Di bagian hulu mengirim "paket" kuning seenaknya, di belakang anak-anak seperti prajurit yang khusus membersihkan ranjau musuh, lalu setelah itu menyelam. Dulu airnya bening. Tidak tau sekarang. Mungkin keruh. Atau mungkin tidak mengalir lagi airnya karena penebangan pohon di hulu.
Soal makan, ada pembagian "kelas". Ada yang memilih membayar di sekolah. Mereka tinggal makan teratur, pagi, siang, dan sore/petang. Ada yang memilih masak sendiri. Dapur tempat kompor-kompor bersumbu telah disiapkan. Tidak ada yang menaruh lemari lauk di sini. Toples sambel tidak aman. Lebih baik ditaruh di lemari pakaian. Baju bau sambel tidak apa. Yang penting sambel aman.
Pesan apa yang ingin saya sampaikan dari sepotong suasana di atas? Pertama, anggap saja saya sedang ikut mengampanyekan "ayo mondok di pesantren" untuk bapak ibu yang saat ini masih bingung ke mana hendak menyekolahkan anaknya setelah tamat di jenjang pendidikan sebelumnya. Saya akan sampaikan kelebihan orang mondok tentu berdasarkan pengalaman saya.Â
Misalnya. Mondok adalah sarana tempat belajar tentang survive dengan kejutan-kejutan hidup yang tidak menentu. Tentang sandal yang tiba-tiba hilang. Tentang penyakit gatal-gatal di tangan dan selangkangan. Mondok adalah sarana melatih daya manajerial. Misalnya, kiriman beras dalam satuan kilo harus pas tersedia hingga sekian minggu sampai tiba jadwal kunjungan orang tua untuk membawakan bekal beras lagi. Jika terlalu boros, atau malah nekat menjual beras untuk beli rokok, tentu itu tidak baik. Hehehe.
Kesederhanaan lah yang menjadi ruh pesantren. Bukan kemewahan fasilitas layaknya hotel. Bukan kemegahan gedung dan lain-lain. Ada orang tua yang langsung protes begitu mengetahui fasilitas tempat mandi anaknya jauh dari kata layak.
Akan semakin parah kalau di ujungnya dia mempertanyakan iuran besar yang dia keluarkan setiap bulan untuk membayar fasilitas yang diinginkannya itu. Di sini berlakulah ikatan jual beli semata. Wali siswa sebagai pembeli, pihak sekolah sebagai pedagang. Semangat luhur berupa proses transfer nilai dan akhlak mulia yang menjadi ruh pendidikan menjadi hilang. Kesederhanaan sudah tidak ada.
Dulu, sewaktu nyantri, kita sering dikisahkan tentang tokoh-tokoh besar yang menuntut ilmu lewat jalan terjal. Bersakit-sakit. Hari-hari mereka adalah hari-hari yang sakit. Hasilnya mereka menjadi orang-orang besar yang dikenang sejarah lewat karya dan kualitas personal mereka. Ternyata, kisah-kisah yang disampaikan para guru itu bermuara pada satu titik : mereka ingin murid-murid mereka kelak menjadi manusia tahan banting.Â
Kekah tegeng dalam tiap musik dan cuaca. Santri adalah mereka yang hidupnya kuat dan tahan banting untuk kesulitan macam apapun. Mereka akan bisa melewatinya dengan baik. Karakter macam ini tentu saja tidak bisa dibangun oleh suasana sekolah yang selalu bikin ngantuk karena saking nyamannya. Karakter macam ini hanya bisa terwujud di lembaga pendidikan yang menanamkan nilai natural dan sederhana dalam proses belajar mengajarnya.
Akhirnya, beruntunglah pesantren yang masih mempertahankan warisan besar ini. Salam.