakaian bejejer lalu pemiliknya tidur di depan lemari masing-masing tanpa ranjang. Satu kamar ada kurang lebih 8 sampai 10 orang. Dalam perjalanannya, satu saklar lampu sering

menjadi masalah. Ada yang ingin tidur cepat dan karena itu lampu mesti dimatikan karena jam 3 dini hari harus sudah bangun tahajjud dan ngaji kitab. Ada yang belum ngantuk dan masih asyik ngobrolin pacar atau yang lain. Sering ada ketegangan.

Saya juga membayangkan ada tempat mandi yang bagus. Ada jejeran kamar mandi di dalamnya lengkap ada kloset. Bayangan ini juga salah. Tiap pagi dan sore kita bergerak menuju kali dekat madrasah. Buka baju, lepas sarung, lalu nyebur seenaknya. Ada yang jahil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun